Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Jika Hidup Bisa Sederhana

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Saya setuju untuk tidak sepakat tanpa darah....” ”Saya memilih tidak berperang.”

(debat di Max Bell Theatre, Lester B. Pearson College of the Pacific, 1982)

Kalimat pertama diucapkan oleh Tammy, murid Israel, dan kalimat kedua diucapkan oleh Abdullah, murid Palestina, dalam sebuah diskusi World Debate yang diadakan secara rutin di auditorium Max Bell di atas bukit di kampus Lester B. Pearson College. Keduanya adalah dua dari 200 pelajar yang terpilih dari 65 negara untuk menempuh pendidikan selama dua tahun di Lester B. Pearson College of the Pacific, Victoria, Kanada.

Dua murid ini bisa menyelesaikan debat mereka yang panas, disaksikan ratusan murid lain dan para guru serta pers lokal, dengan jabat tangan dan senyum karena udara sejuk Victoria, atau mungkin juga karena sinar matahari di Teluk Bay yang romantis selalu menembus melalui kaca gedung teater itu. Yang jelas, setelah mereka lulus, mereka tahu hidup tak sesederhana itu. Namun, paling tidak, murid Palestina dan Israel itu tahu bahwa masih banyak jalan yang harus ditempuh. Perang bukanlah opsi terbaik.

Lester B. Pearson College of the Pacific adalah satu dari 12 sekolah yang termasuk dalam jaringan United World Colleges. College pertama yang berdiri adalah Atlantik College di Wales, Inggris, yang dipelopori oleh Kurt Hahn (pendiri Atlantik College di Inggris) pada 1967 dan dilanjutkan dengan berdirinya United World College (UWC) di Singapura. Lester B. Pearson, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian mendirikan Lester B. Pearson College yang dibangun di tengah hutan pinus di pinggir Teluk Bay, jauh dari keramaian kota Victoria, di Pulau Vancouver, Kanada. Selanjutnya menyebarlah ide ini berturut-turut ke Afrika Selatan, AS, Italia, Venezuela, Hong Kong, Norwegia, India, Bosnia, dan Kosta Rika. Presiden pertama jaringan UWC adalah Lord Mounbatten dari Inggris, yang kemudian diteruskan oleh keponakannya, Pangeran Charles. Sekarang Presiden UWC, yang dipilih tujuh tahun sekali, adalah Ratu Noor dari Yordania dan presiden kehormatannya adalah Nelson Mandela dari Afrika Selatan.

Ide terpenting menyatukan 200 pelajar dari berbagai negara, etnis, agama, dan warna kulit ini justru untuk menghapus rasisme, keserakahan, dan menumbuhkan pemahaman atas perbedaan di dunia melalui pendidikan.

Indonesia sudah memiliki wakil di sana sejak akhir 1970-an dengan mengirimkan dua pelajar setiap tahun. Di masa lalu, sistem seleksi di Indonesia dilakukan secara langsung oleh pemerintah Kanada bekerja sama dengan Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai fasilitator. Finansial sepenuhnya disediakan oleh Canadian International Development Agency (CIDA). Sejak 2004, Komite UWC di Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Sampoerna dan Yayasan Schlumberger, yang hingga kini telah memberangkatkan 14 siswa dari berbagai provinsi di Indonesia. Kini seleksi dilakukan oleh sebuah komite nasional yang anggotanya kebanyakan merupakan alumni UWC.

Yang paling sulit selama dua tahun di sekolah ini—yang teorinya setara dengan SMA dan pra-universitas—adalah pencapaian akademik yang top sudah harus menjadi jaminan. Mata pelajarannya pun sangat dalam dan lebih mirip mata kuliah tahun pertama: sejarah, filsafat, antropologi, ekonomi, matematika, kimia, seni rupa, dan musik. UWC mementingkan ekstrakurikuler yang dahsyat. Kalau Anda hanya penggemar perpustakaan dan tidak aktif di luar sekolah, jangan harap untuk bertahan di sini.

Di akhir tahun kedua, semua murid akan ikut apa yang disebut International Baccalaureate Exam yang isinya sama dengan seluruh jaringan UWC di dunia, dan hasilnya dikirim ke para pemeriksa di kantor pusat. Jika lulus (dan di sini tak ada yang namanya katrol atau ”kasihan”), Anda akan mendapat IB Diploma yang bisa menjadi ”tiket” untuk masuk ke berbagai universitas terkemuka di dunia.

Tapi ”tiket” yang tak ternilai harganya bukan hanya diploma IB, melainkan sebuah pengalaman bersentuhan langsung dengan 200 siswa lain dan hidup bersama. Lihatlah Richard Waery, korban kerusuhan Ambon pada 1999. Pada 2005, ia memperoleh beasiswa di United World Colleges The American West, Amerika. Di sana ia berkumpul dengan 200 siswa dari 81 negara. Dia mengaku risih dengan gaya hidup di kampus yang siswanya hanya menyapa guru dengan nama depan dan memulai kelas tanpa diawali salam. Namun, lambat-laun ia bisa menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan itu, bahkan menikmatinya.

United World Colleges tidak berpretensi hanya memberi beasiswa kepada yang mereka yang tak berpunya. Seleksi mengutamakan kompetensi akademik dan kegiatan di luar sekolah. Jadi, latar belakang finansial keluarga tak dipedulikan. Itulah sebabnya, jangan kaget, di sana bisa ada anak nelayan, tapi bisa juga ada anak jenderal dan anak konglomerat yang mendapat beasiswa. Yang penting, Anda tak menemukan anak malas atau anak manja di sekolah ini.

Nugroho Dewanto dan Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus