Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gencar Diskon di Akhir Pekan

Bisnis pesan-antar makanan menjadi primadona. Perusahaan pembayaran menggali ceruk bisnis yang masih menganga.

12 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengemudi ojek online antre mengambil pesanan makanan di sebuah restoran di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Februari 2018./ Dok.TEMPO/Fakhri Hermansya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah notifikasi masuk ke telepon seluler Martha, 39 tahun, Jumat, 11 Oktober lalu. Karyawan perusahaan swasta di Jakarta Barat itu menerima tiga voucher diskon untuk pemesanan makanan via GrabFood, salah satu fitur Grab yang melayani pesan-antar makanan. Voucher potongan harga sebesar 40 persen—dengan maksimal Rp 60 ribu—akan diberikan untuk pemesanan GrabFood sepanjang pembelanjaan minimal Rp 70 ribu. Penawaran berlaku lima hari.

“Lumayan dapat lagi. Padahal yang kemarin belum habis,” kata warga Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, itu. Sebelumnya, Martha mendapat kiriman voucher serupa dari GrabFood. Cuma nilainya berbeda: potongannya 30 persen—dengan maksimal Rp 40 ribu—untuk pembelanjaan minimal Rp 50 ribu.

Menjelang libur akhir pekan itu, Akmal, 16 tahun, juga menerima beragam voucher diskon. Pelajar sekolah menengah atas di kawasan Casablanca, Jakarta Selatan, itu memperoleh tawaran potongan harga dari GoFood, salah satu layanan Gojek yang khusus melayani pesan-antar makanan. Akmal memperoleh lima voucher, masing-masing senilai Rp 10 ribu, yang berlaku untuk tiga hari.

Jorjoran diskon di bisnis layanan pesan-antar makanan makin marak belakangan ini, seiring dengan meningkatnya jumlah pengguna kedua aplikasi tersebut. Sebagai salah satu produk Gojek, GoFood telah diunduh puluhan juta dari aplikasi Play Store. Hal serupa terjadi pada GrabFood, salah satu layanan Grab.

Hasil studi lembaga periset AC Nielsen mengkonfirmasi hal tersebut. Survei tentang “Tren Pembelanja Indonesia 2019”, yang dirilis pada Kamis pekan lalu, menunjukkan fenomena layanan pesan-antar makanan makin luas. Setidaknya empat dari sepuluh orang pernah menikmatinya. Malah, di luar dugaan, konsumen terbesar bukan di wilayah Jabodetabek, melainkan Semarang, yang mencapai 61 persen dari total responden di kota tersebut, disusul Medan (55 persen). Adapun Jabodetabek hanya 40 persen, di bawah Bandung (44 persen) dan Makassar (42 persen).

Responden terang-terangan menyebut GoFood dan GrabFood sebagai platform online yang kerap digunakan (85 persen) ketimbang mengakses langsung aplikasi restoran tersebut (10 persen). Adapun konsumen yang mengorder via telepon cuma 22 persen. Sedangkan yang membuka web-site restoran tersebut tercatat hanya 1 persen. Nielsen menggelar survei ini di 12 kota dengan responden berusia 15-65 tahun. Sebanyak 4.439 responden diwawancarai selama Maret-April 2019.

GoFood didukung oleh sistem pembayaran GoPay. Adapun GrabFood disokong OVO. Kedua dompet digital itu menjanjikan kemudahan dan kenyamanan bertransaksi.

Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita mengatakan layanan transportasi, pesan-antar makanan, dan ekosistem pembayaran digital merupakan tiga layanan terdepan dalam bisnis Gojek. Namun ia tak bisa merinci porsi kontribusinya secara detail terhadap total transaksi melalui GoPay di ekosistem Gojek.

GOPAY dan OVO tidak hanya gencar menyebar voucher diskon, tapi juga memberi iming-iming uang kembali (cash-back) untuk menggaet lebih banyak konsumen. Promo digelar di berbagai gerai, dari restoran, apotek, hingga peretail seperti Alfamart dan Indomaret. Bahkan kini GoPay dan OVO merambah pedagang kaki lima, dari penjual sate, pedagang martabak, hingga penjual sayur di pasar tradisional. Dengan kode QR yang tersedia di kios, pembeli cukup memindai, lantas memasukkan nilai pembayaran. Selanjutnya, uang kembali alias cash-back akan otomatis mengisi saldo dompet virtual.

Martha termasuk pengguna aktif dompet digital. Ia kerap memakainya untuk layanan pesan-antar makanan. Dua aplikasi—GoPay dan OVO—tersimpan di ponselnya. “Mana yang diskon atau cash-back-nya besar, itu yang saya pilih,” ujarnya. Pernah suatu kali, ia berbagi kisah, membeli beberapa pan pizza seharga Rp 260 ribu. Uang kembali yang diterimanya dari OVO mencapai Rp 40 ribu. Ia masih mendapat “insentif” lagi berupa poin dari OVO. “Poinnya saya pakai untuk memesan GrabCar.”

Dua pekan lalu, Martha memakai uang elektroniknya untuk berbelanja di Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang. Selain membeli sayur, dia mampir ke pedagang buah. Ia membeli jeruk seharga Rp 28 ribu. Kali ini, ganti GoPay yang memberikan cash-back sebesar Rp 3.000.

Presiden Direktur PT Visionet Internasional—perusahaan pengelola OVO—Ka-raniya Dharmasaputra membantah jika berbagai diskon dan cash-back itu disebut sebagai strategi pemasaran dengan “membakar uang”. Tapi ia menyebutnya sebagai biaya edukasi kepada masyarakat untuk mengembangkan uang elektronik alias cashless. “Tidak mungkin kita menyampaikannya: untuk kepentingan nasional dalam pengembangan uang elektronik. Harus ada insentif,” ia menjelaskan.

Ke depan, bila masyarakat sudah teredukasi dengan baik, Karaniya optimistis biaya edukasi akan berkurang. “Kami sedang dalam rute. Cash-back akan dikurangi setelah masyarakat teredukasi, merasa nyaman dengan kemudahan banyaknya layanan yang bisa dirasakan di aplikasi OVO.”

Head of Public Relations OVO Sinta Setyaningsih optimistis OVO adalah yang terdepan. Ia merujuk pada hasil survei Snapcart—lembaga riset berbasis aplikasi—yang menunjukkan bahwa OVO memimpin pasar aplikasi dompet digital Indonesia untuk transaksi retail, transportasi online, dan pengiriman makanan online. Snapcart menyebutkan OVO digunakan 58 persen dari total responden, mengalahkan pemain besar lain, seperti GoPay (23 persen) dan DANA (6 persen).

Penelitian lain dilakukan oleh iPrice Group-App Annie. Mereka menyebutkan bahwa GoPay sebagai aplikasi dompet digital terbesar di Indonesia berdasarkan pengguna aktif bulanan. Lembaga ini juga menghitung jumlah pengunduh aplikasi sebagai dasar analisis. Penelitian dilakukan untuk rentang hampir dua tahun, mulai kuartal keempat 2017 hingga kuartal kedua 2019.

Adapun hasil penelitian yang dirilis DSResearch dalam Fintech Report 2018 menunjukkan, GoPay dipakai oleh 79,3 persen dari responden pengunduh dan pengguna layanan teknologi keuangan (fintech) di telepon seluler mereka; disusul OVO, yang dipilih 58,42 persen responden. Dalam hal ini, seorang responden bisa memiliki satu atau lebih aplikasi fintech di ponselnya.

Financial Times Confidential Research Mobile Payment melakukan survei serupa pada rentang Juli-September 2018. Hasilnya menunjukkan bahwa GoPay masih paling populer di antara instrumen pembayaran digital di Indonesia. Aplikasi itu digunakan oleh hampir 75 persen pengguna dompet digital. Sedangkan pengguna OVO ada sekitar 42 persen.

Gojek punya strategi lain dalam mengepakkan sayap bisnis GoFood. Perusahaan berupaya memperluas jaringan ke luar negeri. Salah satunya ke Singapura. Nila Marita mengatakan perusahaan selalu mengkaji potensi pengembangan bisnis dan layanan. “Ini penting bagi kami untuk memastikan layanan Gojek benar-benar menjadi solusi bagi permasalahan di pasar tersebut, sehingga dampak sosial yang berkelanjutan dapat tercipta,” tuturnya, Jumat, 11 Oktober lalu.

Karaniya Dharmasaputra melihat fenomena ini bukan sebagai kompetisi yang ketat. Sebaliknya, ia memandang kue bisnis uang elektronik yang masih sangat besar ini belum banyak tergarap. Saat ini, menurut Karaniya, belum ada 10 persen dari total penduduk Indonesia, yang mencapai 260 juta, telah mengakses dompet digital. Uniknya, kata dia, sebagian pengguna dompet elektronik merupakan kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap perbankan. “Mereka tidak punya rekening di bank. Artinya, kue bisnis masih besar, masih banyak yang bisa dikerjakan.”

RETNO SULISTYOWATI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus