Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Marsekal TNI Chappy Hakim, Kepala Staf TNI Angkatan Udara: "AU Bukan Angkutan Udara"

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia lahir dan hidup di udara. Setiap kali merayakan ulang tahunnya, Marsekal TNI Chappy Hakim sesungguhnya merayakan kelahiran dunia dirgantara. Ia lahir di Yogyakarta pada 17 Desember 1947. Pada tanggal dan bulan yang sama di tahun 1903, nun di Amerika Serikat, Wilbur Wright dan Orville Wright bersaudara untuk pertama kalinya menerbangkan pesawat buatan mereka, yang menandai babak awal umat manusia menggapai angkasa. Dan kini, Chappy Hakim mencapai puncak karier seorang prajurit udara: menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Udara. "Ada orang yang bilang bahwa di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Semua sudah diatur," kata Chappy. Boleh jadi, Chappy benar. Jalan hidupnya sudah diterakan di udara. Semasa kecil di Jalan Segara 4 Jakarta (sekarang Wisma Negara), ia kerap dibonceng ayahnya dengan sepeda ke Bandar Udara Kemayoran. Ia terpesona melihat pesawat yang besar, berat, sepotong kokpit dengan siluet kepala sang pilot di baliknya, bergemuruh tapi bisa melesat ke angkasa. Sejauh itu, ia tak punya keinginan jadi tentara, tapi Chappy bercita-cita jadi penerbang. Maka, setamat SMA ia mendaftar di Akademi Penerbangan Indonesia di Curug, dan diterima. Tapi jalan hidup berbicara lain. Sembari menunggu panggilan dari Curug, suatu hari ia menemani seorang kawan yang hendak mendaftar di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) Udara. Iseng-iseng, ia mengambil formulir dan mengisinya. "Eh, gua diterima dan kawan saya malah tidak lolos," kata Chappy. Peristiwa di tahun 1968 itulah yang mengawali karier Chappy di TNI Angkatan Udara. Ia lebih banyak terbang dengan pesawat angkut dan telah mengantongi lebih dari 8.000 jam terbang. "Dulu saya terbang dengan pesawat tanpa jendela. Kalau belok, masuk angin," katanya sembari tergelak. Pada 25 April 2002, ia dilantik menjadi Kepala Staf TNI-AU. Sayang sekali, ia mewarisi TNI-AU yang tidak sekuat masa lalu. "Pesawat tempur kita, karena kita enggak punya duit, ibaratnya sudah di pinggir jurang," kata Chappy. Indonesia memang sempat membeli pesawat tempur canggih buatan Amerika Serikat, F-16 Fighting Falcon, tapi kemudian tidak berdaya karena embargo Amerika sendiri. Semula Chappy senang mendengar Presiden Megawati Soekarnoputri membeli empat pesawat Sukhoi dari Rusia untuk TNI-AU. Tapi kemudian ia prihatin, pembelian senjata ini telah memicu polemik di Tanah Air. Dewan Perwakilan Rakyat sampai-sampai membentuk panitia kerja untuk mendalami kasus ini. Maklum, dalam pembelian Sukhoi, dirinya sebagai Kepala Staf TNI-AU tidak turut meneken pembeliannya. "Baru beli empat sudah ribut, bagaimana kalau satu skuadron," kata Chappy. Kepada wartawan TEMPO Tomi Lebang, Nugroho Dewanto, Nezar Patria, Wenseslaus Manggut, dan fotografer Budianto, Chappy Hakim bertutur tentang TNI-AU, kekuatan udara Indonesia, dan kasus Sukhoi, di rumah dinasnya di Jakarta, Rabu 25 Juni malam. Berikut petikannya.

Apa persiapan TNI Angkatan Udara menyambut kedatangan empat pesawat tempur baru dari Rusia?

Dari semua aspek, kami sudah siap. Kami sudah mengirim enam penerbang dan 18 teknisi ke Rusia untuk pelatihan. Beberapa di antaranya adalah instruktur F-16 juga. Mereka akan pulang awal September. Pesawatnya diharapkan bisa hadir di peringatan hari ulang tahun TNI, 5 Oktober nanti.

Sebenarnya, berapa kebutuhan pesawat tempur untuk TNI-AU?

Idealnya memang dua skuadron, tapi saya belum membayangkan sebanyak itu. Namun, kami mengupayakan agar minimal kami memiliki satu skuadron. Ini untuk membuat AU kita lebih tangguh dan pantas disebut Angkatan Udara, bukan "Angkutan Udara". Bisa dibayangkan, apabila kami memiliki satu kekuatan udara seperti pada tahun 1960-an, saya kira Sipadan-Ligitan akan lain ceritanya. Aceh dan Tim-Tim juga akan lain ceritanya. Kami juga mungkin bisa melihat konteks yang lain lagi dari pelanggaran wilayah, penyelundupan yang terjadi, pencurian, pelanggaran perbatasan, dan sebagainya.

Apakah TNI-AU merasa kurang kuat?

Negara di sekitar Indonesia tidak merasa negara kita patut disegani karena tidak memiliki satu kekuatan yang membuat mereka segan. Misalnya, Singapura yang berlatih di wilayah kita. Dengan segala keterbatasan kita, kita tak bisa mengawasi dengan benar apakah mereka melanggar atau tidak. Kita sekarang berada di posisi yang kurang menguntungkan. Lebih parah lagi, sekarang kita mau beli Sukhoi saja sudah ramai tidak keruan. Habis energi kita untuk ribut sendiri. Kenapa kita tidak himpun kekuatan untuk mengumpulkan energi? Pemerintah juga kita yang memilih, ya kita beri keleluasaan mereka bekerja. Kalau ada yang mau dikritik, ya dikritik secara konstruktif. Kritiklah yang bersifat kemitraan, bukan menghancurkan. Sebuah TNI yang kuat akan sangat menentukan posisi Indonesia di mata internasional.

Bisakah Anda menjelaskan ancaman yang Indonesia hadapi?

Sekarang ini, kalau kita bicara ancaman, AS saja tak bisa memperhitungkan ancaman yang eksak. Dan itu terbukti. Tragedi 11 September, siapa yang bisa memperhitungkan sebelumnya? Penerbangan domestik di dalam negara sendiri bisa digunakan musuh untuk menyerang. Kita tidak muluk-muluk melihat ancaman. Singapura saja bisa memiliki pesawat fighter sampai lebih dari dua skuadron. Malaysia dan Thailand juga punya banyak skuadron, apalagi Australia. Saat ini, tentara memiliki satu hubungan kemitraan yang sangat baik. AURI dengan Malaysia, Filipina, Singapura, dan lain-lain. Nah, bagaimana kita bisa berkomunikasi dengan baik, bergaul dengan baik, dan berbahasa yang baik kalau yang satu menggunakan perangkat udara yang canggih sementara kita, misalnya, pakai pesawat capung.

Mengapa Indonesia memilih Sukhoi?

Kita lihat sekarang, kita mau beli pesawat bekas tidak bisa. Mau beli suku cadang tidak bisa. Mau pakai pesawat Hawk yang sudah kita beli, itu pun masih digugat-gugat. Ini adalah kehormatan dan kedaulatan bangsa. Apakah kita mau diperlakukan seperti itu? Kita harus punya sikap dan bisa memposisikan diri bahwa kita tidak bisa dilecehkan begitu saja. Akhirnya diputuskan mencari pesawat dari Rusia. Pemerintah waktu itu sudah setuju untuk melihat pilihan-pilihannya. Waktu itu Indonesia tidak langsung memilih Sukhoi, tapi ada dua tawaran, yaitu Sukhoi dan MiG29. Kita sudah mengirimkan tim yang dipimpin Kepala Staf Kohanudnas, Marsekal Madya TNI Wartoyo (sekarang Wakil KSAU). Dia adalah penerbang F-16 pertama di Indonesia. Dia pergi ke Rusia dan menerbangkan MiG29 dan Sukhoi. Dari kajian secara ilmiah dan mencoba langsung, kita memilih Sukhoi dengan beberapa kelebihan.

Apa kelebihan Sukhoi?

Endurance dan kemampuan manuvernya lebih baik, masa pakai mesinnya juga lebih panjang, dan banyak keunggulan lain. Secara matriks, pilihan jatuh pada Sukhoi.

Tapi kemudian pembelian itu memicu polemik karena TNI-AU tidak dilibatkan….

Kalau dicermati, tak mungkin Presiden memutuskan membeli Sukhoi kemarin dan langsung bisa jadi. Itu satu hal yang sangat tidak mungkin. Kenapa tidak mungkin, karena AU sudah punya hubungan dengan mereka sejak 1995 dan 1996. Pihak Rusia juga bertanya setiap tahun jadi atau tidak (untuk membeli—Red), karena kami tidak mengatakan tidak jadi, tapi menunda. Kami tetap punya hubungan dengan mereka. Jadi, ini bukan sesuatu yang mendadak. Tidak mungkin suatu negara membeli pesawat tempur dengan tiba-tiba tanpa mempelajari. Tahun 1996 sudah disiapkan dan bahkan sudah dicat dengan bendera kita. Jadi, tidak tiba-tiba.

Mengapa pembelian Sukhoi tidak ada dalam anggaran TNI-AU?

Perencanaan yang disusun Angkatan Udara adalah perencanaan yang mengacu pada antisipasi dukungan yang ada. Jadi, tak mungkin kita berencana membeli Columbia atau Challenger. Kalau kita melihat sejarah, pengadaan pesawat yang banyak pada tahun 1960-an pun tidak ada yang mendadak. Kami memang tidak merencanakan, tapi kami mengusulkan dan memberikan laporan atensi kepada atasan. Misalnya waktu Tim-Tim, kami kewalahan karena pesawat Australia bisa seenaknya masuk. Kami memindahkan radar karena tidak mau dilecehkan. Jadi, jangan dipermasalahkan bahwa pembelian ini tidak direncanakan.

Jadi, TNI-AU sekadar menerima?

Kalau dilihat sekilas, itu benar. Tapi, kalau dicermati dengan baik, dari mana pemerintah bisa memutuskan Sukhoi, siapa yang tahu tentang Sukhoi kalau bukan kami?

Bukankah pembelian pesawat tempur harus dengan tanda tangan Kepala Staf TNI-AU, bukan Panglima TNI?

Saya di sini tak akan mengomentari hal-hal yang begitu. Itu prosedur pemerintah. Saya berada di satu tata surya dengan Panglima. Ada bintang, matahari, dan tidak boleh bertabrakan karena sudah bergerak di orbitnya masing-masing. Jika ada yang menabrak, itu meteor. Nah, saya tidak mau jadi meteor. Mari kita bergerak sesuai dengan orbitnya supaya galaksi ini harmonis.

Bagaimana bentuk penyesuaian teknis penggunaan Sukhoi di Indonesia?

Pesawat adalah teknologi mutakhir. Semua teknologi harus mengacu pada manual yang ada secara operasional, teknis, dan maintenance. Itu sebabnya AU seyogianya memiliki produk teknologi terakhir. Jadi, ketika pemerintah memiliki anggaran, kita tidak kesulitan. Waktu membeli F-16, kita sudah memiliki F-5. Waktu mau beli F-5, kita sudah punya A-4. Waktu mau beli A-4, kita sudah punya jet tempur.

Benarkah Sukhoi tidak cocok dengan radar di Indonesia?

Radar itu macam-macam. Kalau pada pesawat, adalah radar warning receiver, yaitu suatu radar dengan produk teknologi. Semua negara mungkin bisa bikin radar, tapi tidak software-nya. Untuk pengoperasiannya, sudah kita perhitungkan. Masa, kita sebodoh itu membeli pesawat yang tak bisa dipakai di sini. Dalam radar warning receiver, dimasukkan jenis pesawat yang dikenali sebagai musuh. Tapi itu kan persoalan software saja.

Apa kelebihan Sukhoi dibanding F-16?

Sukhoi menjadi istimewa karena ini adalah pesawat Rusia yang sangat menarik. Setelah PD II selesai, AS dan Rusia pada pihak yang berlawanan sehingga mereka mendesain pesawat sesuai dengan persepsi masing-masing. AS lebih banyak membuat pesawat pengebom, sementara Rusia tetap berpegang bahwa perang udara tetap berpegang pada kemampuan manuver. Dua-duanya mungkin benar, mungkin salah. Tapi, ketika keduanya dikombinasikan, menjadi produk yang canggih. Sekarang orang sudah punya persenjataan yang beyond visual range karena dia menggunakan radar warning, radar receiver. Yang punya Rusia, dia tinggal tekan push dan pesawat pun tertembak jatuh. Tetapi andalan Rusia memang kemampuan bermanuver. Kemampuan membawa bom dalam jarak jangkau yang jauh adalah andalan AS. Kita bisa melihat kekuatan AS menang di Perang Teluk I dan II dan kekuatan Rusia ketika menang di berbagai air show. Keduanya sampai pada satu titik menuju kesempurnaan atau kemajuan teknologi yang saling mengisi. Negara-negara yang teknologinya belum maju tinggal pilih sesuai dengan kebutuhan, apakah pesawat Rusia atau AS.

Benarkah dalam kasus ini keterlibatan broker lebih besar dari pemerintah sendiri?

Saya tidak tahu dan tidak berhubungan dengan broker. Ini kan karena harganya mahal, jutaan dolar, sehingga semua orang merasa berkepentingan. Jika Sukhoi harganya seribu tiga, mungkin enggak ada yang nanya. Juga muncul kecurigaan orang yang terlalu jauh. Sebenarnya hal yang sepele, kenapa mesti menyerang dengan tuduhan yang belum tentu benar? Ekstremnya, harusnya kita dibantu, kenapa cuma beli empat, harusnya satu skuadron dong. Harus positive thinking. Empat aja ributnya kayak gini, tiap jam ada di TV.

Sebenarnya, bagaimana kekuatan udara kita?

Masa, kami harus memberitahukan isi rumah kita, dapur belakang enggak ada gembok, dan lain-lain. Tapi saya bisa jawab bahwa pesawat tempur kita, karena kita enggak punya duit, ibaratnya sudah di pinggir jurang.

Indonesia tidak menambah pesawat itu apakah karena tidak punya duit semata-mata atau karena tekanan politik AS?

Kan sudah jelas. AS tidak akan memberikan. Kita satu negara yang punya uang pun enggak bisa beli. Sudah punya pun masih diatur. Apakah kita mau begitu terus? Saya tidak mau, kita harus cari solusi dan menentukan sikap. Kita harus punya harga diri.

Menurut prioritasnya, mana yang lebih penting: pesawat angkut, helikopter, atau pesawat tempur?

AU bukan angkutan udara, melainkan tenaga inti dari national air power. Kita tidak bisa melihat hanya ancaman-ancaman domestik dan membuat set-up angkatan perang hanya berdasarkan itu. Contohnya, kalau kita lihat di Eropa, Prancis dan Inggris (dalam hal itu) mendominasi. Tapi, kalau kita lihat peta Asia Tenggara, yang mendominasi adalah Indonesia. Namun, dalam kenyataannya, Indonesia tidak ada apa-apanya. Jadi kita harus melihat tak hanya dari geopolitik tapi juga aeropolitik.

Perlakuan terhadap warga Indonesia di luar negeri banyak bergantung pada bagaimana negara itu punya kekuatan. Coba lihat, AS memiliki warga negaranya di Aceh, William Nessen. Tiap saat dia bisa mengirim pesawat dari semua titik di dunia. Begitu pemerintah AS menghargai warganya. Tapi, kalau orang Indonesia, mati di mana-mana enggak ada yang tahu. Itu cerminan kalau negara tidak punya satu kekuatan.

Apakah pembelian Sukhoi ini ada pengaruhnya terhadap negeri tetangga?

Ini wujud dari deterrence effect. Jangan dikira negara tetangga tidak ikut campur. Kita tidak tahu andil siapa. Hawanya kan begitu. Semua penambahan peralatan senjata di suatu negara pasti punya dampak kepada lingkungannya. Bagaimana kita tidak memperhitungkan Malaysia, yang membeli 18 Sukhoi. Belum ada dan belum dibikin pesawatnya, tapi kita sudah hitung-hitung.

Apakah sudah ada tanggapan dari produsen pesawat pesaing Sukhoi?

Saya belum dengar, tapi kami mempunyai hubungan baik dengan semua AU termasuk AU Amerika. Saya belum pernah mendengar respons yang negatif.

Di mana pesawat Sukhoi ini akan ditempatkan?

Sementara kami tempatkan di Lapangan Iswahyudi, Madiun. Kalau sudah cukup satu skuadron, nanti kita tempatkan di Makassar.

Helikopternya secanggih apa?

Saya kurang tahu. Itu untuk AD, bukan untuk AU. Saya belum mendalami jenis yang mau dibeli AD karena saya lebih concern pada pesawat AU.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus