Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Muhammadiyah Butuh Strategi Gerakan Sosial

10 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Muhammadiyah Butuh Strategi Gerakan Sosial
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Selintas gaya bicaranya tidak jauh berbeda dengan orang Indonesia kebanyakan. Bahkan sesekali logatnya terdengar seperti orang Jawa. Maklum, Mitsuo Nakamura sudah akrab dengan Indonesia, berikut budaya dan bahasanya, sejak 1970-an. Cas-cis-cus dalam bahasa Indonesia pun tak jadi persoalan bagi pria yang 19 Oktober mendatang berumur 82 tahun itu.

Ini terlihat saat wartawan Tempo Aan Pranata dan fotografer Hariandi Hafid menemuinya untuk wawancara di Hotel Aryaduta, Makassar, tempatnya menginap, Rabu pekan lalu. Nakamura terlihat bugar dan bersemangat, apalagi ketika menjelaskan sejumlah hal terkait dengan perkembangan organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah. "Perkembangan Muhammadiyah lima tahun terakhir sangat mengesankan," katanya dalam wawancara yang berlangsung sekitar satu jam. Itu disimpulkan Nakamura dari gerakan sosial Muhammadiyah dan perkembangan perguruan tinggi organisasi tersebut di pelbagai daerah di Indonesia.

Nakamura, profesor emeritus Chiba University, Jepang, memang akrab dengan Muhammadiyah. Sejak 1976, ia mulai "menyentuh" Muhammadiyah yang menjadi obyek penelitiannya untuk mendapat gelar PhD dari Cornell University, Amerika Serikat. Penelitian Nakamura di Indonesia lantas diabadikan dalam sejumlah tulisan dan buku, di antaranya berjudul Muhammadiyah Menjemput Perubahan: Tafsir Baru Gerakan Sosial-Ekonomi-Politik, yang terbit pada 2005.

Kedekatan Nakamura dengan Muhammadiyah berikut sejarah dan kiprah organisasi itulah yang kemudian menuntunnya menghadiri Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar sejak hari kedua, Selasa, 4 Agustus 2015. Di sana Nakamura, yang sudah menyambangi delapan Muktamar Muhammadiyah, turut memantau sejumlah agenda, antara lain pemilihan 13 anggota pengurus pusat dari 39 calon tetap.

Dari muktamar kali ini, Nakamura berharap Muhammadiyah kembali memilih pemimpin yang tak kalah hebat dari sebelumnya. Sebut saja A.R. Fachruddin, Ahmad Azhar Basyir, Amien Rais, Syafii Maarif, dan Din Syamsuddin. Di antara lima nama itu, Nakamura mengaku paling terkesan oleh sosok A.R. Fachruddin, yang disebutnya saleh dan bisa mengakulturasikan Islam dengan kultur lokal. Adapun Din, inkumben, dinilai mampu membawa Muhammadiyah berkiprah di panggung dunia. "Mungkin akan susah mencari penggantinya. Tapi mudah-mudahan yang terpilih nanti bisa punya unsur-unsur karakter itu," ujarnya.

Sepertinya masalah kemajuan terus jadi misi Muhammadiyah selama ini. Slogan muktamar kali ini pun "Islam Berkemajuan". Seperti apa konkretnya pelaksanaan slogan tersebut dalam kehidupan bernegara saat ini?

Kemajuan memang konsep yang menggambarkan pergerakan Muhammadiyah selama ini. Ada yang berjalan maju, ada yang pelan, ada juga yang ketinggalan. Tapi, secara teliti atau secara realitas, diperlukan skala tertentu untuk mengukur kemajuan yang dimaksud ada dalam bidang apa dan menurut skala apa. Kadang ada kecenderungan umat Islam menganggap dirinya sebagai umat dari agama yang unggul. Tapi skala untuk mengevaluasi keunggulan kemajuan dan untuk mencari perbandingan itu tidak ada.

Skala seperti apa yang Anda maksud?

Tentu diperlukan skala yang obyektif, karena memang untuk mengukur kemajuan membutuhkan itu. Jangan membikin ukuran sendiri. Saya andaikan saja pada kemampuan berbahasa Inggris yang bisa diukur dengan TOEFL. Angka TOEFL kita berapa? Lima ratus? Oke. Tapi beberapa perguruan tinggi membutuhkan angka 600 atau lebih dari itu. Nah, itu contoh skala yang bersifat umum.

Untuk tataran dunia global, seperti apa semestinya Muhammadiyah menerjemahkan Islam berkemajuan?

Yang paling penting adalah pengertian Islam sebagai nilai universal, rahmatan lil alamin. Bagaimana Muhammadiyah menjalankan misi Islam untuk memimpin masyarakat kepada kemajuan. Itu saja.

Mengapa sepertinya ormas semacam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah "kesulitan" menyebarkan nilai-nilai mereka ke negara lain. Sedangkan banyak gerakan, seperti Hizbut Tahrir, salafi, dan wahabi, bisa masuk dan diterima di Indonesia, terutama kini oleh generasi muda?

Saya tidak tahu apa kata yang tepat untuk menggambarkan sebagian orang Muhammadiyah dan NU dalam kaitan dengan itu. Mungkin malu. Ya, mereka agak malu "menjual" Islam ke luar negeri. Mereka tidak yakin apakah Islam yang mereka tawarkan benar-benar dapat diterima. Tapi, menurut saya, seharusnya tidak demikian. Baik orang NU maupun Muhammadiyah harus punya keyakinan kuat, berani menyebarkan nilai-nilainya, dan menyampaikan bahwa inilah Islam yang benar: another Islam.

Perkembangan menarik apa yang Anda lihat terjadi di tubuh Muhammadiyah dalam lima tahun terakhir?

Ada beberapa hal, tapi yang paling menarik adalah perkembangan perguruan tinggi Muhammadiyah yang sangat mengesankan. Sejak dulu saya mengenal Universitas Muhammadiyah Solo. Rekam jejak kampus itu bagus di kalangan perguruan tinggi dalam negeri. Setelahnya mereka juga mendirikan Universitas Muhammadiyah Malang, yang luar biasa indah dan canggih. Lalu, kali ini di Makassar, saya terkejut sekali. Lima tahun lalu datang ke Makassar untuk menghadiri Muktamar NU, saya sempat mengunjungi Muhammadiyah. Ketika itu gedungnya masih sederhana sekali, beda dengan sekarang yang sudah jauh lebih indah. Apalagi kini mereka juga memiliki Fakultas Kedokteran, yang menurut saya merupakan perkembangan luar biasa.

Apakah perkembangan itu sejalan dengan misi pendidikan Muhammadiyah?

Perkembangan perguruan tinggi Muhammadiyah itu suatu hal yang sangat mengesankan. Dan perkembangan itu masuk akal mengingat masyarakat Indonesia membutuhkan orang-orang terdidik. Begitu juga umat Islam, membutuhkan orang terdidik hingga tingkat perguruan tinggi. Menurut saya, Muhammadiyah menjawab tantangan akan kebutuhan sosial.

Jadi bisa dibilang, untuk urusan pendidikan, Muhammadiyah kian maju. Lalu apa lagi yang mesti mereka lakukan untuk mengembangkan sektor pendidikan?

Mereka harus mencegah inflasi akademis. Kita tahu, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia sangat besar. Banyak lulusan magister dan doktoral di sini, tapi kualitasnya diragukan. Semestinya ada kontrol yang ketat terhadap kualitas para master dan doktor itu. Saya mencontohkan beberapa orang yang saya kenal. Mereka mendapatkan ijazah S-3 padahal jarang melakukan penelitian dan jarang menulis makalah. Jadi mereka semacam hanya duduk di atas gelar S3-nya.

Menurut Anda, apa tantangan Muhammadiyah ke depan di tengah kian banyaknya anggota ormas yang makin pragmatis?

Persoalan yang dihadapi umat Muhammadiyah ataupun umat Islam perlu dibahas dengan baik dan lebih mendalam oleh cendekiawan Muhammadiyah. Pada pembahasan program kerja di Muktamar memang ada beberapa masalah yang disinggung, tapi tingkat pembahasannya hanya di permukaan. Menurut saya, Muhammadiyah harus terjun menyelesaikan sejumlah masalahnya secara mendalam. Mereka membutuhkan strategi gerakan sosial jangka panjang, bukan politik.

Masalah seperti apa yang dimaksud?

Sangat banyak. Bukan hanya masalah yang dialami umat Muhammadiyah, melainkan juga masyarakat global. Misalnya perubahan iklim, kekeringan, dan kemacetan di kota-kota besar. Masalah seperti ini dihadapi umat manusia di mana saja. Juga masalah seperti sistem ekonomi liberal, yang memperbesar jarak antara mereka yang kaya dan yang miskin. Hal-hal seperti itulah yang membutuhkan pembahasan mendalam, dan Muhammadiyah mesti terlibat di dalamnya.

Figur pemimpin seperti apa yang dibutuhkan ormas seperti Muhammadiyah?

Karakter yang idealnya dimiliki pemimpin Muhammadiyah itu seperti yang tecermin pada para pemimpin terdahulu. Misalnya Pak A.R. Fachruddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1968-1990, yang bisa mengombinasikan Islam dengan kultur lokal. Dia sendiri seorang Jawa. Ada pula Ahmad Azhar Basyir, Amien Rais, Syafii Maarif, yang memiliki ilmu pengetahuan umum selain ilmu agama yang luas.

Kemampuan mengelola organisasi juga penting dimiliki oleh pemimpin Muhammadiyah. Untuk bisa memimpin ormas seperti Muhammadiyah butuh kemampuan manajerial yang baik. Selain itu, dibutuhkan kemampuan berbaur dengan orang-orang non-Islam ataupun dengan organisasi Islam lain. Menurut saya, Din Syamsuddin memiliki pandangan dan wawasan yang luas. Dia mampu membawa Muhammadiyah berkiprah di panggung dunia dan berbaur dengan muslim secara luas. Mungkin akan susah mencari penggantinya. Tapi mudah-mudahan yang terpilih nanti bisa punya unsur-unsur karakter itu.

Mengapa dinamika politik di Muhammadiyah relatif lebih adem dibandingkan dengan NU?

Saya ingat perkataan Pak A.R. (Fachruddin) yang sangat mengesankan saya. Beliau sering mengatakan kepada anggota Muhammadiyah bahwa Muhammadiyah adalah organisasi dan Anda harus taat kepada organisasi. Yang berarti harus ikut tata tertib anggaran dasar, anggaran rumah tangga, bukan taat kepada orang. Itulah kunci sukses Muhammadiyah yang dipertahankan sampai sekarang.

Gaung organisasi perempuan Muhammadiyah, Aisyiyah, belakangan kurang begitu terdengar. Bahkan, dari 39 nama calon pemimpin, tak ada perempuan di dalamnya. Mengapa seperti itu?

Ya. Kasihan mereka. Padahal, kenyataannya, sebagian besar gerakan Muhammadiyah di akar rumput bisa dibilang dilakukan oleh ibu-ibu yang bergabung dengan Aisyiyah. Saya kurang tahu mengapa gaung Aisyiyah seperti tidak terdengar, padahal kontribusi mereka perlu dihargai. Nanti saya akan mempelajari soal ini.

Peran apa saja yang bisa dilakukan Aisyiyah dalam kehidupan bernegara?

Seperti umumnya umat Muhammadiyah, mereka harus berani meneruskan kegiatannya di bidang dakwah. Arahnya sekarang sudah benar, hanya memang mereka perlu berani bersuara lebih keras, dengan gaung lebih besar. Itu agar mereka juga lebih dihargai di Muhammadiyah. Menurut saya, mereka punya peran yang besar di masa depan.

Siapa saja anak muda Muhammadiyah yang menurut Anda cemerlang?

Saya tidak ingin menyebut nama perorangan. Muhammadiyah kan organisasi (lalu tertawa). Tapi saya menyadari saat ini banyak unsur generasi muda yang aktif bergerak. Mereka punya tanggung jawab sosial dan ilmu pengetahuan yang luas. Saya optimistis terhadap potensi mereka.

Lima tahun terakhir, seperti apa perkembangan pemikiran anak muda Muhammadiyah? Apakah lebih pluralistis?

Banyak perkembangan pemikiran mereka yang mengesankan. Dalam pengamatan saya, anak-anak muda Muhammadiyah sekarang lebih pluralis, inovatif, realistis, dan optimistis. Mereka memiliki pikiran yang sejuk. Banyak dari mereka yang melakukan penelitian yang empiris.

Dari mana Anda menyimpulkan soal itu?

Pada Desember 2012, bertepatan dengan seratus tahun kelahiran Muhammadiyah, saya dan beberapa orang membuka konferensi internasional di Universitas Muhammadiyah Malang, International Research Conference of Muhammadiyah. Konferensi itu dihadiri 60 orang dari 60 negara. Pesertanya sendiri bukan orang sembarangan, yakni para peneliti dari Muhammadiyah yang terpilih lewat seleksi. Nah, yang terpenting dari situ adalah sebagian dari mereka yang tergolong generasi muda masuk daftar 39 calon tetap Muktamar Muhammadiyah di Makassar. Saya sangat senang.

Muktamar NU berlangsung panas, sementara Muhammadiyah lebih sejuk. Menurut Anda, mengapa hal ini bisa terjadi?

Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan itu agak rumit dan susah digambarkan secara singkat. Ada unsur sejarah, sosial, budaya, dan sebagainya. Berdasarkan pengalaman saya mengikuti Muktamar NU dan Muhammadiyah masing-masing delapan kali, Muktamar NU di Jombang tahun ini boleh dibilang paling kacau. Kasihan mereka. Saya, sebagai seorang teman dari NU, sangat sedih. Malu. Saya juga harus menjelaskan ini kepada teman-teman saya di Jepang.

Apa salah satu faktornya?

Kalau dibandingkan dengan dulu, saat ini karisma kiai rais di NU berkurang. Ini ironis juga. Sedangkan anggota NU yang kebanyakan ada di pedesaan hidupnya makin maju. Lalu sekarang muncul sekelompok orang yang disebut cendekiawan NU, yang bukan ulama. Mereka inilah yang tidak punya karisma seperti halnya kiai puluhan tahun lalu. Tapi, bagaimanapun, saya rasa mereka akan berperan penting dalam membawa NU ke tahap modern.

Lalu bagaimana dengan di Muhammadiyah?

Muhammadiyah mendidik anggotanya untuk taat kepada organisasi, bukan kepada tokoh. Saya kira itu kuncinya. Seperti kita lihat, muktamar berjalan baik-baik saja seperti tahun-tahun sebelumnya.

Mitsuo Nakamura
Tempat dan tanggal lahir: Tokyo, 19 Oktober 1933 Pendidikan: Program PhD Cornell University, Amerika Serikat Pekerjaan: Profesor emeritus Chiba University, Jepang Karya: The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town (1983), Islam and Democracy in Indonesia: Observations on the 2004 General and Presidential Elections, Muhammadiyah Menjemput Perubahan: Tafsir Baru Gerakan Sosial-Ekonomi-Politik (2005)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus