Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Murid-muridnya memanggil sang guru, Eyang SAS. Ini singkatan dari Slamet Abdul Sjukur, komponis besar Indonesia yang dikagumi banyak orang. Seniman senior yang menjadi cikal-bakal musik kontemporer Indonesia itu meninggal Selasa pagi, 24 Maret 2015, pada usia 80 tahun di Surabaya. Dalam kesendiriannya, ia terjatuh di lantai rumahnya tanpa diketahui siapa pun. Insiden itu mencederai kaki kanannya, yang rentan dan menjadi kendala mobilitas dirinya sejak lahir.
Indonesia kehilangan lagi seorang ikon manusia pembaru pasca-Proklamasi yang sukar dicari padanannya. Dan, setiap kali kita kehilangan seorang yang kita anggap kompeten di bidangnya, kita merasa gethun, sedih dan tertinggalkan. Sesungguhnyalah, dalam stagnasi seperti saat ini, kita masih banyak membutuhkan pendekar yang mampu membuka perspektif baru di segala bidang.
Jauh dari hura-hura dan glamor buatan budaya semu industri, SAS telah menyumbangkan seluruh hidupnya untuk perkembangan musik baru Indonesia. Tidaklah berlebihan bila dibilang ia adalah pionir musik kontemporer abad ke-20 Indonesia. Karya musik, ide, dan pikirannya telah menginspirasi murid-murid dan para komponis generasi berikutnya-yang tersebar di mana-mana sebagai agen perubahan. SAS telah meninggalkan jejak yang tak mungkin dihapus. Parit sejarahnya akan lebih berkembang di kemudian hari, ketika Indonesia sudah mencapai logika waktu yang lebih maju.
Slamet Abdul Sjukur dilahirkan pada 30 Juni 1935 di Surabaya. Dari moyang ibunya, Canna, mengalir darah Eskimo dan Turki. Moyang ayahnya, Abdul Sjukur, keturunan Jawa. Ketika lahir, SAS ditengarai dengan nama Soekandar. Tapi Soekandar kecil terus-menerus sakit-sakitan. Maka keluarga Abdul Sjukur memberinya nama baru: Slamet.
Dari istri pertama SAS, Siti Suharini (almarhum), lahirlah anak perempuan, Tiring Mayang Sari, 54 tahun. Istri keduanya, Elisabeth Fauquet (almarhum), memberinya satu keturunan, Stephanie (46), dan dari istri ketiganya, Francoise Mazurek, lahir anak laki-laki, Svara (36).
SAS sangat tangguh dalam kepribadian. Walaupun "saya tak pernah bermaksud mau melawan", ia tak pernah mau surut dan tunduk terhadap kendala apa pun. Ia tetap bertahan dan konsisten pada apa yang diyakini. Ia keras seperti batu karang dan tak tertundukkan, tapi ramah dan santun dalam tutur bahasanya. Gestur perilakunya elegan dan terbuka kepada siapa pun, terutama kalangan muda. Ia sangat perasa dalam banyak hal.
SAS mulai belajar musik, piano, pada umur 9 tahun. Bersama Paul Goetama Soegijo, F.X. Warsono, F.X. Soetopo, dan Idris Sardi, SAS adalah murid pertama Sekolah Musik Indonesia Yogyakarta, yang didirikan Ki Hadjar Dewantara, Bung Hatta, Mohamad Yamin, Hamengku Buwono IX, dan lain-lain pada 1952. Inilah para pemimpin hebat yang berpikir jauh ke depan.
Bayangkan, masih dalam ketidakpastian dan hanya berselang tujuh tahun sesudah pernyataan kemerdekaan, mereka telah berinisiatif membuka institusi pendidikan seni musik (kemudian juga sekolah seni rupa, sekolah seni tari, dan sekolah seni karawitan).
Murid-murid pertama sekolah seni itu juga orang-orang hebat. Mereka berani mengambil keputusan berisiko, yakni merintis hidup sebagai calon seniman-yang pada waktu itu masih tak jelas masa depannya. Tapi, seperti tecermin pada riwayat SAS, mereka adalah orang-orang tangguh yang tanpa lelah telah sukses mempertahankan pendirian dan pandangan hidup.
Dari sekolah musik di Yogya, SAS melanjutkan studinya ke Paris, Prancis. Di pusat peradaban musik dunia itu, ia belajar segala macam ilmu musik dan komposisi di Conservatoire National Supérieur de Musique de Paris dan di Ecole Normale de Musique de Paris. Di sana, ia bertemu dengan seniman-seniman musik abad ke-20 paling berpengaruh, antara lain Oliver Messian, Pierre Schaeffer, Henri Dutilleux, Simon Plé Caussade, George Dandelot, dan Ton de Leeuw.
Pada 1976, saya dan guru kami berdua di Yogya, Soemaro L.E., memprovokasi SAS untuk pulang ke Indonesia. Tujuannya agar ia ikut mendirikan sekolah musik di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, kini Institut Kesenian Jakarta (di kemudian hari, saya menyesal mengajaknya pulang ke Tanah Air karena kami berdua akhirnya terlempar dari lembaga musik yang kami dirikan itu: kami dianggap mengajarkan musik aneh-aneh!).
Seperti perkembangan seni-seni umumnya, avangardisme musik juga marak di pertengahan abad lalu. Gerakan itulah yang dibawa pulang SAS ke negeri asal-usulnya. Intinya, mengembalikan musik kepada sumber alaminya sebagai materi: bunyi!
Secara radikal, gerakan ini antara lain melawan arus konvensi musik lama yang memberhalakan nada (melodi) sebagai primadona. Melodi yang menjadi formatur utama seluruh struktur, bentuk, dan lika-liku ekspresi musik. Itu tidak cukup. Penemuan-penemuan sonografi bunyi sebagai sumber musik membuat nada (dalam notasi balok) menjadi rentan di hadapan sumber bunyi baru yang tak terhingga. Alam semesta bunyi, natural ataupun elektro akustik (electronic device), memungkinkan sumber bunyi apa pun menjadi musik. Musik adalah seni bunyi. Konsep inilah yang diajarkan SAS.
Tapi SAS juga menyadari adanya ketimpangan kesadaran tentang musik baru di negeri ini. Orang masih terpenjara kesalahpahaman abadi, bahwa musik adalah melodi (nada). Musik adalah ungkapan rasa.
SAS lantas mengajarkan suatu paham radikal pada akhir 1970-an. Siapa pun, tanpa kecuali, bisa membuat musik. Siapa pun bisa menjadi komponis. Tak perlu harus menguasai musik dulu untuk belajar komposisi. Syarat mampu membaca not balok untuk belajar komposisi tak diperlukan. Bakat juga tak diperlukan. Yang diperlukan hanya satu: nalar!
Keruan saja aturan-aturan formal di pendidikan tinggi seni terlabrak habis oleh ulah pendidikan SAS ini. Tiga kali ia diminta mengajar di tiga pendidikan tinggi seni, tiga kali pula dia dipecat. SAS pernah mengatakan, "Saya terkenal sebagai dosen langganan dipecat." Tapi inilah yang terjadi, di luar kampus resmi, murid setianya banyak sekali-termasuk bekas murid-muridnya di perguruan tinggi.
Sekitar 60 karya SAS telah dipentaskan di berbagai pelosok dunia. SAS mengatakan, "Setiap komposisi saya selesaikan dalam waktu yang cukup lama. Berbulan-bulan atau bahkan tahunan." Di antara karya SAS itu adalah Bunga di Atas Batu (Sitor Situmorang, 1960), Parentheses 1-3 (Paris, 1972), Astral (Cristchurch, 1984), Uwek-Uwek (Jakarta, 1992), MiniMax (Surabaya, 1993), Spiral (Jakarta, 1993), Game-Land 1-5 (Jakarta, 2003-2012), dan Suroboyo (Jakarta, 2013).
Slamet Abdul Sjukur menerima berbagai penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri. Berikut ini adalah nukilan dari pidatonya yang berjudul "Terimakasih kepada Kuburan" saat dia menerima penghargaan dari pemerintah Prancis pada 2002, L'Officer de l'Ordre des Arts et des Lettres: "Upacara ini yang kembali mengingatkan pada mereka yang meninggalkan saya di 'saat-saat penting yang tidak saya hadiri', menimbulkan perasaan seolah-olah saya menghadiri pemakaman diri saya sendiri."
Juni tahun lalu, pada perayaan ulang tahunnya yang ke-79, ia bilang kepada sahabatnya begini: "Kakek, bapak, dan ibu saya meninggal pada umur 79 tahun. Mas Suko, saya juga akan meninggal pada umur itu tahun ini."
Selamat jalan, Mas Slamet. Tuhan mengasihimu!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo