Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

M.C. Ricklefs: Ada Islamisasi yang Mendalam

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CUKUP banyak ilmuwan Barat yang gandrung meneliti masyarakat Islam di Indonesia. Tapi tampaknya tak ada yang melakukannya seintens Merle Calvin Ricklefs, profesor sejarah dari Universitas Cornell. Ia mendalami topik itu hampir empat dasawarsa, nyaris tanpa jeda. Dan terakhir, ia membandingkan keislaman yang berkembang di Kediri dan di Solo.

Ricklefs pintar berbahasa Indonesia. Dan ia memang menyimpan passion khusus. “Dalam setahun saya datang (ke Indonesia) 8-10 kali,” ia bercerita tentang penggaliannya.

Ricklefs datang pertama kali ke negeri ini pada 1969. Ketika itu ia mahasiswa doktoral yang tengah mendalami sejarah Jawa pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I (1749-1792). ”Khususnya lagi dalam dunia gaib Jawa. Baru setelah itu saya melihat bahwa pemahaman mengenai agama Islam di Jawa akan penting sekali artinya dalam memahami masyarakat secara keseluruhan,” tuturnya.

Dari titik itu sosok yang kini mengajar di Universitas Nasional Singapura—pernah di Universitas London, Universitas Monash, dan Universitas Melbourne—ini melanjutkan studinya tentang Islam di Jawa dalam berbagai faset. Pada Selasa dua pekan lalu, ia menerima Akmal Nasery Basral, R. Fadjri, dan Heru C. Nugroho dari Tempo di Hotel Melia Purosani, Yogyakarta. Dalam usianya yang ke-63, ia tampak bugar. ”Rumah saya di Australia di samping gunung, sehingga saya hobi main ski,” katanya. Berikut adalah petikan wawancaranya:

Apa fokus penelitian Anda sekarang?

Saya sedang mengerjakan satu seri yang terdiri dari tiga buku tentang Islam di Jawa. Buku pertama, yang menggambarkan Islam dari abad ke-14, sudah keluar tahun lalu. Buku kedua membahas periode 1870-1930, dan rencananya pada akhir bulan ini terbit. Buku ketiga dari tahun 1930 sampai sekarang, masih tahap pengumpulan bahan. Hasil studi ini akan saya sampaikan dalam seminar internasional ”Indonesia Update” di Universitas Nasional Australia pada 7 September.

Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 Anda juga membahas Indonesia sampai terpilihnya Presiden Yudhoyono. Apa bedanya dengan yang sekarang?

Buku itu masih bersifat umum. Yang saya kerjakan sekarang lebih terpusat pada masyarakat Jawa dengan dua studi kasus di Kediri dan Solo. Informasi sejarah kedua kota ini sejak abad ke-19 sangat bagus dan menunjukkan banyak persamaan. Namun, jika diperbandingkan, muncul juga hal-hal yang menarik.

Misalnya seperti apa?

Kedua kota itu berbasis industri. Solo dengan industri tekstil seperti Sritex yang mempekerjakan 6.000 karyawan. Kediri dengan Gudang Garam yang memiliki sekitar 40.000 karyawan. Keduanya punya tradisi politik radikal, selain pernah menjadi basis politik PKI. Di kedua kota ini juga terjadi pembantaian dahsyat pada 1966. Persamaan lain, ada sejarah ketegangan antara abangan dan santri, serta sama-sama pernah mengalami kerusuhan anti-Cina. Menariknya, sejak era 1970 mulai terlihat perbedaan. Solo masih cukup radikal, sedangkan Kediri tidak. Lewat studi kasus yang membandingkan dua kota ini lebih terperinci, saya kira kita bisa menemukan kunci yang akan menjelaskan lebih jauh gambaran masyarakat Islam.

Apa yang Anda jumpai?

Masih hipotesis dan agak prematur: kuncinya pada faktor pimpinan, baik pemimpin bisnis, tradisional, maupun modern. Di Kediri, Gudang Garam menunjukkan tanggung jawab sosial lewat dukungan terhadap berbagai kegiatan antarumat beragama. Di Solo, gejala ini tak terlihat. Belum lagi pengusaha besar Solo sudah banyak yang tinggal di Jakarta daripada di kota mereka. Untuk pimpinan tradisional, saya lihat kalangan Mangkunegaran di Solo itu hampir tidak dihormati orang. Sedangkan di Kediri peran para kiai cukup kuat, meskipun ada yang bilang mereka terlibat politik praktis. Namun yang paling menentukan adalah pimpinan modern. Bentuknya bisa partai politik, DPRD, atau wali kota. Di Kediri mereka cukup netral, tapi di Solo sebelum wali kota sekarang Pak Jokowi yang cukup bagus, wali kotanya malah terlibat korupsi dan ditahan.

Bagaimana di tingkat masyarakat? Apakah konsep abangan, santri, dan priayi dari Geertz masih berlaku?

Saya hormati penelitian Clifford Geertz. Tapi kesalahan utama konsep tersebut adalah karena ketiganya dianggap eksis sejak kedatangan Islam. Padahal kalangan abangan itu tidak diketahui sama sekali dalam masyarakat Jawa sebelum tahun 1850-an. Abangan baru muncul, baik sebagai sebutan maupun eksistensinya, sebagai reaksi atas gerakan pemurnian Islam pada pertengahan abad itu yang dilakukan segelintir orang Islam Jawa. Namun mayoritas masyarakat Jawa justru menjauhkan diri dari keinginan untuk menyempurnakan kehidupan beragama itu. Ada yang berhenti sembahyang, berhenti berpuasa sebagai perlawanan terhadap pemurnian itu. Istilah abangan sendiri lalu muncul sebagai ”penghinaan” dari kalangan putih.

Artinya, konsep itu sudah tidak relevan?

Baru-baru ini ada survei dari Pusat Penelitian Islam & Masyarakat (PPIM) UGM dengan hasil bahwa istilah santri dan abangan itu sudah tidak disukai masyarakat. Sebagian besar responden bilang mereka dekat dengan Muhammadiyah tapi tak mau disebut santri. Di Kediri, sebuah penelitian lain yang menanyakan ”Apakah Anda abangan, kejawen, atau santri?”, ternyata banyak yang menjawab bahwa mereka itu ”Islam nasional” atau ”Islam netral”. Ini menarik.

Bisa dijelaskan kedua istilah itu?

Ini istilah yang muncul dari mereka sendiri, sebuah identitas baru. Islam nasional, misalnya, adalah kelompok yang melakukan pemurnian tapi tidak menjadi radikal, dan mulai memegang Pancasila lagi sebagai konsep nasional, misalnya seperti di Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti milik Mbah Lim (K.H. Muslim Rifa’i Imampuro—Red) di Klaten. Jadi ada usaha untuk menampilkan Islam yang mendukung identitas Indonesia, bukan melawan identitas itu.

Apa saja faktor pemicunya? Masih ada hubungannya dengan pembinaan semasa Orde Baru dulu?

Saya kira gejala ini muncul di banyak tempat, meskipun pertama kali saya lihat di Kediri. Setelah Orde Baru runtuh, semua orang lupa pada Pancasila. Sekarang, hampir satu dasawarsa setelah jatuhnya Soeharto, Pancasila justru muncul lagi sebagai pegangan banyak orang. Juga ada penelitian Pascasarjana UGM yang dipimpin Irwan Abdullah (Direktur Eksekutif Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM—Red.) dengan temuan menarik. Ada sebuah kelompok cukup besar yang menyebut diri Islam Tauhid. Pengikutnya terutama tinggal di daerah pegunungan. Gurunya ada yang perempuan. Ini ditemukan di Gunung Kidul dan sekitarnya. Artinya, banyak sekali perkembangan belakangan ini tak dapat dijelaskan oleh konsep abangan, santri, priayi.

Apa maksudnya ”Islam netral”?

Mereka ingin berdiri di tengah, tak ingin diidentifikasi sebagai pihak ini atau pihak itu, sebagai anggota Muhammadiyah atau NU. Ada ilustrasi yang menyangkut keinginan mendirikan negara Islam. Kalau kita lihat riwayat hidup Kartosuwiryo yang memotori pemberontakan pada 1948, saya kira dia adalah seorang yang sangat saleh tapi terpengaruh oleh lakon-lakon Jawa. Sedangkan gerakan yang ingin mendirikan negara Islam sekarang itu lebih merujuk ke Timur Tengah. Biasanya terhadap tokoh-tokoh gerakan ini ada satu pertanyaan yang saya ajukan, ”Seandainya cita-cita mereka itu tercapai, apakah akan masih tetap ada gamelan, wayang, bedaya, dan sebagainya?”

Jawaban mereka?

Ada yang diam, karena mungkin belum memikirkan sama sekali. Tapi ada juga yang menyebut ”lihat bagaimana nanti”. Ada juga yang menjawab begini: karena Tuhan menciptakan manusia dan jin, artinya makhluk halus, maka Nyi Roro Kidul yang termasuk kategori makhluk halus ciptaan Tuhan tetap harus dihormati dan dipelihara.

Saya juga pernah bertemu tokoh lain lagi yang bilang bahwa kebudayaan apa pun dari seluruh dunia bisa diterima umat Islam, asal tidak mengandung maksiat dan syirik. Lalu saya tanya, ”Kalau begitu bagaimana dengan bedaya di mana Ratu Kidul bisa hadir?” Jawabannya, ”Kalau begitu syirik.” Saya tanyakan beberapa contoh lain yang semuanya dijawab, kalau tidak termasuk maksiat, ya syirik. Jadi pada prinsipnya semua kebudayaan bisa diterima, tapi pada prakteknya ternyata tak ada yang bisa diterima. Itu menunjukkan bahwa satu-satunya kebudayaan yang bisa diterima adalah apa yang berlaku di Arab.

Bagaimana kita membedakan bahwa itu ”Arabisasi” dengan usaha pemurnian ajaran Islam?

Bagi mereka itu pasti bukan penerimaan budaya lain, melainkan penerimaan Islam secara kaffah (menyeluruh—Red.). Mereka sincere, dan jumlahnya cukup banyak. Misalnya MMI, Front Pemuda Islam Surakarta, atau Laskar Umat Islam Surakarta. Saya kira organisasi seperti ini di Solo saja ada 20-an.

Bagaimana dengan yang masuk partai, seperti PKS?

Kader mereka sangat terdidik dan memiliki disiplin kuat. Pendekatan yang mereka lakukan juga menunjukkan intelektualitas tinggi. Beberapa tokoh PKS yang saya kenal juga menunjukkan mereka mampu menjadi teladan yang bagus. Tapi sekarang kalau kita melihat pada hasil Tanwir Muhammadiyah terakhir, saya merasakan adanya kecenderungan bahwa mereka terancam dengan PKS.

Apa indikasinya?

Mereka mengeluarkan semacam pengumuman internal bahwa walaupun ada partai yang menyebut dirinya gerakan dakwah, toh mereka masih partai politik. Dan tujuan partai politik selalu kekuasaan. Pengumuman itu secara spesifik juga menyebutkan PKS, dengan harapan agar warga Muhammadiyah ingat, bagaimanapun ada perbedaan antara partai sebagai gerakan politik dan gerakan tablig, seperti diajarkan Muhammadiyah. Saya merasakan ada semacam kekhawatiran Muhammadiyah terhadap PKS dan HTI bahwa mereka akan menginfiltrasi atau meng-kup, misalnya, Badan Amal Usaha Muhammadiyah. Sedangkan dari sudut PKS dan HTI, mereka melihat pengaruh Muhammadiyah dan NU berdasarkan sistem sekolah mereka. Kalau ingin punya pengaruh serupa, mereka juga harus mendirikan sekolah.

Anda menemukan istilah khusus untuk menyebut kelompok seperti PKS dan HTI?

Memang ada kesulitan yang besar secara fenomenologi karena tidak ada yang bisa memuaskan. Tapi saya lebih suka menyebut mereka fundamentalis, dalam arti mereka kembali kepada fundamen ajaran Islam, Al-Quran, dan Al-Hadis. Tapi, kalau hanya pengertian itu, Muhammadiyah dan NU pun bisa disebut fundamentalis. Karena itu harus dilihat lagi bagaimana filsafat atau teologi mereka, strategi operasionalnya, tujuan spesifiknya, baru bisa dirumuskan lebih lengkap. Kalau hanya dengan satu istilah memang jauh dari memuaskan. Susah sekali.

Bagaimana dengan FPI dan Laskar Jihad?

Saya melihat mereka berada di pinggir. Tetap harus diperhatikan, tetapi yang menentukan (situasi) adalah negara, bukan mereka. Itu bisa dibandingkan dengan kelompok Baader-Meinhof tahun 1970-an di Jerman. Bukan mereka yang menentukan masa depan Jerman. Bedanya dengan FPI, Baader-Meinhof adalah kelompok pembunuh. Persamaan yang lebih cocok mungkin dengan Angkatan Muda Nazi.

Setelah hampir empat dekade meneliti topik ini, perubahan fundamental apa yang Anda temukan?

Saya kira memang ada proses Islamisasi yang sangat mendalam dan signifikan. Saya ingat cerita dari seseorang yang berada di sini lama sekali, Romo Zoetmulder. Menurut dia, sebelum Perang Dunia II tidak pernah terdengar azan di Yogya. Sesudah revolusi, kadang-kadang terdengar azan. Sekarang hampir setiap saat terdengar azan dan dengan pengeras suara. Ini salah satu contoh bagaimana pengaruh Islam jauh lebih mendalam sekarang. Mungkin ini satu aspek dari modernisasi. Sebagaimana kita ketahui, sejak tahun 1960-an di seluruh dunia ada kebangkitan kembali pengaruh agama.

Ini bagian dari gejala global atau hanya lokal?

Amerika merupakan negara yang paling modern, paling kuat, paling kaya, sekaligus juga merupakan negara di mana peran agama kuat sekali. Ketika ditanya apakah akan mengikuti gaya ayahnya, Presiden Bush menjawab, ”Ayah yang di atas lagi.” Maksudnya Tuhan. Tapi di Eropa yang juga modern, kaya, dan kuat, peran agama ternyata masih lemah. Kenapa ada perbedaan antara Amerika dan Eropa? Itu juga tidak bisa dikaitkan dengan bahasa Inggris, karena di Inggris, peran gereja juga lemah sekali. Di Australia, juga terjadi hal yang sama. Gereja lemah sekali. Apakah akan berubah pada masa depan? Kita belum tahu. Tapi sampai sekarang, selama setengah abad terakhir, Amerika dan Eropa sangat berbeda khusus dalam hal ini.

Merle Calvin Ricklefs Lahir: Fort Dodge, Iowa, 17 Juli 1943 Pendidikan: PhD dari Jurusan Sejarah Universitas Cornell Pekerjaan: Profesor Departemen Sejarah Universitas Nasional Singapura Beberapa karya penting:

  • Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792: A History of the Division of Java. (London: Oxford University Press, 1974)
  • Modern Javanese Historical Tradition: A Study of an Original Kartasura Chronicle and Related Material (London: School of Oriental and African Studies, 1978)
  • A History of Modern Indonesia ca. 1200 to the Present (Indiana University Press, 1981)
  • Mystic synthesis in Java: A history of Islamization From the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries(NY: East Bridge, 2006)
Penghargaan: Centenary Medal dari Pemerintah Australia atas jasanya bagi masyarakat Australia melalui berbagai studi kemanusiaan tentang Indonesia (2003).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus