Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Mencintai Demokrasi, Kita Harus Mencintai Pers Bebas

30 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA bulan pemerintahan baru terbentuk, sejumlah ancaman terhadap kebebasan pers terjadi. Beberapa waktu lalu, wartawan Tribunnews dan Warta Kota dilaporkan ke polisi karena mempublikasikan pembicaraan lewat media WhatsApp antara dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, yaitu Lulung Lunggana dan Muhammad Taufik. Sebelumnya, harian berbahasa Inggris, The Jakarta Post, dilaporkan karena memuat kartun yang dianggap menghina Islam. Laporan ini membuat Meidyatama Suryodiningrat, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, ditetapkan sebagai tersangka. Majalah Tempo diusut karena mempublikasikan rekening Komisaris Jenderal Budi Gunawan, calon Kepala Kepolisian RI.

Ketua Dewan Pers Bagir Manan menganggap perkembangan ini harus diwaspadai. "Saya tidak tahu kenapa polisi bergairah betul," katanya. Padahal Undang-Undang Pers sudah memberi jalan bagi penyelesaian sengketa antara narasumber dan media, yakni melalui Dewan Pers. Nota kesepahaman (MOU) sudah pula dibuat antara Polri dan Dewan Pers. Intinya, setiap keberatan masyarakat terhadap pers harus diselesaikan melalui mediasi Dewan Pers dan bukan kriminalisasi lewat jalur polisi.

Wartawan Tempo Jajang Jamaludin, Heru Triyono, dan fotografer Dhemas Reviyanto Atmodjo mewawancarai Bagir Manan di ruang kerjanya yang berukuran 3 x 3 meter di lantai tujuh gedung Dewan Pers. Panjang-lebar profesor hukum 74 tahun itu menjelaskan pentingnya pers bebas dalam demokrasi dan apa yang harus dilakukan pemerintah untuk memastikan kebebasan pers tetap terjaga.

****

Berdasarkan survei Freedom House pada 2014, kebebasan pers Indonesia berada di urutan ke-132 dari 194 negara, setara dengan Kamboja dan Thailand, bahkan di bawah Papua Nugini....

Peringkat itu berdasarkan survei lembaga di luar negeri. Masak, kita sama dengan Kamboja? Itu tidak sesuai dengan fakta, tidak logis, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Tidak mungkin Kamboja lebih merdeka daripada kita.

Apa ukurannya pers Indonesia lebih baik daripada Thailand dan Kamboja?

Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra baru-baru ini menyatakan akan mengambil tindakan terhadap pers. Kalau sampai kebijakan itu terjadi di Indonesia, bisa Anda bayangkan apa isi surat kabar kita. No, kita tidak akan mau seperti itu. Media di Indonesia punya sikap. Buktinya, saat pemilihan presiden kemarin, media begitu beragam. TV One, Metro TV, Kompas, MNC, Tempo, semua media punya sikap sendiri. Walau ada yang ngomel, ya, biarin saja. Masak, tidak boleh? Ngomel kan bagian dari kebebasan dan hak asasi.

Di Indonesia, ancaman terhadap kebebasan pers masih tinggi. Polisi di Ambon baru-baru ini masuk ke kantor redaksi media lokal dan mengancam membunuh wartawannya….

Masih bisa terjadi hal seperti itu. Tapi itu bukan lagi bagian sebuah sistem, hanya merupakan peristiwa-peristiwa.

Apa contoh serangan kepada media yang menyangkut ke sistem? Jika menyerang media lewat proses hukum?

Betul. Dalam salah satu diskusi, saya katakan bahwa upaya mempengaruhi kebebasan pers itu bisa juga dilakukan lewat aturan-aturan dan undang-undang.

Ketika Undang-Undang Pers dihadapkan pada undang-undang lain, misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Undang-Undang Perbankan, menurut Anda, mana yang harus didahulukan?

Pembicaraan itu akan menimbulkan perdebatan akademis yang panjang sekali. Pendekatan saya adalah dari segi obyek yang diaturnya saja. Karena ini karya jurnalistik, yang harus didahulukan adalah Undang-Undang Pers.

Kebebasan pers di Indonesia masih belum baik?

Ada dua kutub untuk menilai kebebasan pers. Satu sisi di zona merah, yang artinya masih ada kekerasan terhadap wartawan dan media. Di sisi lain ada pihak yang mengeluh media kebablasan. Biar saja dua sikap ini berkompetisi, karena di negeri maju pun ada perbedaan pendapat perihal kebebasan pers. Misalnya kasus Watergate di Amerika. Media yang memberitakan diproses di pengadilan, meski akhirnya menang. Tapi arah untuk menyerang pers tetap ada.

Bicara kebablasan, apakah itu termasuk ketika pers menulis privasi seseorang yang diduga tersangkut sebuah kasus?

Perlu dipahami batas-batas kebebasan itu. Meski harus dihormati, privasi bisa juga diperdebatkan. Sebab, semakin penting peran politik dan sosial seseorang, akan semakin berkurang privasinya. Tidak bisa dibandingkan privasi presiden dengan privasi seorang profesor yang hidup sendirian. Dia harus memikul risiko itu sebagai pejabat publik.

Dalam demokrasi, lazimkah seorang wartawan dipenjara karena karya jurnalistiknya?

Tidak. Dalam demokrasi, itu ganjil sekali.

Apa langkah Dewan Pers untuk melindungi kebebasan pers?

Paling tidak, saya mengurangi frekuensi pers dibawa ke polisi. Betapapun pahitnya, kita harus duduk bersama-baik aparat hukum maupun pers.

Duduk bersama ini bagian MOU Dewan Pers dengan polisi-bahwa setiap keberatan terhadap pers harus diselesaikan di Dewan Pers dan bukan dilaporkan ke polisi?

Iya. Kita membentuk suasana baru. Saya tahu, di kalangan polisi, jaksa, dan hakim, kesadaran melindungi kebebasan pers sudah mulai tumbuh. MOU itu sekadar untuk merangsang, bukan sesuatu yang sama sekali baru. Bahwa masih ada yang dipolisikan, ya, akan kita diskusikan.

Lima bulan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla berjalan, ada beberapa media dilaporkan ke polisi. Preseden buruk bagi kebebasan pers?

Barangkali Presiden belum menemukan platform dan masih mencari-cari. Pertanyaannya: sebenarnya dia mencari atau enggak? Ini menimbulkan pertanyaan publik karena kita sudah kepalang mempunyai ekspektasi tinggi kepadanya.

Ada usul untuk merevisi Undang-Undang Pers, yang salah satu poinnya adalah membredel media yang dianggap kebablasan?

Pasti akan ada resistansi. Presiden harus memikirkan apakah itu menguntungkan publik atau tidak. Paling tidak memikirkan apakah itu akan menguntungkan posisinya atau tidak. Kalau terjadi resistansi, malah bikin susah sendiri.

Bagaimana Anda menilai komitmen pemerintah terhadap kebebasan pers?

Sebelum Presiden Jokowi dilantik, kami menghadap beliau. Ia mengatakan menjunjung tinggi kebebasan pers. Saya tekankan kepada Presiden tidak ada gunanya jika ada orang yang ingin coba-coba mengendalikan pers. Lebih baik pers diyakinkan mengenai harapan dan keinginan pemerintah lewat diskusi, ketimbang mengontrol lewat kekuasaan.

Betulkah ada orang di sekeliling Presiden yang ingin pers diawasi secara lebih ketat?

Orang sekitarnya itu yang harus kita ingatkan. Mereka akan seperti Don Quixote melawan kincir angin. Melawan pers, mereka yang tidak akan pernah menjadi pemenang. Makanya jangan pernah menjadi Don Quixote. Apalagi sekarang berkembang pesat media sosial, yang bersifat individual. Sambil duduk dan nongkrong di warung kopi saja orang bisa membuat informasi yang tersebar di seluruh dunia. Lebih baik kita membuat aturan main yang wajar sehingga masing-masing bisa berperan secara wajar.

Anda yakin di era Jokowi kebebasan pers akan terjaga?

Saya punya harapan terhadap Presiden. Meski saya tidak tahu lingkungan di sekitarnya, saya yakin beliau memahami betul bahwa berhadapan dengan pers hanya menghabiskan energi. Jika kita mencintai demokrasi, kita harus mencintai pers bebas. Tidak masuk akal demokrasi tanpa pers bebas. Itu kontradiksi yang tidak bisa ditoleransi.

Apa tanggapan Presiden?

Cukup bagus dan terbuka. Beliau bahkan bilang, bila perlu, tiga bulan sekali ia akan bertemu dengan Dewan Pers. Tapi, saat peringatan Hari Pers Nasional di Batam, 9 Februari lalu, beliau tidak datang. Presiden ketika itu ada pekerjaan lain, yaitu menyaksikan penandatanganan pendirian pabrik mobil. Apa boleh buat.

Menurut Anda, adakah kemungkinan pembredelan terjadi lagi?

Saat ini tidak seburuk masa lalu. Ketika itu Tempo termasuk yang dilarang terbit oleh Menteri Penerangan Harmoko. Budaya pers demokratis kita memang belum terbangun sebagaimana mestinya. Kita pernah punya tatanan pers demokratis yang baik sebelum 1959. Pers begitu bebas. Meskipun berafiliasi pada partai, mereka tetap mempertahankan prinsip jurnalistiknya dengan baik. Tapi kemudian lenyap oleh rezim di bawah kekuasaan otoriter, selama 1959-1998. Betapa lama pers kita hidup dalam keadaan tidak normal.

Pers sekarang ada pula yang partisan?

Ada pihak yang mengatakan pers berperan jelek. Menurut saya, salah satu dari prinsip kebebasan pers adalah hak memilih dan bersikap. Memilih tidak otomatis partisan. Bahwa ada media yang cenderung memilih kekuatan politik A atau B dalam satu peristiwa politik, itu tidak berarti media tersebut bagian dari kekuatan politik itu. Saya membedakan pengertian partisan dan bersikap. Tinggal dipilih, apakah kita toleran terhadap keadaan yang beragam ini tapi bebas atau kita memilih satu suara tapi tidak bebas. Saya memilih yang pertama.

Dua kali menjadi Ketua Dewan Pers, apa sih asyiknya mengurusi pers?

Semua posisi yang saya tempati telah menjamin kebebasan saya. Sebagai akademikus, hakim, dan terakhir sebagai Ketua Dewan Pers. Di sini saya tidak perlu membeli kebebasan, apalagi menjual kebebasan. Saya merasa beruntung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus