Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Mari Elka Pangestu: "Saya Pesimistis dalam Jangka Pendek, tapi Optimistis untuk Jangka Panjang"

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga tahun sudah Indonesia terjerembap dalam krisis ekonomi. Sebagai bangsa, kita pun kembali terempas ke deretan negara-negara miskin. Tingkat pengangguran dan kemiskinan diperkirakan telah melonjak gila-gilaan. Pengemis dan pedagang asongan bak lalat, makin banyak berkerumun di pinggir jalan. Krisis yang menimpa Indonesia kali ini memang luar biasa dahsyatnya. Mirip sarang laba-laba, ruwetnya tak hanya terbatas pada bidang ekonomi, tapi juga menerobos wilayah politik.

Karena itu, pembenahan mau tak mau harus dilakukan di kedua bidang itu secara bersamaan. Di lapangan ekonomi, gerbong sebetulnya sudah mulai bergerak. Ekspor bulan lalu mencatat angka fantastis US$ 15,5 miliar. Itu sebuah rekor, bahkan dalam sepuluh tahun terakhir. Cadangan devisa juga terus bertambah. Sedangkan harga-harga barang bisa dikendalikan, artinya inflasi masih terjaga.

Namun, ekonomi kita jelas belum sehat seperti sediakala. Penerimaan negara, misalnya, kini lebih didominasi oleh penjualan minyak ke luar negeri. Juga dari kucuran hasil penjualan aset negara. Sedangkan penerimaan dari pajak banyak disumbang oleh pajak penjualan. Pendeknya, penerimaan tidak bervariasi dan semata memperlihatkan struktur ekonomi yang timpang dan rapuh.

Lebih parah lagi, pemerintah sepertinya tak punya gagasan dan strategi untuk pemulihan ekonomi. Bahkan sekadar koordinasi antarpejabat pun makin menjadi barang langka. Tak aneh kalau akibatnya kebijakan pemerintah terasa tidak konsisten. Campur tangan dalam berbagai kebijakan juga menjadi barang biasa. Urusan rekapitalisasi perbankan dan restrukturisasi utang di BPPN, yang mestinya dikelola secara profesional dan independen, bisa menjadi contoh.

Tak mengherankan, Mari Pangestu pesimistis pemulihan ekonomi Indonesia bisa dicapai dalam waktu 3-5 tahun mendatang. Bahkan, ekonom senior dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) itu meramalkan, dibutuhkan lima hingga delapan tahun sebelum kondisi ekonomi Indonesia kembali membaik. Sebuah ramalan yang menyesakkan. Apalagi negara-negara lain yang dulu sama-sama jatuh ke kubangan krisis ekonomi, seperti Thailand, Malaysia, dan Korea, kini sudah menunjukkan tanda-tanda bangkit.

Namun, bukan berarti tak ada sisa-sisa optimisme, terutama untuk jangka panjang. Setidaknya begitulah penuturan ekonom senior CSIS ini kepada wartawan TEMPO, Agus Hidayat, di kantornya, Jalan Tanahabang III, pekan lalu. Berikut petikannya.


Kendati sama-sama terjerembap dalam krisis ekonomi, pemulihan ekonomi di Indonesia terasa lebih lambat ketimbang di negara lain seperti Korea atau Thailand. Mengapa?

Penyebabnya antara lain masalah politik. Di Thailand, proses demokratisasi sudah berlangsung sejak awal 1990-an, sehingga pada waktu krisis mereka sudah terbiasa. Oke, kalau krisis, menteri dan perdana menterinya dianggap bersalah dan dipecat. Indonesia di awal krisis dulu belum bisa seperti itu. Kita belum bisa memecat presiden pada waktu itu. Selain masalah politik, skala persoalan dan krisis perbankan kita mungkin jauh lebih besar ketimbang mereka. Masalah utang luar negeri kita juga agak berbeda dengan negara tetangga. Kalau di Thailand dan Korea, sebagian besar utang swasta luar negerinya kebanyakan melalui lembaga nonperbankan (di Thailand), dan melalui bank (di Korea). Sehingga, kendati jumlahnya besar, mereka dapat mengelolanya dengan mudah, misalnya dalam negosiasi dan kontrol. Kalau di Indonesia, utang swasta langsung ke perusahaan. Jumlah dan variasinya banyak, sektornya pun bermacam-macam, sehingga sulit mencari cara penyelesaian utang yang tepat. Sampai sekarang pun belum ada tanda-tanda hal ini bisa diselesaikan.

Seberapa besar utang ini membebani anggaran?

Masalah utang jelas merupakan masalah fiskal yang berat. Pembayarannya akan makan waktu. Mungkin sampai anak saya menjadi pembayar pajak pun beban ini masih akan ditanggung. Tapi, yang penting adalah bagaimana kita bisa mengulur beban ini sepanjang mungkin supaya tiap tahun bebannya tidak terlalu besar. Sebab, kalau kita tidak melakukan apa-apa, mungkin lebih dari 50 persen APBN berikutnya habis hanya untuk membayar utang. Ini kan gawat dan mengurangi pos pengeluaran pemerintah untuk sektor lain.

Jadi, dari sisi anggaran, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengakali beban utang tersebut?

Pemerintah harus mengurangi pengeluaran yang tidak perlu, seperti subsidi. Prioritas pengeluaran pemerintah juga harus ditinjau ulang, terutama untuk pendidikan dan orang miskin. Sisi lain adalah bagaimana menggenjot penerimaan, misalnya dari pajak. Pertanyaannya, kebocoran pajak sudah ditangani dengan baik atau belum? Pengelolaan aset-aset BUMN juga harus diperbaiki. Hal lain yang harus dilakukan adalah penjadwalan kembali utang luar negeri itu.

Mengingat sebagian utang tersebut ternyata diselewengkan, bukankah cukup layak bila pemerintah mempertimbangkan untuk mengemplang utang tersebut?

Tidak, jangan mengemplang utang. Kalau Anda melakukan hal itu, kita tidak akan mendapatkan pinjaman baru. Apa yang kita butuhkan adalah penjadwalan utang agar kita memiliki waktu lebih lama. Syukur-syukur ada diskon bunga, dan kalau bisa memperoleh pinjaman baru dengan waktu pembayaran sebaik mungkin. Kondisi ini sebetulnya sama persis dengan kondisi tahun 1966. Waktu itu kita berhasil memperoleh penjadwalan kembali utang karena berhasil meyakinkan negara donor bahwa kita memiliki masalah dan dalam proses berbenah diri, dan kita memiliki rencana pembangunan ke depan.

Fundamental ekonomi kita sekarang sudah makin baik. Menurut Anda, selanjutnya apa lagi yang mesti dibenahi?

Dari sisi makro memang sudah mulai membaik. Namun, dari sisi sektor riil masih banyak yang harus dibenahi. Kita masih belum punya konsensus menyangkut sistem pasar: Bagaimana peran asing? Bagaimana pula peran pemerintah dan BUMN serta swasta? Kalau ini tidak terjawab, rasanya kita sulit menuju sebuah visi atau grand strategy yang jelas.

Jadi, menurut Anda, hingga sekarang pemerintah belum memiliki grand strategy untuk pemulihan ekonomi?

Ya, dan itu yang banyak dikritisi. Itu sebetulnya bukan permintaan yang terlalu muluk. Kita memang membutuhkan sebuah visi, sebuah grand strategy. Tapi, kalau tidak, seandainya kita dapat menjalankan saja apa-apa yang telah direncanakan dengan konsisten berikut tim yang kompak, untuk sementara hal ini sudah cukup baik. Nanti kalau sudah terlihat tanda-tanda bahwa pembenahan sudah berjalan, barulah dipikirkan sebuah visi atau grand strategy.

Lalu bagaimana dengan masalah restukturisasi sektor perbankan?

Restrukturisasi sektor perbankan, bersama-sama restrukturisasi utang swasta dan pemulihan ekonomi makro, adalah tiga hal yang saling berkait. Pembenahannya butuh waktu lama. Perbankan tidak bisa direstrukturisasi kalau utang swastanya belum direstrukturisasi. Sebaliknya, kalau utang swasta sudah direstrukturisasi tapi ternyata tidak bisa mendapatkan kredit dari bank, ya, sama saja sulit terjadi pertumbuhan. Demikian pula, sektor perbankan dan riil tidak akan bertumbuh kalau makroekonominya tidak jelas.

Untuk kebutuhan sekarang, mana yang seharusnya diprioritaskan di antara ketiga persoalan ini?

Sektor perbankan jelas merupakan prioritas utama. Kalau masalah makro, saya pikir berbagai hal mulai membaik. Dari sisi makro, yang paling pokok adalah masalah penyelesaian dan pengelolaan utang pemerintah, baik utang luar negeri maupun dalam negeri. Ini erat kaitannya dengan anggaran belanja dan kemampuan pemerintah menangani masalah fiskal.

Saat ini proses rekapitalisasi sudah hampir selesai. Apa lagi kira-kira kendala yang masih menghadang upaya restrukturisasi perbankan?

Masalahnya, apakah kita yakin bahwa bank-bank yang sudah direkap ini akan bertahan? Apakah tidak akan ada utang-utang bermasalah ronde kedua, antara lain karena kinerja ekonomi masih belum baik dan juga risiko untuk memberi pinjaman baru masih tinggi? Juga lantaran modal yang diberikan sewaktu rekap masih terlalu sedikit. Nah, bila masalah-masalah itu tidak membaik, jangan-jangan akan ada rekap ronde kedua, bahkan ronde ketiga. Karena itu, menurut saya perlu ada konsolidasi lebih lanjut di sektor perbankan. Caranya, kita harus benar-benar mengurangi jumlah bank yang ada dan membatasinya pada bank-bank yang benar-benar baik.

Kalau begitu, Anda setuju adanya likuidasi lanjutan terhadap bank yang kondisinya parah?

Merger saja. Melakukan konsolidasi dan menciptakan bank-bank yang bermutu dari segi sistem, SDM, dan dari pengawasan bank sentral. Ini yang harus dibenahi.

Bila sektor perbankan lamban dibenahi, apa yang akan terjadi?

Pertumbuhan ekonomi akan berlangsung lambat. Kalaupun terjadi recovery, beberapa tahun kemudian biasanya terjadi krisis lagi. Jadi, sektor perbankan ini merupakan kunci agar terjadi recovery dan tidak terjadi krisis lagi.

Sejauh ini apa sama sekali belum terlihat tanda-tanda pemulihan di sektor perbankan?

Belum. Sebab, kita belum melihat ada pinjaman baru yang berarti. Penyebabnya karena modal bank-bank masih sangat minim, ditambah iklim berusaha masih berisiko tinggi. Sehingga, bank-bank sangat berhati-hati karena kalau terlalu banyak mengeluarkan pinjaman baru, bisa-bisa CAR-nya turun lagi. Akibatnya fungsi intermediasi dari bank menjadi sangat terbatas. Bank-bank lebih memilih untuk membeli SBI yang relatif aman

Menurut Anda, kapan perbankan akan kembali berani memberikan kredit baru ke sektor riil?

Ini yang sulit diprediksi karena berkaitan dengan iklim usaha secara umum. Saya melihat bahwa apa yang terjadi di permukaan, dari sisi politik, terlihat seolah-olah negeri ini akan terdisintegrasi. Namun, kenyataannya kalau saya lihat ke lapangan, di daerah-daerah sebetulnya keadaan sangat tenang dan laju perekonomian berjalan terus, tidak terpengaruh oleh ketiadaan pinjaman dari bank, keadaan keamanan, dan ketidakpastian politik.

Melihat kondisi perekonomian Indonesia, para ekonom terbagi dua: ada yang pesimistis dan ada yang optimistis. Anda termasuk yang mana?

Saya pesimistis dalam jangka pendek tapi optimistis dalam jangka panjang. Saya pesimistis di jangka pendek karena saya pikir kita harus realistis. Sebab, kalaupun kita tidak mempunyai masalah politik, memiliki konsistensi arah kebijakan ekonomi dan dalam kondisi yang maksimal pun, proses restrukturisasi akan makan waktu tiga hingga lima tahun. Apalagi jika kita terbentur persoalan restrukturisasi perbankan dan utang swasta. Optimisme saya muncul bila investasi baru masuk dan kondisi perbankan membaik sehingga terjadi confidence snowballing effect. Kalau optimisme terjadi lagi, seperti pada Oktober tahun lalu, kepercayaan konsumen akan meningkat, investasi meningkat, pertumbuhan terjadi. Apalagi jika aset-aset dapat terjual dengan harga yang lumayan, akan terjadi peningkatan kepercayaan yang membantu percepatan proses pemulihan ekonomi.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan ekonomi itu dalam skenario yang optimistis?

Kalau proses ini terlaksana, dalam waktu tiga tahun kondisi kita akan mulai membaik. Tapi kalau proses itu diperlambat karena situasi politik dan keamanan yang tidak menentu atau kebijakan yang ambivalen, proses ini akan berlangsung lebih lama.

Apa dasar optimisme Anda?

Sumber optimisme saya adalah kita masih memiliki sumber daya alam, lalu pasar yang cukup besar, walau pengelolaannya belum optimal. Selama ekspor masih berjalan, ini akan cukup menjadi salah satu sumber pertumbuhan.

Apa yang mesti dilakukan pemerintah agar optimisme itu bisa dipelihara?

Kalau pemerintah tak bisa berbuat banyak, berkonsentrasi saja untuk mengamankan apa yang tidak terganggu oleh sektor perbankan, tidak terganggu oleh sektor politik. Misalnya sektor usaha yang bersumber pada alam dan ekspor dan sektor usaha pemenuhan kebutuhan pokok. Upayakan agar dalam sektor-sektor ini transportasinya berjalan lancar dan distribusi barangnya tidak terganggu. Kalau pemerintah bisa mengamankan itu saja, itu sudah cukup bagus, dalam artian Indonesia tidak akan collapse, juga hyperinflation bisa dicegah.

Apa dampaknya bila proses pemulihan ekonomi berjalan tersendat-sendat?

Tiap kali proses pemulihan tersendat, akan ada biaya yang harus ditanggung. Lihat saja bagaimana biaya restrukturisasi perbankan yang naik dari perkiraan awal sebesar Rp 235 triliun di masa Menteri Keuangan Bambang Subiyanto, dan kini biayanya sudah menjadi Rp 600 triliun lebih. Belum lagi akan ada aset yang semakin tidak bernilai. Jadi, kalau ada penundaan seperti ini, yang rugi adalah pemerintah karena bebannya ditanggung oleh pemerintah.

Menurut Anda, apakah pemerintah sekarang sudah berada pada jalur yang benar untuk pemulihan ekonomi?

Yah..., masih belum. Sebab, sampai sekarang masih belum jelas persepsi tentang peran pasar, peran asing, dan terlalu banyak intervensi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus