Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) membuat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mumet. Selama satu setengah tahun terakhir, 68 bawahannya bolak-balik dimintai keterangan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. "Ini jelas sangat mempengaruhi psikis pegawai Kementerian," kata Tjahjo.
Komisi antirasuah menyelidiki dugaan korupsi proyek e-KTP sejak pertengahan 2014. Sejauh ini baru dua bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri yang menjadi terdakwa perkara yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu. Keduanya adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Irman dan bekas Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Sugiharto. Mereka diduga menerima duit haram hasil penggelembungan proyek Rp 5,9 triliun tersebut bersama 37 orang lainnya. "Mereka bawahan, ada yang memberi perintah," ucap Tjahjo.
Di tengah perkara yang sedang bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta itu, Tjahjo berupaya membereskan administrasi kependudukan. Kementerian Dalam Negeri, kata dia, sudah merekam data 96,54 persen dari 178 juta orang yang wajib memiliki KTP elektronik. Ia berjanji merampungkan lelang blangko KTP elektronik pada akhir bulan ini, sehingga 7 juta penduduk lainnya segera memperoleh kartu identitas elektronik.
Kamis dua pekan lalu, Tjahjo menerima wartawan Tempo Sapto Yunus, Anton Septian, Reza Maulana, Raymundus Rikang, dan Arkhelaus Wisnu untuk wawancara khusus di kantornya di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Dalam perbincangan satu setengah jam itu, mantan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini berulang kali minta maaf kepada 4,5 juta orang yang sudah merekam datanya tapi kehabisan blangko e-KTP, seraya berjanji membereskannya paling lambat akhir tahun ini.
Megakorupsi e-KTP berporos di Kementerian Dalam Negeri. Apakah KPK pernah minta masukan Anda?
Kami tidak pernah membahas masalah e-KTP secara khusus. Tapi, sekali waktu, Pak Agus Rahardjo, Ketua KPK, bilang ke saya: tak mungkin uang Rp 2 triliun dinikmati Irman dan Sugiharto saja. Mau pasang badan bagaimanapun pasti bakal ketahuan. KPK akan jalan terus mengusut kasus ini.
Anda setuju dengan pendapat Agus Rahardjo?
Saya tahu Pak Irman. Hidupnya sederhana. Saya datang ke rumahnya, enggak mewah-mewah banget. Isi rekeningnya tidak banyak. Pak Sugiharto, yang eselon II, juga sama.
Anda ingin mengatakan Irman dan Sugiharto bukan dalang?
Mereka bawahan, ada yang memberi perintah. Saya bilang ke mereka, sampaikan semua yang kalian tahu ke KPK. Sebenarnya, dari laporan staf, saya 90 persen tahu persis siapa yang memerintahkan. Tapi tak etis saya sampaikan di forum ini. Biar KPK saja yang mengungkap.
Apakah posisi orang itu lebih tinggi dari Irman?
(Tersenyum) Saya ini sudah tinggi lho, lebih dari 180 sentimeter, ha-ha-ha….
Menteri Dalam Negeri 2009-2014, Gamawan Fauzi, mengaku ditipu anak buahnya soal e-KTP. Mungkinkah seorang menteri ditipu bawahannya?
Kesalahan saya pada saat serah-terima jabatan dengan beliau adalah tidak bicara detail tentang e-KTP. Kami hanya melakukan serah-terima memori kerja. Saya merasa tidak etis menanyakannya. Agar tak ditipu anak buah, saya keras kepada mereka. Sudah ada 90 pejabat yang saya pecat karena perbuatan tidak jujur, baik yang tertangkap tangan maupun mengaku. Termasuk seorang yang saya laporkan ke KPK karena mencoba menyuap saya Rp 150 juta untuk naik jabatan. Untungnya, dirjen saya mantan pejabat BIN (Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Soedarmo, yang sebelumnya menjabat staf ahli bidang ideologi dan politik di Badan Intelijen Negara). Jadi dia bereskan semua itu.
Menurut Anda, apa yang salah sehingga korupsi ini menjadi sangat masif?
Saya lebih baik tak berkomentar. Ada beberapa pihak yang menggelembungkan anggaran begitu besar, sampai setengah nilai proyek dikorupsi. Bahkan seseorang mengatakan kepada saya, e-KTP ini bisa jalan hanya dengan anggaran Rp 2 triliun.
Kerugian apa yang kita alami karena KTP elektronik tak kunjung beres?
Rugi waktu. Banyak layanan dan program pemerintah, seperti Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan bantuan keluarga pra-sejahtera yang datanya belum terkoneksi secara baik.
Sebaliknya, apa manfaat bila sistem ini berjalan?
Selama dua tahun saya bekerja, kami sudah menyinkronkan data penduduk dengan lebih dari 200 lembaga, termasuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Direktorat Jenderal Pajak, dan Badan Narkotika Nasional. Tahun ini saya targetkan semua rumah sakit terkoneksi ke e-KTP, sehingga bisa langsung ketahuan riwayat penyakit seorang pasien. Jika tahun ini e-KTP beres, kita siap menyelenggarakan pemungutan suara elektronik pada Pemilihan Umum 2019.
Benarkah kasus e-KTP membuat Presiden Joko Widodo marah?
Dengan nada tinggi beliau mengatakan, bila proyek Rp 6 triliun ini dikerjakan serius, negara ini sekarang sudah punya data tunggal. Gara-gara korupsi, program ini terhambat. Kemarahan itu wajar karena beliau memang mengutamakan pelayanan publik.
Sejauh mana kasus ini menyita perhatian Kabinet Kerja?
Belum pernah ada pembahasan khusus di kabinet. Namun saya melapor rutin kepada Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani soal anggaran. Sekali waktu, Pak Jokowi mengingatkan agar pelayanan paling dasar kepada masyarakat, misalnya akta kelahiran, KTP, dan surat nikah, dipermudah. Saya tindak lanjuti dengan memangkas peraturan daerah yang tumpang-tindih, sehingga sekarang tidak perlu lagi perpanjang KTP. Tapi ada ganjalan pada kualitas pegawai di daerah yang belum merata.
Menurut Presiden, pelayanan publik sampai terganggu karena megakorupsi ini?
Saya bilang ke beliau: mohon maaf, Pak, saya yang salah. Tapi staf kami dari tingkat bawah sampai pejabat banyak dipanggil KPK, dari eselon I sampai III, panitia lelang, staf.
Sebanyak 68 pegawai Kementerian Dalam Negeri diperiksa KPK. Apakah ini yang jadi hambatan?
Yang 68 itu adalah pejabat Kementerian Dalam Negeri saja, belum termasuk panitia lelang, sampai staf yang setahun ini bolak-balik ke KPK. Pejabat di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil hanya 300-an orang, tapi hampir 100 di antaranya dipanggil KPK. Apalagi KPK juga terjun ke daerah-daerah. Ini jelas sangat mempengaruhi psikis pegawai Kementerian.
Masyarakat di berbagai daerah mengeluh karena tidak kunjung mendapatkan e-KTP. Apa masalahnya?
Saya mohon maaf kepada 4,5 juta warga yang sudah merekam data tapi kehabisan blangko. Tapi kelangkaan itu tidak terjadi di semua daerah. Misalnya Pemerintah Kota Surabaya yang proaktif door to door untuk memastikan perekaman data, akibatnya blangko cepat habis. Tapi ada juga daerah yang masih menyimpan blangko, seperti DKI Jakarta. Di kantor kami pun masih tersedia banyak.
Apa solusinya?
Kami melelang ulang pengadaan blangko pada akhir tahun lalu. Namun sempat saya batalkan karena ingin mengecek ulang prosedurnya. Target lelang selesai pada akhir Maret dengan harga tak sampai Rp 10 ribu per lembar. Kementerian Keuangan sudah menganggarkan pencetakan 7 juta lembar. Pembagiannya, 4,5 juta lembar bagi mereka yang sudah merekam data tapi belum mendapat blangko, sisanya untuk cadangan.
Kok, mahal? Bukankah sebelumnya dianggarkan Rp 4.700?
Pasti ada pembengkakan karena Rp 4.700 itu banderol lima tahun lalu, yang kemudian di-mark-up sampai Rp 16 ribu per lembar.
Kenapa Anda membatalkan lelang blangko pada akhir tahun lalu?
Untuk mengecek apakah kita mendapatkan spesifikasi terbaik, jangan sampai peserta yang kalah lelang protes. Saya dan staf ingin berhati-hati karena sudah ada kasus e-KTP. Saya tak mau dikejar-kejar KPK ketika sudah pensiun.
Mantan penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, meminta Anda menghentikan pencetakan e-KTP karena proses hukum sedang berjalan. Apa pembelaan Anda?
Saya pernah menyetop proyek e-KTP selama enam bulan ketika baru menjadi menteri pada 2014-2015. Ketika itu, saya merapikan sistem dan mengaudit prosesnya. Selama penghentian proyek, saya tahu masih ada utang ke rekanan konsorsium dan banyak pengusaha besar yang kalah tender datang ke Kementerian untuk bertemu dengan saya.
Tak khawatir dituduh mengintervensi kasus karena menerima peserta lelang yang kalah?
Mereka datang karena dibawa teman-teman saya. Masak, begitu tak boleh diterima? Mereka cerita proyek yang sekarang bermasalah dan minta masuk dalam lelang. Saya jawab: silakan ikut tender kalau mau masuk, prosesnya bersih dan transparan.
Sistem data kependudukan Indonesia dirawat perusahaan asing. Apakah data itu tidak rawan bocor?
Data tidak akan bocor karena secara prinsip data biometrik itu ada di kantor Kementerian Dalam Negeri, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dan Batam. Tapi kasus ini mirip seperti Anda minta arsitek menggambar rumah. Apa jaminan arsitek itu tak menggandakan denah rumah Anda? Lebih-lebih kasus e-KTP ini menyangkut data dan peralatan canggih, ada peluang data itu tak aman.
Bagaimana pengawasannya?
Kami sudah memegang password-nya dan perusahaan pemelihara sistem itu diawasi tim internal Kementerian Dalam Negeri. Memang sulit memprediksi dampak kebocoran data, bisa saja disalahgunakan untuk membuat paspor palsu dan aksi terorisme.
Bagaimana dengan klaim PT Biomorf Lone Indonesia, pemelihara sistem e-KTP, yang masih menyimpan sebagian password?
Saya tidak tahu apakah klaim itu diucapkan sekadar untuk menggertak kami atau bagaimana. Namun mereka sempat menuntut Kementerian menganggarkan US$ 90 juta (setara dengan Rp 1,19 triliun) untuk membayar kontrak yang belum lunas. Saya tak mau menuruti permintaan Biomorf karena, selain pemerintah sudah membayar ke konsorsium, saya bisa ditangkap KPK. Presiden Jokowi pun melarang penganggaran itu.
Benarkah sistem e-KTP terancam lumpuh gara-gara tunggakan tagihan itu?
Perekaman data di daerah banyak yang macet. Seharusnya mereka menyerahkan akses ke sistem perawatan setelah kontraknya habis. Di lain sisi, perlu ada pemeliharaan rutin. Sejak Biomorf berhenti, kami kadang meminta bantuan Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis) yang dikelola Kepolisian RI untuk perawatan.
Bagaimana perkembangan rencana pemerintah membeli Biomorf lewat perusahaan negara?
Saya sempat menugasi Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Zudan Arif Fakrullah untuk berkomunikasi dengan Telkom. Siapa tahu Telkom mau mengambil alih dengan nilai lebih murah dari US$ 90 juta. Ini dilakukan agar data tidak tercecer. Namun rencana itu tak terjadi. Mungkin konsorsium sudah mulai mencicil tagihan ke Biomorf.
Rencana pengambilalihan itu untuk mencegah kebocoran data?
Bukan, itu untuk pemeliharaan sistem. Jangan sampai Biomorf memelihara server tapi kita masih berutang kepada mereka, tak enak secara psikologis.
Adakah pembicaraan di kalangan internal PDI Perjuangan setelah nama beberapa kadernya disebut dalam persidangan?
Saya bukan pengurus partai lagi. Tapi kita harus menerapkan asas praduga tak bersalah kepada semua nama yang disebut dalam dakwaan itu, bukan hanya teman-teman saya di partai.
Mereka sempat mengajak Anda berdiskusi?
Belum. Saya juga enggak mau tanya-tanya.
Anda menjabat Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR periode 2009-2014. Ada instruksi khusus saat pembahasan e-KTP?
Tak ada instruksi, apalagi rapat khusus. Berbeda dengan penentuan Kepala Kepolisian RI, Gubernur Bank Indonesia, atau pejabat Badan Pemeriksa Keuangan, yang membutuhkan lobi dan pertemuan khusus. Prinsipnya, PDI Perjuangan tidak mau "yes man" karena kami saat itu adalah partai oposisi. Kami melihat niat awal program ini sangat bagus. Jadi silakan dibahas saja di Komisi Pemerintahan.
Anda sempat mendengar atau melihat pembagian uang e-KTP di DPR?
Enggak pernah. Baru mendengar ada bagi-bagi uang setelah menjadi menteri.
Bagaimana reaksi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri ketika mendengar kadernya diduga menerima duit?
Beliau belum pernah memanggil saya dalam konteks khusus membicarakan e-KTP. Posisi saya siap 24 jam bila beliau memanggil, tapi bukan sedikit-sedikit melapor.
Megawati sempat menelepon Anda karena e-KTP membuat warga tak bisa ikut pilkada. Bagaimana ceritanya?
Beliau menelepon dan bertanya: kok bisa ada masalah daftar pemilih tetap? Saya jawab: Bu, penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah, bukan kementerian. Saya sudah menyerahkan semua DPT ke KPUD. Khusus DKI Jakarta, Pelaksana Tugas Gubernur Soni Sumarsono sudah kerja lembur menyelesaikan 110 ribu orang yang belum masuk daftar, tersisa 56 ribu orang. Mereka yang belum terdaftar ini datang saat pencoblosan.
Ada perintah khusus supaya Sumarsono menyelesaikan daftar pemilih?
Itu tugas utama Pak Soni sebagai pelaksana tugas gubernur. Saya bilang: Anda tak usah mengurusi macam-macam, selesaikan saja 56 ribu orang yang belum masuk daftar. Saya juga minta beliau berkoordinasi dengan KPU DKI Jakarta agar hak pilih warga tak terganggu karena surat suara habis.
Tak khawatir dianggap sebagai upaya memenangkan inkumben Basuki Tjahaja Purnama yang didukung PDIP?
Enggak ada hubungannya. Partai yang mendukung petahana, sedangkan pemerintah netral. Ada juga yang menyebutkan Presiden Jokowi membela Pak Ahok. Tapi membela bagaimana, wong dia akhirnya menjadi tersangka dugaan penistaan agama? Masak, membela setengah-setengah?
Sejumlah kepala daerah terjun ke Jakarta untuk memenangkan Basuki-Djarot. Apakah ini kebijakan resmi PDIP?
Itu sudah biasa. Ketika pilkada Jakarta 2012, kader partai di DPR bertanggung jawab mengampu satu kecamatan. Saya berkeliling pakai uang sendiri mengenalkan Pak Jokowi dari satu rumah ke rumah lain.
Para kepala daerah itu cuti?
Mereka harus cuti bila meninggalkan daerahnya lebih dari sehari. Namun belum ada yang mengajukan izin itu kepada saya. Yang ada, misalnya, seorang gubernur yang datang ke Jakarta pagi hari, berdiskusi dengan warga daerahnya, lalu siangnya kembali.
Anda menolak memberhentikan Basuki yang menjadi terdakwa kasus penistaan agama. Apa alasannya?
Dia didakwa dengan pasal ganda, yakni Pasal 156 dan 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 156 ancaman hukumannya empat tahun penjara, sedangkan Pasal 156a maksimal lima tahun. Kalau dia dituntut dengan Pasal 156, tak perlu diberhentikan. Saya mau fair menunggu pembacaan tuntutan. Bahkan saya sudah minta pertimbangan Mahkamah Agung. Tapi mereka enggan berpendapat karena bisa memunculkan tafsir hukum lain dan dianggap intervensi.
Apakah Anda mendiskusikan pemberhentian Basuki dengan Presiden?
Saya bilang ke Presiden, saya bertanggung jawab. Namun, bila beliau punya diskresi demi menjaga stabilitas politik, silakan. Presiden mengikuti keputusan yang saya yakini benar. Tak ada urusan siapa Ahok ini, karena saya bermusuhan terus sama dia. Dua tahun lalu, Ahok bilang bisa menjadi Menteri Dalam Negeri yang lebih baik daripada saya saat berbeda pendapat tentang pemangkasan anggaran DKI Jakarta. Saya cuma ngomong, "Mulutmu harimaumu."
Tjahjo Kumolo
Tempat dan tanggal lahir:
Solo, 1 Desember 1957
Pendidikan:
S-1 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang (1985),
Lembaga Ketahanan Nasional (1994)
Karier dan Organisasi:
Menteri Dalam Negeri (2014-sekarang),
Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI (2004-2010),
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (2010-2014),
Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (1990-1993)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo