Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Regulatory Gap dalam Transportasi Online

27 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARAKNYA demonstrasi memprotes kehadiran transportasi berbasis platform (online) menjadi perhatian banyak kalangan. Protes terhadap taksi online, yang kerap diakhiri dengan benturan, terjadi di sejumlah kota, antara lain di Yogyakarta, Denpasar, dan Bandung. Pengemudi transportasi konvensional menuntut kesetaraan playing field antara transportasi konvensional dan online.

Pengemudi transportasi konvensional merasa aturan yang dikenakan kepada mereka sangat ketat. Sebaliknya, mereka merasa regulasi bagi transportasi online begitu longgar, terutama dari sisi kelayakan kendaraan, keselamatan konsumen, dan perpajakan. Itu sebabnya, pemerintah harus mengisi kesetaraan playing field yang dapat dirasakan oleh semua pelaku usaha di industri jasa transportasi.

Kementerian Perhubungan berupaya mengisi regulatory gap tersebut dengan merevisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016. Sosialisasi ke sejumlah kota, termasuk menerima masukan atas revisi peraturan, sedang dilakukan. Rencananya, revisi peraturan tersebut efektif berlaku pada 1 April 2017.

Harapannya, revisi peraturan ini merupakan solusi yang menguntungkan semua pihak. Bagi penyedia transportasi konvensional, hal ini akan menciptakan keadilan dan kesetaraan playing field. Tata aturan ini akan membantu penyedia jasa transportasi online merasa aman dan nyaman, tanpa khawatir terjadi gesekan dengan pengemudi transportasi konvensional. Bagi konsumen, faktor keselamatan penumpang dapat lebih terjamin, baik saat menggunakan jasa transportasi konvensional maupun online.

Disruptive Technology dan Regulatory Gap

Teknologi yang bersifat disruptif selalu bergerak jauh lebih cepat mengubah arah bisnis, jauh lebih cepat ketimbang kesiapan institusi dan regulasi mengatur industri dan persaingan. Salah satu contohnya penemuan mesin cetak pada abad pertengahan, yang mengubah bukan hanya sistem ekonomi, melainkan juga sistem sosial, politik, dan kelembagaan di masyarakat Eropa pada saat itu.

Pada awal 1900-an, kehadiran kendaraan roda empat menggantikan transportasi kereta kuda di Amerika Serikat juga menciptakan regulatory gap di sektor transportasi dan keselamatan publik. Kendaraan yang dapat melaju di atas 20 mil per jam menjadi tantangan pengambil kebijakan untuk melindungi pejalan kaki, yang sebelumnya tidak mengalami persoalan keselamatan dengan moda transportasi kereta kuda.

Kemajuan teknologi yang bersifat disruptif telah menghancurkan batas-batas sektoral yang selama ini diatur melalui regulasi sektoral. Kehadiran transportasi online adalah salah satu contoh bahwa aplikasi teknologi menyatukan paling tidak sektor transportasi, komunikasi, sistem pembayaran, dan masyarakat (pengemudi ataupun end users) dalam satu platform terintegrasi. Selama ini, tiap sektor tersebut memiliki regulasi sendiri-sendiri. Ketika kemajuan teknologi menghancurkan batas-batas sektoral, timbul kebingungan dalam mendefinisikan model bisnis baru tersebut. Hal ini terbukti saat Uber, Grab, dan Go-Jek mengklaim dirinya bukan sebagai perusahaan transportasi, melainkan perusahaan "penyedia platform teknologi".

Tidak hanya di Indonesia, kehadiran perusahaan transportasi online menciptakan regulatory gap yang cukup besar di banyak negara. Karena itu, perlu segera dirumuskan tata aturan baru dengan menjaga keseimbangan di antara dua hal. Pertama, tata aturan perlu memberikan kepastian dan kenyamanan bagi munculnya technopreneur baru di era ekonomi digital. Kedua, tata aturan juga menjamin hadirnya fairness bagi setiap pelaku usaha di jasa transportasi. Dalam hukum persaingan usaha, pemerintah perlu menjamin adanya perlakuan yang sama dan adil di antara pelaku usaha dalam setiap struktur industri. Artinya, tidak ada perlakuan istimewa bagi pelaku usaha selain unit usaha yang dikecualikan undang-undang, misalnya badan usaha milik negara.

Dalam perspektif inilah solusi mengatasi ketegangan antara bisnis taksi konvensional dan taksi online dikembangkan di banyak negara. Best practice yang dilakukan di banyak negara adalah menciptakan iklim kompetisi yang menjamin kesetaraan dalam industri transportasi. Tata aturan yang sama diterapkan baik bagi pelaku usaha taksi konvensional maupun online. Ini terjadi di Australia, Brasil (Sao Paulo), Belgia, Amerika Serikat (Massachusetts, Texas), India (New Delhi), dan Cina (Beijing, Shanghai). Kendaraan yang digunakan sebagai alat transportasi publik, baik bagi taksi konvensional maupun online, harus diperiksa kelayakannya serta didaftarkan di dinas transportasi.

Pengenaan pajak juga diberlakukan sama di industri jasa transportasi. Otoritas di Massachusetts, Perth, New York, Kota Meksiko, dan Toronto mengenakan aturan perpajakan--baik pajak badan, PPh, maupun PPn--yang sama bagi pelaku usaha transportasi konvensional dan online. Asuransi komersial juga diterapkan. Otoritas di London, Florida, dan Frankfurt mewajibkan asuransi kendaraan agar pengemudi dan konsumen dilindungi ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Agar tidak terjadi persaingan yang merugikan pelaku pasar, penerapan sistem kuota diterapkan, baik bagi taksi konvensional maupun online. Tujuannya menjaga keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Walhasil, pengemudi akan mendapatkan kepastian pendapatan dan masyarakat memperoleh pelayanan terbaik. Pemerintah Kota Washington dan Quebec menerapkan sistem kuota ini.

Kebijakan menjaga iklim persaingan yang adil antara taksi konvensional dan online juga dilakukan melalui penerapan batas tarif bawah. Tujuannya agar tidak terjadi perang harga yang dikhawatirkan berpengaruh terhadap penurunan kualitas pelayanan dan keselamatan di industri jasa transportasi. Cina dan Kanada menerapkan aturan tersebut. Sejumlah kota, seperti Singapura, Frankfurt, Madrid, New Delhi, Paris, London, Florida, dan Melbourne, mensyaratkan surat izin mengemudi (SIM) khusus dan SIM komersial bagi pengemudi taksi konvensional dan online.

Predatory Pricing dan Kompetisi Sehat

Ada satu aspek yang menjadi pertanyaan banyak kalangan, yaitu tuduhan praktek predatory pricing yang dilakukan oleh penyedia transportasi online. Pengenaan tarif supermurah di bawah biaya keekonomian oleh transportasi online dianggap bukan hasil efisiensi model bisnis, melainkan praktek "membakar uang" (burning cash) yang dilakukan oleh investor demi meraih posisi monopoli di pasar.

Bagi konsumen, pengenaan tarif supermurah di bawah biaya keekonomian merupakan aspek menarik untuk bermigrasi dari konvensional ke online. Surplus konsumen (consumer surplus) dari harga supermurah meningkat. Pertanyaannya, dari mana sumber surplus konsumen didapatkan. Bila dari hasil efisiensi, hal itu normal dan menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage). Bila terdapat motif untuk meraih posisi monopoli melalui subsidi harga dalam jangka panjang, hal itu berlawanan dengan iklim kompetisi sehat.

Di sejumlah negara, pertanyaan tersebut menjadi perhatian bukan hanya bagi pelaku usaha jasa transportasi, melainkan juga otoritas yang selama ini menjaga iklim persaingan usaha sehat. Otoritas persaingan usaha di Amerika Serikat, misalnya, disibukkan oleh pengaduan sejumlah perusahaan taksi konvensional atas dugaan predatory pricing yang dilakukan Uber. Pada akhir 2016, sejumlah perusahaan taksi konvensional di Amerika Serikat, seperti Flywheel Taxi di San Francisco dan 30 perusahaan taksi konvensional di daerah Boston, menggugat Uber karena ditengarai melakukan praktek predatory pricing. Di India, Meru dan Ola menuduh Uber melakukan praktek serupa.

Pendek kata, regulatory gap menjadi tantangan bagi regulator di era ekonomi digital. Terutama agar model bisnis konvensional dan digital dapat bersaing sehat. Itu sebabnya, memastikan agar praktek bisnis berjalan adil dan sehat menjadi sangat penting. Kondisi ini memunculkan tuntutan kepada otoritas di berbagai negara dalam memberikan perlindungan terhadap pemain lokal dari kekuatan modal investor global yang berpotensi membuat peta persaingan tidak berjalan secara sehat dan berkeadilan. l

Firmanzah
Rektor Universitas Paramadina, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus