Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Presiden Nantinya Harus Tunduk pada Arah Pembangunan

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo

12 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bambang Soesatyo. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPANJANG akhir pekan lalu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo menjadi tukang antar undangan. Bersama sembilan Wakil Ketua MPR, dia menyambangi tokoh nasional seperti Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Di tengah kunjungan untuk menyampaikan invitasi pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin di gedung MPR/DPR pada Ahad, 20 Oktober nanti, itu, Bambang cs meminta masukan mantan presiden dan wakil presiden tersebut tentang rencana amendemen Undang-Undang Dasar 1945.

Wacana amendemen kelima merebak dalam dua bulan terakhir. Poin perubahannya berbeda-beda. Ada yang menyebut perlunya Indonesia kembali ke versi awal UUD 45, ada yang meminta penyusunan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara, sampai perpanjangan masa jabatan presiden. Bambang, yang baru terpilih pada Jumat, 4 Oktober lalu, mengatakan membuka masukan sebagai modal MPR membahas perubahan tersebut. “Kami sadar betul implikasinya luar biasa. Kalau sampai salah, tidak bisa judicial review,” kata Bambang dalam wawancara khusus dengan Tempo.

Bambang, 57 tahun, memilih Megawati sebagai rujukan pertama. Dia beralasan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu adalah presiden terakhir yang menjabat saat terbentuknya amendemen keempat pada 2002. PDI Perjuangan pula yang pertama kali menggulirkan wacana perubahan konstitusi sesuai dengan hasil kongres partai itu pada Agustus lalu.

Sebelum melanjutkan kunjungan ke kediaman Prabowo Subianto pada Jumat petang, 11 Oktober lalu, Bambang menerima wartawan Tempo, Stefanus Pramono, Reza Maulana, Aisha Shaidra, dan Dewi Nurita, di ruang kerja barunya yang masih lowong di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta. Dia memastikan amendemen konstitusi tidak akan menjadi bola liar, termasuk menghilangkan pemilihan presiden secara langsung. “Maka kami gunakan bahasa yang sangat verbal: amendemen terbatas,” ujar Ketua Dewan Perwakilan Rakyat 2018-2019 itu.

Apa urgensi amendemen kelima Undang-Undang Dasar 1945?

Aku kan cuma menerima warisan. Rekomendasi dari MPR periode 2014-2019 begitu. Ini pekerjaan rumah sejak MPR periode 2009-2014, yang diwariskan ke 2014-2019, lalu diwariskan lagi ke kami. Mesti kami tindaklanjuti.

Bagaimana MPR menindaklanjutinya?

Kami tidak mau tergesa-gesa. Kami harus cermat. Kami terbuka pada publik, menerima masukan dari berbagai kelompok masyarakat, purnawirawan, segala macam. Nanti kami juga akan mengundang perwakilan mahasiswa untuk mengetahui keinginan mereka akan Indonesia. Mereka pemilik bangsa ini pada 20 atau 30 tahun mendatang. Banyak suara yang berkembang, sehingga harus kami rangkum menjadi suara rakyat Indonesia. Bentuknya seperti apa? Itu yang sedang kami kerjakan.

Caranya bagaimana?

Kami akan membuka seluas-luasnya diskusi publik untuk menampung aspirasi masyarakat. Kami sadar betul implikasinya luar biasa. Jangan sampai salah karena tidak bisa melakukan judicial review layaknya undang-undang. Jadi kami sangat berhati-hati. Kami ingin hasil amendemen ini zero complaint.

Kapan target pembahasan amendemen selesai?

Tidak ada target. Kami kan bukan bus dengan setoran, he-he-he.... Mungkin tidak akan selesai dalam satu-dua tahun ke depan. Pada tahun-tahun awal ini, kami akan menerima masukan-masukan dalam rangka menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi.

Seperti apa rekomendasi yang masuk?

Ada dua opsi rekomendasi terkait ­dengan perlunya kehadiran kembali GBHN. Ada yang melalui MPR lewat amendemen, ada yang cukup memakai undang-undang. Semuanya kami gelar di atas meja. Akan kami tawarkan kepada masya­rakat tone-nya bagaimana. Itu yang akan kami jalankan. Ini kan keputusan rakyat.

Kunjungan Anda ke Megawati Soekarnoputri termasuk upaya menjaring masukan?

Ya. Bu Mega sempat menjalankan amendemen konstitusi terakhir, yang terbit pada 2002, dalam dua tahun terakhir masa kepemimpinannya. Beliau juga ­presiden terakhir yang menjadi mandataris MPR. Kami minta pandangan beliau, apa yang masih kurang dalam konstitusi saat ini.

Apa masukan dari Megawati?

Dari pertemuan tersebut, saya menangkap kegelisahan Bu Mega soal arah pembangunan negara ini. Titik beratnya pada perekonomian. Dia gelisah betul. Kata-kata beliau kira-kira, “Kenapa ya, mulai presiden sampai bupati dan wali kota, setiap terpilih pasti kebijakannya baru? Karena ego, sehingga kebijakan bagus pendahulunya tidak dipakai atau dilanjutkan. Padahal hampir semua negara punya arah pembangunan bahkan hingga seratus tahun ke depan. Sehingga, meski ada pergantian presiden sampai bupati, arah pembangunannya tetap sama.” Beliau mencontohkan Cina, yang sampai punya maket kota-kota besarnya beberapa puluh tahun ke depan. Juga Singapura, yang punya arah pembangunan seratus tahun ke depan.

Dalam praktiknya, parlemen Cina dan Singapura dikuasai partai tunggal, berbeda dengan Indonesia yang multipartai.

Justru itu, dibutuhkan kepiawaian semua pihak untuk merangkum semua suara menjadi satu arah.

Bisakah MPR melakukannya?

Kemarin, saat pemilihan pimpinan MPR, dari sepuluh partai bisa mencapai mufakat dari musyawarah. Yang penting kita bisa menyampaikan maksud dan tujuan secara gamblang. Ujung-ujungnya adalah sebesar-besarnya kepentingan ­rakyat. Enggak ada yang bisa menolak kalau untuk kepentingan rakyat. Contohnya begini. Pak Jokowi menitikberatkan pemba­ngunan infrastruktur. Namun bisa saja penggantinya bilang infrastruktur ­enggak penting. Infrastruktur jadi terbengkalai. Jadi harus ada blueprint atau peta jalan pembangunan 50 tahun ke depan. Bu Mega juga memuji Bu Risma (Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini). “Kalau penggantinya tidak bisa meneruskan atau punya program lain, apa yang sudah dijalankan, mulai dari nol lagi.”

Itu dituangkan dalam GBHN?

Namanya tidak harus GBHN. Bisa cetak biru pembangunan atau apa saja.

Jadi presiden tunduk pada hasil kepu­tusan MPR?

Bukan hanya presiden. Nantinya gubernur, bupati, dan wali kota juga harus tunduk pada arah pembangunan itu. Arahnya ke sana, keinginan rakyat Indonesia yang dimunculkan di MPR.

Pembicaraan dengan Megawati hanya ­seputar ekonomi?

Beliau juga sempat menyampaikan secara garis besar soal otonomi daerah, otonomi khusus. Tapi hanya sedikit menyinggung soal itu. Soal politik, kita sudah sepakat bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Soal pemilihan langsung presiden tidak disinggung sama sekali. Masa jabatan presiden yang lima tahun dan dua periode juga tidak disinggung.

Dengan kewajiban menaati GBHN, artinya posisi presiden kembali seperti sebelum amendemen, sebagai mandataris MPR?

Jangan mengartikan terlalu sempit. Mandataris kan artinya pertanggung­jawabannya ke MPR. Presiden tetap mandataris rakyat. Pertanggungjawaban dan pengawasannya ke DPR. MPR hanya memberi arah. Pemerintah boleh menjalankan program apa saja, sesuai dengan janji dan visi-misi saat kampanye pemilihan presiden, tapi arahnya sudah jelas. Ibarat ­Google Maps, kami hanya menentukan titik tujuan, pemerintah mau lewat jalan mana saja bebas.

Bagaimana MPR memastikan pemerintah tidak melenceng dari arah tersebut?

Pengawasan ada di setiap tingkatan. Sama seperti sekarang, pemerintah melakukan pembangunan lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pengawasannya lewat DPR, DPR daerah tingkat I, DPRD daerah tingkat II. Dari MPR, kami lagi cari formulanya.

Apa yang salah dengan Rencana Pemba­ngunan Jangka Panjang, 20 tahun, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah, 5 tahun, sehingga perlu ada GBHN?

Enggak tahu. Menurut Anda, apakah arah pembangunan di RPJPN sudah jelas? Kan, saya lagi menjaring aspirasi.

Anda pribadi sepakat dengan amen­demen?

Saya sepakat dengan apa pun yang menjadi keputusan kita bersama. Keren kan jawaban saya? He-he-he....

Jawaban Anda mengambang....

Saya memang mesti menjawab mengambang. Karena apa pun jawaban saya berkaitan dengan posisi saya. Tidak bisa dipisahkan dari jawaban pribadi.

Bukankah pemberlakuan GBHN juga bisa mengekang desentralisasi, yang merupakan buah reformasi?

Ini juga untuk menekan arah jalan keliru desentralisasi. Desentralisasi diartikan sebagai pemekaran. Untung sekarang sudah ada moratorium. Kalau otonom-otonom seperti itu, apa bedanya kita dengan negara federal. Kita kan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Harus ada satu buku induk. Mungkin tidak sampai detail seperti di Cina dan Singapura, tapi ada garis besar dan haluannya.

Garis besar itu nanti tertuang dalam ketetapan MPR atau apa?

Lho, kami ini baru mulai perencanaan. Kami baru rapat sekali. Anda kelewat cepat nanyanya, ha-ha-ha....

Mungkinkah berbentuk undang-undang, sehingga tidak perlu amendemen?

Tidak tahu, tergantung dinamika. Politik kan penuh dinamika. Salah-salah, nanti didemo lagi.

Ketua MPR Bambang Soesatyo (kiri) dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri usai melakukan pertemuan di kediaman Megawati, Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis

Amendemen bisa menjadi pintu masuk kepentingan lain, misalnya tidak ada lagi pemilihan presiden secara langsung, karena presiden ditunjuk MPR.

Maka kami gunakan bahasa yang ­­sangat verbal: amendemen terbatas. Kami tidak bisa dimasuki pembahasan soal lain. Itu pun kalau jadi memutuskan melakukan amendemen, ya. Saat ini hal itu belum pasti. Bisa juga tidak jadi amendemen.

Termasuk usul Dewan Perwakilan Daerah yang meminta penguatan kelembagaan?

Bisa saja, kalau disepakati. Tapi bisa juga tidak disepakati.

Bukankah partai Anda, Partai Golkar, ­menolak amendemen?

Keliru. Posisi Golkar adalah, kalau bisa diselesaikan dengan undang-undang, ya dengan undang-undang. Kami selalu berkoordinasi, tapi belum membahas jauh. Baru ada rekomendasi dan cara menyi­kapinya. Belum ada pembahasan detail.

Apa sikap partai saat ini?

Semua mendengar masukan semua lapisan. Pak Try Sutrisno (Wakil Presiden 1993-1998), misalnya, mengatakan perlunya kembali ke UUD 1945 versi awal. Itu kan berarti sistem politik kita berubah semua. Saya pribadi, juga sikap Golkar, justru ingin sistem presidensial kita diperkuat. Amendemen seharusnya bisa mengembalikan kekuasaan presiden.

Dalam hal apa?

Misalnya, apakah masih diperlukan fit and proper test di DPR untuk Kepala Kepolisian dan lembaga-lembaga lain yang ditunjuk presiden. Dulu kekuasaan begitu besar di tangan presiden. Ketika reformasi, kekuasaan itu sebagian diambil, dibagi ke DPR. Contohnya dalam uji kelayakan itu. Sekarang, dengan kondisi demokrasi yang makin terbuka, apakah masih di­perlukan? Saya dalam posisi ingin menguatkan sistem presidensial.

Sepertinya keinginan itu bertentangan dengan PDI Perjuangan sebagai pemilik ­suara terbanyak di MPR.

PDIP ingin menghidupkan GBHN saja. Apakah tidak cukup dengan undang-undang? Bisa saja dengan undang-undang, kalau undang-undang itu bisa mengikat ­seluruh rakyat Indonesia. Mengikat presiden, gubernur, wali kota, bupati dalam 5, 20, sampai 50 tahun yang akan datang, kenapa tidak? Tidak usah pakai amendemen.

Mengapa amendemen kelima tidak terlaksana di dua periode MPR sebelumnya?

Saya belum baca soal itu. Yang pasti, periode MPR 2009-2014 mengkaji dan merekomendasikan penerusnya untuk mengkaji lagi. Lalu MPR 2014-2019 mengkaji dan meminta MPR 2019-2024 mengkaji kembali rekomendasi tersebut. Memang tugas MPR mengkaji kali, ya, he-he-he....

Artinya, tidak jadi masalah jika sampai akhir masa jabatan Anda amendemen tidak terbit?

Bisa saja. Tergantung keinginan ­masyarakat.

Namun Fraksi PDI Perjuangan ­seperti menjadikan amendemen sebagai target ­kerja mereka....

Ketua umum mereka melihat hal ini yang paling urgen. Kegalauan ketua umum biasanya menurun ke bawah. Seiramalah mereka. Inilah yang ditunjukkan Fraksi PDIP.

Mereka intens melobi Anda?

Eee, saya enggak tahu. Saya belum dilobi. Enggak ada lobi. Kan, kita bekerja bersama-sama. Kami, pimpinan MPR, selalu kumpul bersama. Kemarin, di rapat pertama, kami sepakat mengambil keputusan berdasarkan musyawarah mufakat. Saya tidak mau membangun tradisi voting di DPR, yang, mengutip Ibu Mega, bukan tradisi Indonesia.

Apa pembahasan dalam pertemuan di ­Hotel Fairmont, Senayan, Kamis, 3 Oktober lalu?

Saya mengundang makan siang perwakilan fraksi untuk persamaan persepsi untuk minta pandangan soal pemilihan Ketua MPR. Semua ada, termasuk Gerindra. Semua mendukung, kecuali DPD, yang bilang masih akan dirapatkan. Gerindra mengatakan tetap mendukung Pak Muzani (Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani).

Kami mendapat informasi bahwa Ahmad Basarah dari PDI Perjuangan menyinggung soal amendemen dalam pertemuan itu.

Dia menyampaikan pandangannya sebagai Fraksi PDIP bahwa ada agenda dan rekomendasi yang harus kami jalankan. Saya menyampaikan, soal amendemen, harus memakai dua-tiga tahun ini sebagai waktu emas menyerap aspirasi. Tidak perlu terburu-buru. Makanya kami bentuk Badan Pengkajian Ketatanegaraan. Semua partai ada.

Ketuanya dari PDI Perjuangan?

Enggak. Sistemnya digilir.

Bagaimana Anda terpilih sebagai Ketua MPR, sementara, di partai, Anda berseberangan dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto?

Bukan berseberangan. Orang melihat begitu karena saya pernah mau maju sebagai ketua umum. Tak ada hard feelings, tak ada yang personal. Saya maju, beliau oke saja. Beliau menyusun pasukan, saya juga menyusun pasukan. Dalam perjalanan, ada kebutuhan untuk mengisi pimpinan MPR. Ada beberapa nama yang ditawarkan kepada teman-teman fraksi lain, cuma mungkin kurang ada respons.

Anda tetap akan mencalonkan diri sebagai ketua umum?

Semua kader Golkar boleh menjadi ketua umum, termasuk saya. Tinggal menunggu momen apakah saat musyawarah nasional nanti memang tepat waktunya.

Jadi Anda akan mencalonkan diri atau ­tidak?

Semua kader harus punya keinginan itu. Kami juga mendorong siapa saja yang punya kemampuan untuk mencalonkan diri. Makin banyak figur yang muncul sebagai ketua umum, makin bagus.

Dari jawaban Anda, bisakah disimpulkan sebagai “ya”?

Biarlah ini menjadi rahasia antara saya dan Airlangga. Hanya Tuhan yang tahu.

 


 

BAMBANG SOESATYO

Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 10 September 1962

Partai politik: Partai Golkar

Pendidikan, di antaranya: Akademi Accounting Jayabaya, Jakarta (1985), Manajemen Perusahaan di Sekolah Tinggi Ekonomi Indonesia, Jakarta (1992), Master Bisnis Administrasi Institut Manajemen Newport Indonesia (1990)

Karier, di antaranya: Wartawan majalah Vista (1989-1992), Pemimpin Redaksi Majalah Info Bisnis (1991-2007), Pemimpin Redaksi Harian Suara Karya (2004-2006), Direktur Independen PT SIMA Tbk (2006-2013), Direktur Kodeco Timber (2007-2013)

Karier di legislatif: Anggota DPR (2009-2018), Ketua DPR (2018-2019), Ketua MPR (2019-2024)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus