Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Titel "pahlawan lingkungan" langsung melekat pada nama Sadiman, 68 tahun, ketika kiprahnya menanami bukit gersang di kampungnya di Desa Geneng, Bulukerto, Wonogiri, Jawa Tengah, terekspos oleh media pada 2015. Padahal, jauh sebelum itu, kakek dua orang cucu ini sudah memulai memperbaiki lingkungan di kampungnya yang kekurangan air. "Saya mulai menanam pohon pada 1996," kata pria yang akrab disapa Mbah Sadiman itu ketika ditemui Tempo di rumah kerabatnya di Dukuh, Jakarta Timur, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun kemudian, pada 2016, Sadiman mendapat penghargaan Kalpataru. Ia kian sering muncul di media massa, nasional hingga internasional. Warga desanya pun mulai merasakan manfaat dari ribuan batang pohon yang ditanam Sadiman selama belasan tahun di lahan seluas lebih dari 100 hektare, yakni melimpahnya air, baik untuk minum maupun pengairan sawah dan ladang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini Bukit Gendol yang digarap Sadiman mendapat julukan Bukit atau Hutan Sadiman. Selain memberikan manfaat utama berupa penghijauan dan sumber air yang berlimpah, wilayah ini menjadi lokasi wisata buat warga lokal.
Nusawantoro/ Mongabay Indonesia
Sanjungan dan penghargaan pun terus berdatangan kepada pria yang putus sekolah di tingkat sekolah teknik menengah (STM) itu. Terakhir, pada Kamis lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana memberikan penghargaan Reksa Utama Anindha atau "penjaga bumi yang penuh kebijakan". Tapi bagi Sadiman, puluhan piagam dan trofi yang diperoleh bukanlah cita-cita sebenarnya. "Saya hanya ingin melihat kampung saya tidak kekeringan lagi."
Ditemui Tempo sebelum kembali ke kampung halamannya, Sadiman menceritakan keberhasilannya itu.
Bagaimana awal mula Anda mulai menanam pohon?
Dulu 1960-an, kawasan hutan di kampung saya terbakar hebat. Akibatnya mata air yang tadinya berlimpah, berubah menjadi kering. Kampung sering dilanda kekeringan ketika musim kemarau. Pada 1996, saya mulai melakukan penanaman. Saya memilih menanam di lahan yang rusak, jaraknya sekitar tiga kilometer dari rumah saya, bentuknya bukit. Saya minta izin untuk menanam di sana.
Memangnya lahan itu punya siapa?
Punya Perhutani, tapi tidak terawat. Padahal di situ ada mata air untuk air minum dan pengairan lahan warga.
Dari mana Anda mendapatkan bibit pohon untuk ditaman?
Saya melakukan pencangkokan sendiri atau tukar ke orang. Saya pilih pohon beringin untuk ditanam di lahan yang gersang dan rusak. Kebetulan saya punya banyak bibit cengkih. Nah, bibit ini saya tukar kepada orang yang punya bibit beringin. Atau kalau orang yang punya bibit beringin meminta dicarikan bibit kayu jati atau sengon, ya, saya carikan.
Kenapa memilih beringin?
Tujuan saya ingin menabung air. Kedua, kurang modal. Ibaratnya tak ada rotan, akar pun jadi. Saya pakai bibit yang kira-kira murah dan mudah didapatkan. Sebetulnya manfaat beringin banyak sekali, terutama untuk menampung air hujan dan sebagai tanaman peneduh. Buahnya juga bisa untuk makanan burung. Daunnya bagus untuk menyerap polusi udara, akarnya kuat untuk menahan longsor.
Tapi ‘gara-gara menanam beringin‘ Anda sempat dibilang gila...
Saya memang sengaja enggak cari tanaman yang menghasilkan. Kalau produktif, malah nanti ditebang. Orang bilang saya gila karena bibit cengkih yang jelas-jelas ada hasilnya ditukar dengan beringin yang tidak membuahkan. Tapi, ya, kalau saya tidak gila, tidak akan jadi begini.
Pohon beringin juga kan sering dianggap angker...
Angker itu anggapan orang, buat saya sih biasa saja. Tapi memang ada satu pohon yang sekarang paling besar di sana, diameternya mungkin lebih dari tiga meter, tidak sampai dipeluk oleh orang dewasa, ha-ha-ha.
Bagaimana Anda bekerja menanam ribuan batang pohon sendiri?
Pertama, saya pilih lahan yang mudah dijangkau dulu, ini terpencar-pencar. Mungkin awal-awal luasnya sekitar 20 hektare. Saya bagi-bagi berdasarkan jalur supaya semua terjangkau. Senin-Selasa, jalur satu. Rabu-Kamis, jalur dua, begitu seterusnya. Saya tak menargetkan sehari tanam berapa pohon, sekuatnya saja. Saya menganggap ini pekerjaan sampingan. Wong selama 19 tahun saya bekerja tanam pohon, istri dan anak-anak saya tidak tahu, ha-ha-ha.
Lho kok bisa?
Ya, mereka baru tahu setelah cerita saya masuk Internet. Kalau dari dulu mereka tahu, pasti saya sudah dilarang. Ngapain kerja capek-capek tapi tidak ada pemasukan (uang), he-he-he. Tapi saya punya cara untuk curi hati istri, pagi bawa bibit beringin ke hutan, bilangnya ambil rumput untuk ternak. Jam 12 siang saya pulang ke rumah. Sore pergi kembali ke hutan untuk tanam bibit, pulangnya bawa kayu bakar. Begitu terus supaya enggak ketahuan istri.
Apa respons keluarga begitu tahu cerita Anda dan banyaknya penghargaan yang Anda terima?
Biasa-biasa saja. Ha-ha-ha
Dari mana Anda belajar soal ilmu tanaman?
Tahun 1971, saya sempat jualan bibit cengkih. Jadi tahu soal ilmu cangkok, bibit, dan tanaman.
Sejak dulu Anda bekerja sendiri, kenapa tidak mengajak orang lain, misal anak muda?
Setelah saya terkenal, mulai banyak yang membantu, anak-anak sekolah dan anak muda aktif menanam pohon. Dulu saya enggak mau, karena saya merasa kalau mengajak orang malah saya dimusuhi, dibilang gila tadi, lahan enggak ada hasilnya kok digarap. Tapi kalau ada yang mau tumbuh pikirannya, ya, saya bantu. Tapi sekarang semakin banyak yang membantu, baru-baru ini ada orang Inggris datang, mereka tanam pohon. Ada juga dari perusahaan yang tanam 10 ribu bibit. Sudah empat negara syuting di tempat saya itu, ha-ha-ha.
Berapa total pohon yang Anda tanam di sana?
Kalau yang saya tanam sendiri sejak 1996, hanya sekitar 4.500 batang. Tapi sekarang sudah banyak karena banyak yang membantu. Yang penting gara-gara penghijauan ini sekarang 800 keluarga di desa-desa sekitar Bukit Gendol tidak kekurangan air minum. Ratusan hektare ladang yang semula mengandalkan air hujan juga bisa mendapat air meski musim kemarau.
Sekarang Anda masih aktif ke hutan?
Pasti, harus ada perawatan rutin. Saya rutin memangkas rumput-rumput di sekitar pohon, dipupuk juga pakai pupuk kandang. Tanam sedikit kalau dirawat, ya, jadi bukit. Tanam banyak kalau tidak dirawat, ya, punah. Kalau musim penghujan, 40 hari pasti saya babat rumput. Kalau musim kemarau begini, saya menjaga aliran air supaya lahan-lahan yang kering tetap mendapatkan pasokan air sekaligus menjaga supaya tidak ada kebakaran hutan.
Anda keluar banyak modal ya untuk pekerjaan ini...
Ya, saya keluar modal untuk ganti rugi ladang petani yang lahannya saya gunakan. Tujuannya agar ini jadi lahan permanen, enggak ada yang ganggu gugat.
Dari mana Anda mendapatkan pemasukan?
Sekarang saya bikin sampingan, berupa taman wisata. Saya bikin jalur berupa 1.000 anak tangga, kanan-kirinya saya tanami 300 jenis bunga-bungaan. Saya namakan Taman Ikhlas Gendol, siapa saja boleh datang dan bayar seikhlasnya.
Apa makna puluhan penghargaan yang Anda dapatkan hingga saat ini?
Mungkin ada sekitar 30-an penghargaan. Ya, saya senang karena ada yang mengakui penghijauan saya. Penghargaan ini bukan untuk saya saja, buat semua keluarga, masyarakat, dan mereka yang peduli penghijauan. Ini pesan untuk semua orang agar kita menjaga hutan, supaya tidak ada kebakaran, untuk keselamatan anak cucu di masa depan.
Bagaimana Anda menularkan semangat menjaga lingkungan itu ke anak cucu atau generasi yang lebih muda?
Saya berharap anak-anak sekolah di tingkat SD sampai SMA mendapatkan ilmu soal penanaman dan penghijauan lingkungan. Terutama anak-anak SD harus diajarkan kebiasaan menanam pohon supaya mereka sadar sejak kecil.
Sadiman
Lahir: Wonogiri, 4 Februari 1954
Pendidikan:
- SDN I Geneng Bulukerto (1965)
- SMP Marhaen Bulukerto (1970)
- STM Bangunan Jatisrono (1971, hanya sampai kelas I)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo