Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJADI menteri membuat kesibukan Muhammad Nuh mendadak berlipat ganda. Tapi hal itu sama sekali tak mempengaruhi kedekatannya dengan keluarga dan kampung halaman. Kamis malam pekan lalu, setelah melakukan kunjungan kerja ke Ternate, Maluku Utara, ia menyempatkan diri mampir ke Surabaya, Jawa Timur, untuk menghadiri pernikahan kerabatnya.
Seusai ibadah salat Jumat, bekas Rektor Institut Teknologi 10 November Surabaya itu mengajak Tempo menumpang sedan Toyota Yaris perak miliknya. Ia menyetir sendiri mobil itu dari kediamannya di Perumahan Rungkut Asri Utara menuju tempat tinggal orang tuanya di Kelurahan Gununganyar yang berjarak sekitar 3 kilometer. Di kawasan yang pernah menjadi daerah eksplorasi minyak di zaman Belanda itulah Nuh dibesarkan. "Ini kampung sendiri, jadi santai saja, ya," kata doktor lulusan Prancis itu dalam bahasa Jawa logat Surabaya.
Kurang dari 10 menit, mobil masuk sebuah gang yang hanya cukup untuk dua mobil bersimpangan. Di dalam gang itulah terletak rumah orang tua Nuh. Tiga kain spanduk warna hijau yang mulai lusuh tampak masih terbentang. Di spanduk itu tertulis ucapan selamat atas pelantikan M. Nuh sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi.
Di sana, selain menghadiri pernikahan kerabatnya, Nuh juga menemui sejumlah petinggi asuransi Jiwasraya dan PT Petrokimia Gresik. Dengan lesehan, mereka berbincang sembari menyantap makan siang dengan menu rawon, masakan khas Jawa Timur. Beberapa sisir pisang ikut menemani.
Setelah para tamunya berpamitan, barulah Nuh menjawab penuh pertanyaan Sunudyantoro dari Tempo tentang rencana merevisi UU Pers dan programnya sebagai menteri. Berikut nukilannya.
Bagaimana dengan draf revisi UU Pers yang isinya membahayakan kebebasan pers?
Salah satu pilar demokrasi adalah pers. Ideologi pers adalah freedom of the press. Tetapi, di sana juga ada responsibility. Keduanya mirip dua sisi mata uang yang tidak bisa saling hilang. Keduanya harus ada keharmonisan.
Apakah Anda sudah menerima draf akademis revisi UU Pers itu?
Saya belum menerima, tetapi ini kan sering dikutip oleh teman-teman media massa dan banyak kalangan. Yang menjadi arus besar dari kutipan ini adalah pembreidelan media massa oleh pemerintah.
Benarkah Departemen Komunikasi dan Informatika yang mengeluarkan draf revisi itu?
Secara resmi kami belum mengeluarkan rancangan itu. Jadi, draf yang sekarang beredar di masyarakat itu secara resmi bukan keluar dari Depkominfo. Tapi sudahlah, ini bagian dari kajian. Ke depan, yang paling penting adalah semangat bahwa pers harus diberikan kebebasan sebagaimana lazimnya-tapi bukan kebebasan mutlak. Harus ada keseimbangan dengan tanggung jawab.
Pembuat draf sepertinya punya persepsi bahwa pers kita kebablasan. Bagaimana menurut Anda?
Jangan sampai membuat generalisasi bahwa pers Indonesia telah keterlaluan atau kebablasan atau bahkan tidak ada aktivitas. Saya kira tidak bisa seperti itu. Saya bisa melihat kasus demi kasus. Dalam kasus tertentu, pers sangat-sangat agresif dan kadang sebagian orang melihatnya berlebih. Tetapi, ada case tertentu pers sama sekali tidak berbicara.
Kapan pers berlebihan dan dalam kasus apa pers diam?
Dalam urusan tentang hak asasi manusia, suara pers tergantung pada siapa yang kena. Kadang-kadang santai saja. Namun, di sisi lain, dalam kasus-kasus tertentu, memberikan opini yang berlebihan. Saya tidak bisa omong kasus apa itu karena tidak etis.
Bagaimana Anda melihat kebebasan informasi?
Tesis besarnya: informasi itu adalah kebutuhan dasar manusia. Hak setiap orang untuk mendapatkan informasi. Saya selalu mengibaratkan informasi itu sebagai oksigen. Semua orang ingin menghirup oksigen yang bersih yang segar. Jangan sampai masyarakat menghirup oksigen yang terkontaminasi karena bisa membawa penyakit. Kami tidak akan mengatur delik teknis. Kontrol itu ada di dalam pers sendiri. Tetapi harus ada jaminan oksigen yang berupa informasi itu yang murni dan menyehatkan.
Jadi, Depkominfo tidak ingin merevisi UU Pers?
Kami memberikan kesempatan kepada teman-teman pers untuk mengambil inisiatif apakah UU yang sudah ada ini perlu direvisi atau tidak. Kalau teman-teman pers menganggap belum saatnya revisi, ya tidak usah ada perubahan. Yang namanya undang-undang atau peraturan pasti dipengaruhi waktu, isi, dan konteks. UU Pers ini lahir pada 1999, dalam perjalanan waktunya bisa jadi konteksnya dengan sekarang berubah. Produk apa pun, kecuali kitab suci, wajar-wajar saja untuk direvisi. Tapi kalaupun ada revisi, harus mengarah ke yang lebih baik, bukan mundur.
Apa saja yang perlu diperbaiki?
Apakah kebutuhan hidup kawan-kawan pers telah dipenuhi oleh UU Pers, misalnya, soal gaji dan kepastian hukum statusnya. Juga, soal kepastian hukum perusahaan persnya. Apakah perusahaan pers telah memenuhi ketentuan ILO (International Labor Organization) untuk hubungan perburuhannya. Jangan sampai seorang wartawan yang baru bekerja seminggu tiba-tiba perusahaannya tutup. Kalau wartawan atau jurnalis dianggap sebagai profesi, maka ada tiga hal yang melekat. Pertama, sertifikasi dari profesi itu sendiri. Kedua, terkait dengan hak-hak atas profesi itu. Dan, ketiga, hak-hak yang berkait dengan pengembangan profesionalisme. Tapi revisi ini saya serahkan ke kalangan pers. Pemerintah bersifat memfasilitasi dan jadi teman berdialog.
Apakah kerja sama dengan Microsoft untuk pengembangan program komputer tetap dilanjutkan?
Kerja sama dengan Microsoft berakhir 31 Maret 2007. Kerja sama dengan siapa pun harus terbuka. Ujung-ujungnya harus memberikan manfaat bagi bangsa. Kerja sama dengan siapa pun selama memberi manfaat dan mekanisme serta prosedurnya betul, maka itu boleh-boleh saja.
Jadi, kerja sama itu akan berlanjut?
Urusan Microsoft atau bukan, itu harus kami lihat dari faktanya dulu. Ada dua aliran besar, yakni copyright dan copy left, yaitu yang menggunakan hak cipta dan yang satunya adalah bebas atau orang menyebutnya open source. Yang menggunakan hak cipta diwakili oleh Microsoft. Orang sering guyon, di satu sisi ada Microsoft dan di sisi lain ada Microhard. Yang satunya membayar hak cipta, yang satunya gratis. Dua aliran ini adalah fakta. Kalau mau menggunakan Microsoft, maka semangatnya adalah memanfaatkan secara legal dengan membeli hak cipta atau konsekuensi-konsekuensi lainnya. Sebaliknya, kalau menggunakan jalur open source maka gunakan prinsip-prinsip bebas di sana.
Tapi bukankah Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman mendorong penggunaan open source?
Dua-duanya kami persilakan untuk berjalan agar terjadi kompetisi yang sehat. IGOS (Indonesia Go Open Source) harus terus didorong, tapi populasi pemakai open source ini relatif sedikit. Dari sisi kemajuan teknologinya, open source juga belum masif. Karena itu, open source harus didorong tanpa harus melarang penggunaan Microsoft. Pemerintah bertugas memberikan pilihan-pilihan. Kami tidak ingin terjebak apakah copyright atau copy left.
Apakah Anda menyiapkan program baru?
Saya masuk kabinet di tengah periode dan di tengah tahun. Otomatis saya akan melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh menteri sebelumnya. Ada empat hal dasar yang saya canangkan. Pertama, akselerasi. Program yang targetnya selesai Oktober, maka sebisa mungkin selesai September atau lebih cepat lagi. Kedua, menegakkan kesesuaian terhadap peraturan. Saya tidak ingin setelah di sini masuk kuliah di "prodeo university" alias penjara. Ketiga, menerapkan prinsip yang saya sebut three-G, yakni Good Government Governance alias sistem pemerintahan yang sehat. Sehatnya departemen seperti manusia, dia harus produktif, transparan, dan akuntabel. Prinsip keempat adalah memberikan kontribusi finansial.
Dari mana saja sumber finansial itu?
Yang sangat kasatmata adalah frekuensi. Frekuensi itu seperti tanah. Tuhan sudah tidak membuat tanah. Bumi yang kita pijak makin lama makin terbatas. Sama juga dengan frekuensi, ke depan juga segitu saja. Jadi, harus kita eman, jangan diobral seenaknya. Juga, harus ada kebijakan yang tepat. Seperti tanah, kalau tanahnya cuma 1.000 meter hanya mampu untuk bikin lima rumah, maka harus ada teknologi untuk memanfaatkannya berlipat, misalnya teknologi bangunan bertingkat. Frekuensi juga kita manfaatkan lebih dengan cara menggunakan teknologi digital. Ini agar yang memanfaatkan semakin banyak. Teknologi analog harus kita tinggalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo