Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROYEK listrik swasta Paiton tak ubahnya duri dalam daging PLN. Proyek ambisius ini benar-benar menghabiskan energi PLN dan pemerintah Indonesia. Negosiasi ulang sudah berlangsung lebih dari dua tahun dan dilakukan oleh tiga Direktur Utama PLN yang berbeda-beda, dari Adi Satriya, Kuntoro Mangkusubroto, sampai Eddie Widhiono. Tapi Paiton Energy Corporation, pemilik Paiton I dan PLN, belum juga mencapai kata sepakat final, walaupun telah melewati tiga kesepakatan sementara (interim agreement). Dan hasilnya terlihat sangat merugikan PLN. Selain harga jual listrik Paiton masih tinggi, PLN juga akan menanggung utang yang tidak sedikit.
Dalam surat Kepala Bappenas, Djunaedi Hadisumartobertindak selaku Sekretaris Tim Keppres 133/2000yang ditujukan kepada ketua dan anggota Tim Keppres yang lain pada 31 Juli lalu, terungkaplah bahwa pemerintah menyetujui proposal yang disodorkan Paiton Energy. Perusahaan patungan milik Mission Energy (AS), Mitsui (Jepang), dan Batu Hitam Perkasa (Hashim Djojohadikusumo dan Siti Hediati Soeharto) ini mengajukan harga US$ 4,65-4,7 sen per kWh. Harga ini jauh lebih rendah ketimbang harga yang disepakati dalam perjanjian pembelian listrik (power purchasing agreement/PPA) pada Februari 1994 sebesar US$ 8,47 sen pada enam tahun pertama.
Tapi, walaupun harga itu turun drastis, sumber TEMPO di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menilainya masih terlalu tinggi. Jika PLN mengacu pada hasil audit Lavalin (Kanada) terhadap Paiton, harga listrik yang wajar US$ 3,5-4,2 sen. Dampak ketinggian harga itu tak cuma pada PLN, yang harus membeli listrik Paiton dengan harga yang lebih mahal, tapi juga pada utang yang mesti dibayar PLN kepada Paiton Energy. Utang tersebut berasal dari selisih harga yang kini dibayar PLN berdasarkan PPA. "Ini kelemahan PLN. Dalam tiga perjanjian sementara yang sudah diteken, selisih harga itu dianggap utang dan tagihan (invoice) yang diajukan oleh Paiton yang selalu mengacu pada harga PPA," kata sumber itu.
Nilai utang sebesar ini tentu tak bisa diremehkan. Dalam perjanjian sementara pertama yang diteken pada Februari 2000, PLN mesti membayar US$ 115 juta, dan selisih tagihan sebesar US$ 530 juta dianggap utang. Hal yang sama juga terjadi pada interim agreement II dan III, yang masing-masing diteken akhir 2000 dan Juli 2001 (lihat tabel). Total jenderal PLN harus membayar tunai kepada Paiton Energy sebesar US$ 282,6 juta (Rp 2,5 triliun) dan masih menanggung utang hampir US$ 805 juta atau sekitar Rp 7,25 triliun (selengkapnya lihat tabel). Padahal, jika PLN bisa menekan tarif sampai US$ 4,2 sen, utang yang harus dibayar PLN tak sampai US$ 500 juta.
Karena pemerintah sudah menyetujui proposal Paiton Energy, kesepakatan final diharapkan bisa terjadi sebelum akhir September 2001 ketika interim agreement ketiga berakhir. Di atas kertas, PLN memang berhasil memangkas cukup banyak harga jual yang disepakati dalam PPA. Secara teoretis, harga jual US$ 4,65-4,7 sen cukup bagus untuk PLN, yang harga rata-rata produksinya kini sekitar US$ 5 sen. Dalam jangka panjang, harga jual PLN kepada konsumen akan terus naik dan pada tahun 2005 akan mencapai US$ 7 sen. Hanya dengan demikian PLN bisa menutup biaya produksi.
Hanya, semua itu cuma perhitungan di atas kertas. Jika ditelaah dengan baik, kata sumber TEMPO tersebut, penyelesaian itu sangat merugikan PLN. Sebab, selain sudah membayar tunai hampir US$ 300 juta, PLN masih harus menanggung utang lebih dari US$ 800 juta. Dari jumlah itu, US$ 300 juta di antaranya akan dibayar di depan, selebihnya dicicil. Jika dijumlahkan, PLN sudah membayar sekitar US$ 1,1 miliar. Itu berarti Paiton I saat ini sudah balik modal. Sebab, berdasarkan audit Lavalin terhadap pembangkit Paiton I, investasi yang diperlukan untuk membangunnya hanya US$ 1,033 miliar.
Tak pelak lagi, kewajiban kepada Paiton sebesar US$ 800 juta itu menambah deretan utang baru PLN yang timbul akibat sengketa listrik swasta. Sebelum ini, PLN dan pemerintah harus membayar klaim kepada OPIC dan kreditor PLTP Dieng dan PLTP Patuha sebesar US$ 400 juta. Selain itu, PLN juga kalah di arbitrase internasional di Swiss melawan PLTP Karaha-Bodas dan dihukum membayar ganti rugi US$ 290 juta. Dengan demikian, tambahan utang PLN mencapai lebih dari US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 13,5 triliun. Lebih parah lagi, jumlah itu belum memperhitungkan utang yang timbul akibat sengketa dengan Jawa Power (Paiton II) dan Unocal (PLTP Gunung Salak). Bagi PLN, ini jelas kabar buruk karena utang PLN kini sudah sekitar Rp 60 triliun.
Kebijakan pemerintahwaktu itu di bawah Menko Perekonomian Rizal Ramliyang semula cenderung tidak mau terlibat, belakangan berubah. Dalam keadaan terpuruk, PLN akhirnya mendapat suntikan dana berupa penyertaan modal dari pemerintah (PMP) sebesar Rp 27 triliun. Untuk sementara, perusahaan negara ini bisa tenang dan terlepas dari tindihan beban utang. Kerugiannya tahun ini pun tak seburuk tahun lalu, yang mencapai Rp 22,5 triliun. Diperkirakan kerugian PLN tahun ini hanya sekitar Rp 4 triliuni. Tapi, dengan adanya tambahan utang gara-gara kerja sama proyek Paiton, beban PLN kembali menumpuk. Alhasil, upaya pemerintah mengambil alih utang PLN juga tidak membawa manfaat yang maksimal.
Hal itu terutama gara-gara utang PLN yang bertambah. Pada waktu itu juga, perusahaan setrum negara ini tengah bergelut dengan kekurangan pasokan listrik pada sejumlah wilayah di Indonesia. Pasokan listrik di luar Jawa hanya aman di dua wilayah, yakni di Riau-Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan. Di luar itu, pasokan listrik benar-benar sangat terbatas. Bahkan, di beberapa wilayah, pasokan listrik sudah lebih kecil dari kebutuhannya. Akibatnya, terjadi pemadaman bergilir. Di Sumatra Selatan, giliran pemadaman sudah berlangsung selama dua tahun terakhir.
Kawasan Jawa-Bali, yang sekarang aman, juga akan mengalami kekurangan pasok listrik pada tahun 2003-2004. Jika tidak ada tambahan pasokan listrik baru, pasok listrik Jawa-Bali pasti akan terganggu, terutama karena pertumbuhan permintaan listrik lebih tinggi dari yang diperkirakan, yakni sampai 12 persen, sementara PLN memperkirakan hanya 11 persen. Karena itu, PLN harus membangun pembangkit baru plus jaringan distribusi dan transmisi yang baru pula. Untuk Jawa-Bali sudah ada cadangan, yaitu Tanjung Jati B, sebuah pembangkit listrik tenaga uap yang berkapasitas 1.320 MW. Sedangkan kekurangan listrik di luar Jawa belum ada kepastian akan dipenuhi dari mana. Yang pasti, luar Jawa-Bali memerlukan paling kurang daya listrik sekitar 1.000 MW agar kawasan yang luas itu benar-benar terjamin.
Untuk membangun beberapa pembangkit listrik, tentu dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk Tanjung Jati B saja, pemerintah harus menyediakan dana US$ 550 juta. Sementara ini, kekurangannya akan ditutup dengan pinjaman dari Jepang sebesar US$ 1,1 miliar. Sedangkan dana yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit di luar Jawa-Bali sekitar US$ 2,2 miliar. Jika tidak segera dibangun, kekurangan pasokan listrik akan melanda Jawa-Bali, sementara kondisi di luar interkoneksi Jawa-Bali bisa semakin parah.
Karena itu penyelesaian masalah listrik swasta memang tak bisa ditunda-tunda. Sumber TEMPO itu menghitung, jika pemerintah gagal mencapai kesepakatan sebelum September tahun ini, pemerintah harus mengeluarkan duit lebih besar lagi. PLN harus membayar tunai US$ 63 juta, sehingga pembayaran akan mencapai US$ 344 juta plus utang hampir US$ 900 juta. Direktur Utama PLN, Eddie Widhiono, menolak berkomentar mengenai perundingan tersebut, sementara Presiden Direktur Paiton Energy, Ronald Landry, tak berada di Jakarta dan tak ada stafnya yang berani memberi keterangan.
Satu hal yang sebaiknya diwaspadai adalah tekanan utang. Pemerintah tak boleh terburu-buru, yang berakibat terus-menerus terperosok ke lubang yang sama, seperti ketika PLN berunding dengan Overseas Private Investment Corp (OPIC) dalam sengketa dengan PLTP Dieng dan Patuha. Harus diakui, keandalan PLN dalam berunding masih menjadi tanda tanya besar, bukan cuma pada saat negosiasi, tapi juga pada saat proyek listrik swasta ini direncanakan. Akibatnya, PLN mesti membeli listrik dari pembangkit swasta, padahal pembangkitnya mampu memenuhi kekurangan itu sendiri. Dan panen utang ini lagi-lagi menjadi bukti nyata ketidakmampuan PLN sebagai sebuah perusahaan.
Emir Muis, anggota Komisi VIII DPR RI, mengingatkan agar pemerintah jangan cuma menyetujui proposal yang diajukan Paiton Energy. Ada soal lain yang harus diselesaikan, yakni kasus korupsi yang terjadi di pembangkit listrik yang menghabiskan investasi US$ 2,5 miliar itu. "Kalau tidak mau menyeret yang ada di luar negeri, pemerintah harus menjewer yang di dalam negeri," katanya. Indikasi itu memang terlihat jelas bagaikan di bawah sorotan lampu yang terang-benderang. Sejumlah auditor sudah menilai Paiton I, dan semua pihak berpendapat bahwa nilai investasinya telah digelembungkan (mark-up). Pendapat itu datang dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Lavalin. Hanya, disayangkan, kasus ini tidak dilanjutkan ke pengadilan oleh bekas presiden Abdurrahman Wahid. Kendati demikian, tak berarti mereka boleh melenggang bebas walaupunmisalnyanegosiasi sudah dinyatakan selesai.
M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani, Adi Prasetya
Skema Pembayaran Paiton I | |||
Perjanjian | Pembayaran Tunai (US$) | Utang | Keterangan |
Interim agreement I | 115,0 juta | 530 juta | Berlaku 10 bulan |
Interim agreement II | 108,0 juta | 188 juta | Berlaku 6 bulan |
Interim agreement III | 59,6 juta | 87 juta | Berlaku 3 bulan |
Jumlah | 281,2 juta | 805 juta |
Tambahan Utang dari Listrik Swasta | ||
Nama Proyek | Kewajiban PLN dan Pemerintah (US$) | Keterangan |
PLTP Dieng dan Patuha | 400 juta | Sudah diputuskan dibayar |
PLTP Sengkang | 40 juta | Sudah diputuskan dibayar |
PLTP Karaha-Bodas | 290 juta | Masih dalam negosiasi |
PLTU Paiton I | 805 juta | Masih dalam negosiasi |
Jumlah | 1.535 juta | Keterangan: PLN masih merundingkan pembayaran terhadap PLTP Gunung Salak dan Paiton II |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo