Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA aktivis mahasiswa 1990-an, yang dulu bersama-sama menggulingkan Presiden Soeharto, telah memilih jalan berbeda setelah Reformasi 1998. Ada yang masuk ke politik arus utama, aktif di serikat buruh atau lembaga swadaya masyarakat, ada pula yang menjadi wartawan. Indonesianis, Maxwell Ronald Lane, yang akrab disapa Max Lane, menilai sangat alami jika gerakan berhenti dan orang-orangnya memilih jalan sendiri-sendiri setelah kediktatoran bisa diakhiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan berbeda itu juga ditunjukkan mantan aktivis 1990-an dalam pemilihan presiden 2024 yang diikuti pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Salah satu yang menjadi sorotan adalah bergabungnya mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), Budiman Sudjatmiko, ke kubu Prabowo, orang yang dianggap bertanggung jawab dalam penculikan aktivis 1998.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Max Lane menilai hal itu tidak mengejutkan. “Yang bergabung di pihak yang dulu dimusuhi itu namanya menyeberang,” katanya dalam wawancara secara daring dengan Abdul Manan, Stefanus Pramono, dan Aisha Shaidra dari Tempo pada 22 Desember 2023.
Sekitar dua jam Lane menjelaskan akar lahirnya gerakan mahasiswa 1990-an yang kemudian berujung pada mundurnya Soeharto setelah lebih dari 30 tahun berkuasa. Dia juga berbicara soal politik Indonesia yang tergolong iliberal, tak adanya kekuatan politik alternatif atau oposisi, hingga pertarungan dalam Pemilihan Umum 2024. Untuk alur dan kejelasan, wawancara ini telah diedit.
Bagaimana Anda melihat aktivis yang mendukung Prabowo dalam Pemilu 2024 ini?
Tidak mengejutkan. Ada yang seperti itu. Yang bergabung di pihak yang dulu dimusuhi itu namanya menyeberang. Ada yang tetap di serikat buruh, di LSM. Mengapa mereka sampai menyeberang? Saya tidak tahu isi hati mereka. Kalau saya menilai riwayat Prabowo, yang ditekankan adalah dia terlibat penculikan. Peristiwa Mei 1998 juga ada yang mencurigai dia (terlibat). Kalau saya warga negara Indonesia, dua hal itu sudah cukup untuk memutuskan enggak memilih. Saya bukan WNI. Jadi saya enggak bisa voting dan saya tidak menganjurkan. Tapi ada faktor ketiga yang kurang sering ditekankan. Dia melakukan penculikan itu dalam rangka apa? Menyelamatkan Soeharto dari gerakan rakyat yang ingin menghentikan kediktatoran. Orang yang sampai memakai kekerasan untuk menyelamatkan kediktatoran apakah bisa dipercaya atau tidak untuk menyelenggarakan demokrasi?
Itu kan mengkhianati idealisme aktivis?
Saya mengikuti, misalnya, kampanye Petrus Hariyanto. Dulu anggota PRD. Dia bikin kampanye “Jangan memilih penculik”. Dia mengkritik teman lamanya, Budiman Sudjatmiko. Saya sangat berempati dengan apa yang dilakukan Petrus. Tapi saya juga agak kurang cocok bahwa media dan pemikiran yang agak umum di kaum intelektual hanya berfokus kepada orang seperti Budiman. Mengapa tidak berfokus mengangkat inspirasi untuk kaum muda sekarang, yaitu ada aktivis berumur 55, 60, 65 tahun masih di serikat buruh sampai sekarang?
Karena Budiman pernah jadi ikon gerakan?
Budiman sebelum 1998 itu banyak jasanya. Dia dimasukkan penjara oleh Soeharto. Dia memang tidak ikut demonstrasi 1998 karena di dalam penjara. Tapi jelas dia menyeberang. Tapi jangan lupa, dia masuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Yang pertama kali merehabilitasi Prabowo siapa? Ya, PDIP. Prabowo jadi calon wakil presiden Megawati Soekarnoputri. Coba lihat foto-foto waktu Joko Widodo menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Yang muncul pakai kemeja kotak-kotak angkat tangan Jokowi itu siapa? Prabowo. Buat saya, memang (pemilihan presiden kali) ini kombinasi Prabowo-Jokowi. Mungkin resminya Prabowo-Gibran, ya. Buat saya, ini kombinasi di satu sisi impunitas, di lain sisi dinasti. Bukan kombinasi yang menyenangkan, kan?
Apa penggerak utama aktivisme 1990-an?
Pertama, di masyarakat secara luas memang ada kegelisahan, kemarahan, ketidakpuasan atas situasi yang berkembang. Kedua, pada 1970 dan 1980-an, dari segi membangun budaya membangkang itu cukup bagus. Ada penyair W.S. Rendra, Goenawan Mohamad, dan lain-lain yang bergerak. Tahun 1970-an, ada gerakan dewan mahasiswa di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya. Tahun 1980-1981, tulisan-tulisan mantan tahanan politik, Pramoedya Ananta Toer, banyak dan mulai beredar di masyarakat. Itu membuka mata cukup banyak orang muda bahwa sejarah Indonesia tidak seperti yang selama ini diajarkan.
Setelah Soeharto jatuh, apa yang terjadi?
Gerakan surut. Itu normal. Yang dulu memimpin gerakan menghadapi pertanyaan sekarang: mau melakukan apa? Nah, yang memprioritaskan keadilan sosial untuk rakyat kecil, mereka mengerti bahwa, dengan kediktatoran selesai, masalah keadilan sosial belum selesai. Muncul banyak jawaban, sehingga yang dulu kompak mulai ke banyak arah. Ada yang masuk politik mainstream, terlibat di LSM, jadi wartawan. Kalau di satu negeri seperti Indonesia, yang dikuasai sebuah elite kapitalis yang terkumpul oleh struktur yang tidak adil, mau mengubah, caranya bagaimana? Sampai sekarang pun enggak ada yang punya jawaban. Karena memang masalahnya sulit. Sesudah sekian tahun sejumlah orang menjalankan berbagai strategi, kok enggak ada perubahan juga? Ada orang yang kemudian menyerah. Sebagian, tidak semua, merasa frustrasi. Ini mencerminkan situasi Indonesia yang sangat unik.
Mengapa Reformasi 1998 tidak menghasilkan perubahan signifikan?
Ini warisan 1965 ditambah budaya politik yang dibangun Soeharto selama 32 tahun, di mana kebiasaan normal di setiap masyarakat di dunia membicarakan, mendiskusikan, memperdebatkan, memikirkan, membayangkan masa depan yang berbeda itu hilang. Kalau ada kritik, itu pinggiran. Saya mengajar di Universitas Gadjah Mada, saya tanya mahasiswa, kamu membayangkan Indonesia 30-40 tahun lagi bagaimana, visinya apa? Bengong. Ya, terus terang saja, di Australia sama, tapi asal-usulnya di Australia berbeda.
Maxwell Ronald Lane di Yogyakarta, tahun 20222/Dokumentasi Faiza Mardzoeki
Indonesia mungkin satu-satunya negeri di dunia yang punya sembilan partai di parlemen, yang sekitar 90 persen, kalau ada voting, itu mufakat total. Bahkan di Rusia ada oposisi. Di Indonesia tidak ada. Di Indonesia tidak ada bukan karena dilarang atau orang yang mau melakukan itu dipenjara. Masyarakat Indonesia tidak melahirkan oposisi. Kaum intelektual yang punya banyak kritik tidak terjun ke politik untuk membangun kekuatan baru supaya rakyat punya pilihan.
Maxwell Ronald Lane
Pendidikan:
- BA University of Sydney, Australia, 1973
- PhD Politik dan Sejarah University of Wollongong, Australia, 2009
Karier:
- Pengajar di University of Technology Sydney, 1992-1993
- Pengajar di University of Wollongong, 1994
- Pengajar di University of Sydney, 1993-1998
- Pengajar di University of Sydney, 2004
- Pengajar di Victoria University, Melbourne, Australia, 2009-2014
- Visiting Scholar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2017-2022
- World Expert Lecture Series Awardee di University of the Philippines, 2023
- Visiting Senior Fellow di Institute of Southeast Asian Studies, Yusof Ishak Institute, Singapura, 2023
Buku:
- Unfinished Nation: Indonesia Before and After Suharto, 2008
- Catastrophe in Indonesia, 2010
- Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia: Pramoedya, Sejarah dan Politik, 2018
- An Introduction to the Politics of Indonesian Unions, 2019
- Dan Saudara Berdiri di Pihak Yang Mana: Seni Politik Subversif Rendra, 2023
- Indonesia and Not: Anecdotes Scattered, 2023
- Indonesia Out of Exile: How Pramoedya’s Buru Quartet Killed a Dictatorship, 2023
Sejumlah aktivis masuk politik, mengapa tidak bisa mendorong perubahan?
Untuk masa depan memang sangat dibutuhkan idealisme yang berkembang pada 1990-an di kalangan kaum muda. Saya kira sebagai kekuatan lapisan masyarakat yang bisa diharapkan itu yang di bawah umur 20.
Kenapa?
Membayangkan Indonesia yang sangat berbeda dari sekarang itu tidak ada di orang di atas umur itu. Mereka berharap jangan bertambah buruk. Tapi membayangkan banting setir ke arah yang lain, itu sudah hilang. Banyak sekali teman saya di Indonesia bilang “saya akan golput”, "untuk mencegah Prabowo-Jokowi, saya akan milih Anies atau Ganjar”. Kamu golput tidak akan membawa perubahan apa-apa. Masak, sampai hari kiamat memilih yang terbaik di antara terburuk? Kalau tidak membangun pilihan baru, Anda semua akan terpaksa golput atau memilih yang terbaik di antara yang terburuk selama-lamanya.
Masalahnya pada sistem politik?
Tidak. Ini karena kaum intelektual yang punya kritik sejak awal tidak mau terjun membangun kekuatan politik alternatif. Memang sistemnya tidak menguntungkan. Peraturan pemilu menuntut syarat sekian cabang, ada threshold dan segala macam. Kalau ada upaya membangun gerakan baru, partai baru, dan itu ternyata dihambat oleh aturan itu, saya bisa maklum. Tapi usahanya pun tidak ada. Sebenarnya yang mencoba adalah aktivis PRD, tapi kaum intelektual, kelas menengah, aktivis LSM, tidak langsung bersatu mendukung mereka.
Bagaimana keluar dari situasi ini?
Pertama, ayo yang ingin Indonesia berbeda, bangun organisasi. Kalau mengeluh, "Oh, itu susah, banyak halangannya, enggak punya duit.” Ya, sudah. Jangan habiskan waktu ngomel tentang keadaan buruk. Kedua, sebagai intelektual, yang di atas umur 30 atau 35 tahun harus punya strategi untuk mendorong yang muda bangkit. Orang muda pada 1920-an membangun gerakan yang pada akhirnya setelah 30 tahun bisa mengusir Belanda. Orang muda membangun gerakan 1980-an sampai muncul gerakan 1990-an yang bisa memaksa Soeharto mundur. Saya kadang-kadang khawatir, kalau berfokus menghakimi, nanti orang muda enggak mau jadi aktivis sama sekali.
Jika dibandingkan dengan Filipina di bawah Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr.?
Filipina dalam situasi lebih menguntungkan dari Indonesia. Karena kekuatan oposisinya ada. Kekuatan komunis, sosialis, dan liberal ada. Ada serikat buruh yang punya visi ideologis berbeda-beda. Di universitas, kaum intelektual dan akademikus berafiliasi dengan partai, dengan gerakan. Kehidupan politiknya ada, kehidupan ideologisnya ada. Jadi Bongbong akan menghadapi perlawanan.
Apakah ada faktor kuatnya oligarki?
Tidak juga. Oligarki ekonomi jangan dipakai sebagai alasan. Di Australia, Amerika Serikat, Filipina ada oligarki ekonomi di mana 1 persen menguasai 50 atau 70 persen kekayaan satu negeri. Tapi sistem politik di setiap negeri itu berbeda-beda. Situasi di Indonesia, oligarki tidak menghadapi counterforce sekecil apa pun. Karena 1965-1998, kebiasaan di masyarakat, di kelas menengah, di kaum intelektual, untuk berideologi tidak ada. Berideologi itu punya visi dengan ciri khas tertentu tentang bagaimana seharusnya negeri saya di masa depan. Itu tidak ada di Indonesia. Kecuali orang Islam fundamentalis, mereka punya visi mau Indonesia begini. Kalau ditanya Anda ideologinya apa? Sosialis, komunis, sosial demokrat, liberal? Enggak ada. Pokoknya jangan buruk.
Itu karena pengaruh apa?
Konsep Indonesia muncul pada 1920-an, tapi sebagai negara independen baru pada 1950-1998. Pada 15 tahun pertama, tidak ada sistem politik yang berakar karena itu masa pertarungan. Baru pada 1965-1998, sekitar 32 tahun, budaya politik yang dipelihara Soeharto itu mendefinisikan Indonesia sekarang. Budayanya massa mengambang. Jangan berideologi. Jangan bertarung.
Bagaimana mendobrak itu?
Harus ada yang mulai membangun kekuatan alternatif sesuai dengan ideologi yang dipercaya.
Apakah sudah ada tanda-tanda ke arah sana?
Kalau mau pakai mikroskop, bisa dilihat bibit-bibitnya. Tapi belum mewarnai politik mainstream. Kamu bisa lihat menjamurnya buku-buku kritis. Buku klasik Karl Marx, Lenin, Mao, Aidit, Njoto, atau feminis, liberal itu gampang sekali didapatkan di Indonesia. Waktu ada gerakan menolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja, saat itu saya di Yogyakarta, ada Gejayan Memanggil. Siapa yang mengorganisasi? Dikira spontan? Dikira tidak ada yang mengorganisasi? Ada juga aktivis 1990-an, eks orang PRD. Yang baru sama sekali juga ada.
Mereka masih pada tahap sangat awal?
Sangat awal. Kalau pakai perbandingan buku-buku Pramoedya Ananta Toer, ini masa Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Jejak Langkah di mana Tirto Adhi Soerjo membangun Sarikat Prijaji yang kemudian gagal, terus ikut bangun Syarikat Dagang Islam, itu belum. Tapi Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa menggambarkan situasi ketika belum ada inisiatif membangun kekuatan politik untuk melawan Belanda. Tapi proses kimia dengan berbagai elemen yang kemudian menciptakan keadaan yang melahirkan inisiatif mendirikan gerakan, situasi sekarang seperti itu. Tapi jangan menunda-nunda.
Butuh berapa lama membangun budaya demokrasi itu?
Kadang-kadang ada yang bilang kepada saya, membangun budaya demokratis butuh waktu lama. Di Amerika, Prancis, bisa 100 tahun. Indonesia tidak punya 100 tahun. Sebentar lagi penduduknya 300 atau 350 juta orang. Masih belum ada industri. Petani makin tua, petani muda di desa hampir enggak ada. Terus dikira punya 100 tahun? Tidak ada waktu.
Kalau kubu impunitas dan dinasti menang, akan lebih tidak tahu lagi menguap ke mana (kekayaan Indonesia). Tapi, kalau Anies atau Ganjar menang, oligarki tetap ada dan tidak menghadapi oposisi. Selama counterforce tidak ada, itu sama dengan Anda meminta harimau atau macan tutul mengubah bintik-bintiknya, “Tolong, PDIP berubah. Tolong, Golkar berubah. Tolong, Gerindra berubah.” Itu namanya mengemis. Sudah tahu mereka buruk semua, tetap meminta mereka berubah.
Ada yang khawatir Indonesia memasuki era otoritarianisme....
Tidak perlu ada otoritarianisme. Kalau tidak ada perlawanan, tidak ada oposisi, tidak perlu otoritarianisme. Tinggal enak-enak saja. Sesekali mengganggu aktivis, bawa ke pengadilan. Sesekali mungkin minta oligarki tidak pasang iklan di media. Mau represi siapa kalau tidak ada perlawanan serius? Taktik mereka bukan dengan represi yang kejam, tapi pakai obat tidur. Bikin masyarakat nrimo.
Bagaimana Anda melihat dugaan kecurangan untuk memenangi Pemilu 2024?
Manuver-manuver seperti itu kan proses saling mengalahkan di elite. Buat saya, yang sangat menarik apakah rakyat Indonesia menerima permainan dinasti seperti ini? Kalau mayoritas menerima, itu tanda sangat tidak baik. Warisan Soeharto 32 tahun menciptakan masyarakat yang tidak berideologi. Saya baca tulisan antropologi Hildred Geertz. Kalau dulu orang ditanya kamu dari mana, tidak menjawab dari Jakarta, Probolinggo, atau lainnya. Pada 1950 orang akan bilang, “Saya dari Partai Komunis Indonesia. Saya dari Masyumi. Saya dari Partai Nasionalis Indonesia.” Karena baru merdeka, mereka yakin pada visi masa depan.
Sekarang tidak ada?
Tidak ideologis sama sekali. Akibat Orde Baru, ideologi punya arti negatif di Indonesia. Oligarki di Indonesia berada di dalam sistem yang di atas kertas demokrasi liberal. Ada pemilihan umum, kebebasan pers dan lain-lain. Sama dengan Australia. Tapi di Australia atau Filipina, kecenderungan iliberal dihadapi counterforce dari oposisi. Di banyak negara, counterforce oposisi itu memang tidak, atau belum, bisa mengalahkan oligarki. Tapi bisa membatasinya. Counterforce ada karena di masyarakat pertarungan ideologis hidup.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawh judul "Masyarakat Indonesia Tidak Melahirkan Oposisi"