Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA masih menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan tiga bulan lalu, Kiagus Ahmad Badaruddin, 59 tahun, terusik laporan transaksi mencurigakan Rp 3 miliar yang masuk ke rekening istrinya. Laporan itu menggoyahkan posisinya, yang saat itu sedang dicalonkan sebagai Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Kabar itu menyebar di Istana dan Kementerian Keuangan. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang mengusulkan Badaruddin menjadi Kepala PPATK, mendalami informasi itu. "Beliau bertanya, 'Pak, itu uang apa?'" ujar Badaruddin.
Badaruddin mengatakan duit tersebut merupakan hasil transfer dari rekeningnya dan bank melakukan kesalahan pembukuan. "Saya kontan menolak jadi Kepala PPATK bila istri memang menerima duit bukan dari saya," kata mantan Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Komisi Pemberantasan Korupsi ini.
Setelah memimpin PPATK, bersama wakilnya, Dian Ediana Rae, ia membentuk tiga desk baru, yakni fiskal, narkotika-terorisme, dan teknologi finansial (fintech). Ketiga desk tersebut mewakili pokok pidana asal dari pencucian uang. Badar berjanji tak bakal tebang pilih menelisik transaksi janggal, termasuk bila melibatkan para bekas koleganya di Kementerian Keuangan.
Kamis dua pekan lalu, Badaruddin menerima wartawan Tempo Sapto Yunus, Anton Aprianto, Agoeng Wijaya, Reza Maulana, dan Raymundus Rikang untuk sebuah wawancara di kantornya di Jalan Ir H Juanda, Jakarta Pusat. Dalam perbincangan dua jam itu, ia menjelaskan pelbagai hal yang sedang dikerjakan lembaganya, dari mengurai asal-usul pendanaan terorisme, membantu Kementerian Keuangan menggali potensi pajak tersembunyi, hingga mendongkrak rasio kepatuhan penegak hukum dalam menindaklanjuti laporan PPATK tanpa ribut-ribut. "Kalau gaduh tapi ada hasil, saya siap," ujarnya diikuti derai tawa.
Bagaimana ceritanya Anda terpilih menjadi Kepala PPATK?
Saat itu saya menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan. Ketika rapat pimpinan rutin setiap Senin di Kementerian Keuangan hampir selesai, saya dipanggil Bu Sri Mulyani masuk ke ruangannya. Beliau mengatakan, "Pak Badar, Anda akan ditugaskan ke PPATK, tapi keputusannya bergantung pada Presiden."
Anda langsung menerima?
Saya tak pernah menolak penugasan. Saya pikir ini perjalanan panjang karier sebagai pegawai negeri dan tak ada manuver khusus untuk jadi Kepala PPATK. Penunjukan itu saya terima sebagai balas budi pada negara, yang selama ini memberikan saya pekerjaan dan pendidikan sampai ke luar negeri.
Ada pesan khusus dari Sri Mulyani setelah dilantik?
Bekerjalah dengan baik. Anda tak hanya melaksanakan tugas PPATK yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, tapi diharapkan mendukung sistem keuangan dan aktivitas ekonomi yang lebih baik.
Saat pemilihan Kepala PPATK, kami mendengar kabar ada transaksi mencurigakan di rekening istri Anda sebesar Rp 3 miliar. Apa penjelasan Anda?
Ya, transaksi ini sempat ditanyakan Bu Sri Mulyani. Uang Rp 3 miliar itu adalah uang saya yang ditransfer dari rekening pribadi ke rekening istri saya pada 3 Januari 2013. Isu yang beredar bahwa istri saya menerima uang dalam transaksi tunai dari seseorang yang tak dikenal itu tidak benar. Ada kesalahan pembukuan transaksi oleh bank, seharusnya ditulis pemindahbukuan antar-rekening tapi dicatat sebagai transaksi tunai.
Bagaimana kecurigaan Sri Mulyani saat itu?
Beliau bertanya, "Pak, itu uang apa?" Saya jawab, "Bu, saya ingat itu uang saya sendiri. Tapi saya besok akan minta bank menjelaskan." Kemudian terbit surat keterangan dari bank yang pokoknya menjelaskan adanya kesalahan pembukuan transaksi. (Badar menunjukkan surat tersebut.)
Pemindahbukuan itu untuk apa?
Saya pindahkan karena tak ada duit di rekening istri dan kebetulan di rekening saya ada uangnya. Setelah saya kirim, masih ada uang tersisa di rekening saya dan sebagian uang Rp 3 miliar itu dibelikan emas. Saya seumur-umur baru sekali mentransfer sebanyak itu ke istri. Transaksi itu tak melanggar hukum karena saya memindahkan ke rekening istri. Silakan lihat laporan kekayaan pejabat, di sana tercantum jumlah harta saya. (Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara di situs KPK, harta Badar tercantum Rp 13,5 miliar dan US$ 570 ribu per 30 November 2015.)
Kok, bisa pegawai negeri punya uang sebanyak itu?
Saya menjadi pegawai negeri sejak 40 tahun lalu, bukan kemarin sore. Saya juga pernah menjadi komisaris Perusahaan Gas Negara sekitar tujuh tahun dan komisaris Bank BNI selama tiga tahun. Saya mendapat tantiem (keuntungan perusahaan yang dibagikan ke komisaris) dengan jumlah lumayan. Penghasilan saya justru turun sekarang karena tak boleh merangkap jadi komisaris. Saya alhamdulillah saja mendapat gaji di sini Rp 44,5 juta per bulan.
Kalau sekadar transfer dari Anda ke istri, mengapa transaksi itu dianggap mencurigakan?
Ada orang internal PPATK yang melaporkan. Mereka mendapat pemberitahuan dari bank. Begitu dilacak, muncul nama saya. Makanya bank itu sempat saya marahi. Namun, setelah saya telusuri langsung ke bank, terlihat jelas ada uang keluar dari rekening saya ke rekening istri dalam bentuk transfer, bukan tunai. Saya kontan menolak jadi Kepala PPATK bila istri memang menerima duit bukan dari saya.
Apakah Anda menelisik identitas pelapor setelah menjadi Kepala PPATK?
Pertama, saya panggil deputi. Cuma ingin tahu. Dia mengaku tak tahu. Lalu saya panggil analisnya. Dia menyebut ada tim internal yang punya niat baik menghadap Sekretariat Negara untuk melaporkan transaksi itu. Saya bilang lain kali harus melapor ke atasan. Kebetulan masalah ini kena ke saya dan bisa membuktikan. Bila tak bisa membuktikan, nasib saya bisa lain.
Menurut Anda, laporan ini manuver agar Anda tak terpilih?
Saya sudah tanya ke Pak Muhammad Yusuf (Kepala PPATK sebelumnya). Beliau tak tahu sama sekali laporan tersebut. Saya juga sudah bicara dari hati ke hati dengan beliau bahwa saya tak ada manuver dan cari-cari penugasan. Mungkin analis ini punya niat baik ingin punya pemimpin yang bersih. Tapi saya bisa membuktikan saya bukan koruptor.
Apa terobosan Anda dalam memimpin PPATK?
Kami membuat tiga desk baru: fiskal, narkotika-terorisme, dan teknologi finansial (fintech). Desk ini mewakili pokok pidana asal dari pencucian uang. Kerja sama dengan aparat bea-cukai dan pajak, KPK, Badan Intelijen Negara, Badan Narkotika Nasional, Kepolisian RI, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Kejaksaan Agung juga ditingkatkan. Harapannya bisa memberikan efek gentar bagi pihak yang coba-coba melakukan pencucian uang. Kami juga konsisten mengirim laporan hasil analisis transaksi, baik atas permintaan lembaga penegak hukum maupun inisiatif lembaga ini.
Program apa yang hendak Anda rampungkan dalam waktu dekat?
Kami akan membantu Direktorat Jenderal Pajak dalam konteks menggali potensi pendapatan negara lewat pajak. Mereka membutuhkan data pembanding agar bisa mengetahui potensi pajak. Wajib pajak memang melakukan self-assessment dalam bentuk surat pemberitahuan (SPT), tapi banyak wajib pajak tidak jujur. Sebagai intelijen keuangan, kami bisa menggali kebenaran laporan wajib pajak.
Bagaimana caranya?
Lewat sistem perbankan. Kami berwenang meminta data bank bila merasa ada transaksi keuangan mencurigakan. Misalnya wajib pajak itu melaporkan 10 rekening, tapi menurut analisis kami ada 30 rekening. Padahal rekening yang tak dilaporkan itu menjadi sumber aktivitas transaksi dia.
Dari mana PPATK tahu wajib pajak punya rekening tersembunyi?
Kami punya tim satuan tugas potensi pajak. Kami berikan data gelondongan potensi kekayaan seseorang ke Ditjen Pajak. Selain itu, kami menyusun daftar prioritas orang-orang kaya yang patut diwaspadai.
Bukankah data perpajakan bersifat tertutup?
Kami punya nota kesepahaman dengan Ditjen Pajak. Data itu bisa ditelusuri atas permintaan mereka atau berangkat dari inisiatif kami yang hasilnya diperoleh lewat riset. Tapi akan lebih efektif kalau institusi yang meminta ke kami, karena tak mungkin menelisik orang satu per satu. Kami bukan lembaga super.
Apakah komitmen itu juga berlaku bila mantan sejawat di Kementerian Keuangan tersandung kasus?
Mudah-mudahan saya tak ragu. Saya perlu pembuktian dan bisa disebut PHP (pemberi harapan palsu) jika tak tepat janji. Saya sudah dipensiunkan dari pegawai kementerian sejak menjadi Kepala PPATK. Lagi pula, saya pernah menjadi inspektur jenderal, yang bertugas memperbaiki integritas pegawai di bekas institusi saya.
PPATK juga berfokus pada isu pendanaan terorisme. Bagaimana cara menelusurinya?
Ada kerja sama dengan BNPT, BIN, dan Detasemen Khusus 88 yang punya daftar terduga teroris. Sistem intelijen keuangan yang kami kelola dikawal analis, peneliti, dan biro hukum yang langsung meninjau aspek legal bila menjumpai dana mencurigakan.
Apa saja kriteria transaksi mencurigakan terkait dengan terorisme?
Bank mengacu pada daftar terduga teroris dan organisasi terduga teroris yang dikeluarkan Markas Besar Polri. Mereka memberi perhatian khusus bila ada transfer dari 380 individu atau 77 kelompok terduga teroris. Begitu ada transaksi dari daftar hitam ini, bank langsung melapor ke kami.
Bukankah tak semua dana terorisme lewat sistem perbankan?
Memang yang bikin repot itu kalau uang pendanaan dititipkan pada kawan, misalnya tenaga kerja Indonesia yang pulang kampung. Pendanaan semacam ini yang sulit terlacak sistem PPATK. Namun Polri dan BNPT pasti punya cara untuk menelusuri lewat daftar profil terduga teroris dan ada jaring pengaman lewat regulasi. Ada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2016 tentang pembawaan uang tunai ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia. Regulasi ini mengatur uang tunai yang boleh dibawa masuk dan keluar maksimal Rp 100 juta atau sekitar US$ 10 ribu. Lebih dari itu, aparat bea-cukai berhak menggeledah.
Berapa nominal yang pernah terlacak untuk aksi terorisme?
Macam-macam, tapi mereka tak pernah kirim sampai miliaran. Ada yang Rp 200 juta, ada yang cuma Rp 800 ribu.
Dari negara mana saja sumber pendanaan terorisme itu?
Ada yang dari Australia dan Timur Tengah. Tapi tak bisa ditarik kesimpulan negara itu yang membiayai terorisme di Indonesia.
Teroris kini beralih ke uang virtual. Apa tetap bisa terlacak?
Memang sudah ada terduga teroris yang memakai uang virtual, seperti Bitcoin. Penggunaan uang virtual ini tetap bisa ditelusuri, hanya prosesnya lebih panjang. Terduga teroris mula-mula membeli Bitcoin di layanan penyedia uang virtual, lalu dipakai transaksi. Makin panjang transaksi Bitcoin, makin sulit melacaknya. Namun, di akhir transaksi, penerima Bitcoin pasti akan mencairkan uang virtual ini ke bank. Bila bank menerapkan asas know your customer, pasti akan langsung mengecek dan mencocokkan dengan profil nasabah. Kalau profil dan transaksinya tak cocok, akan langsung dilaporkan sebagai transaksi mencurigakan.
Bagaimana jika bank tidak melapor?
Koordinasi dengan bank ini semakin baik. Tingkat kepatuhan bank besar dan bank milik negara juga relatif tinggi. Kadang bank kecil bukannya sengaja tidak melapor, melainkan berpikir transaksi nasabahnya kecil, kemudian lalai.
Sebagian besar hasil analisis PPATK tak ditindaklanjuti penyidik. Apa tanggapan Anda?
Respons yang diberikan penegak hukum atas laporan PPATK masih belum optimal. Rasio feedback penegak hukum terhadap laporan kami hanya 47,3 persen. Bila dikerucutkan, sejak Januari 2015 sampai September 2016, cuma 9 persen dari 437 laporan PPATK berujung pada vonis pengadilan. Mayoritas status tindak lanjut laporan ialah penyidikan. Sisanya perkara dihentikan, sedang disidangkan, atau masih dalam tahap pemeriksaan.
Apakah mungkin ada mekanisme menekan lembaga lain untuk menindaklanjuti laporan PPATK?
Saya akan menagih ke semua instansi, langkah apa yang telah mereka lakukan dari laporan yang kami berikan. Misalnya menyangkut penyidik polisi, saya akan datang ke Kepala Kepolisian RI. Bila menjumpai hal ekstrem, akan saya bawa masalahnya ke Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, bahkan Presiden. Tapi, prinsipnya, saya ingin menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan kegaduhan.
Belajar dari kasus Labora Sitorus dan Gayus Tambunan, kadang perlu diramaikan agar laporan PPATK ditindaklanjuti.
Nanti kami hitung antara ribut dan hasilnya. Kalau gaduh tapi ada hasil, saya siap, ha-ha-ha….
Mengapa tak mengajukan tambahan wewenang penyidikan sampai penuntutan?
Pak Yunus Husein dan Pak M. Yusuf tak kalah kencangnya pernah mengajukan dan berusaha mengegolkan usul itu, tapi ditolak. Alasannya, penyidik sudah banyak. Kami sami'na wa atho'na (mendengar dan taat) saja. Kami akan mengoptimalkan wewenang lembaga yang sudah diberikan undang-undang.
Setelah pengungkapan jual-beli jabatan yang mencapai Rp 35 triliun, apakah PPATK juga menyoroti transaksi aparatur sipil negara?
Bila kami temukan pejabat tak jujur, lapor ke menterinya lebih dulu. Kalau sifat transaksinya berisiko, akan langsung dibawa ke KPK, polisi, atau kejaksaan. Kami juga sedang memperbaiki daftar PEPs (politically exposed persons). Ini adalah orang-orang yang punya jabatan dan dapat mempengaruhi keputusan yang terkait dengan kepentingan publik. Termasuk, saat ini, kami meneliti transaksi mencurigakan menjelang pemilihan kepala daerah. Berdasarkan data 2015, ditemukan transaksi mencurigakan di 24 provinsi yang melibatkan calon, termasuk inkumben.
Apa yang dilakukan PPATK dengan data itu?
Pada dasarnya setiap data laporan transaksi mencurigakan ditindaklanjuti oleh PPATK dalam proses analisis. Jika ada indikasi TPPU (tindak pidana pencucian uang) ataupun predicated crimes (tindak pidana asal), selanjutnya PPATK menyampaikan hasil analisis kepada penyidik menurut ketentuan Pasal 74 Undang-Undang TPPU.
Apakah sudah berkoordinasi dengan KPU dan KPK?
PPATK telah melakukan riset analisis strategis terkait dengan pendanaan pilkada. PPATK mendapatkan data dari KPU dan Bawaslu nama-nama peserta pilkada untuk kemudian melakukan follow the money berdasarkan database yang kami miliki. Selanjutnya PPATK dan KPU ataupun Bawaslu secara aktif melakukan sosialisasi terkait dengan kerawanan penyimpangan pendanaan pemilu.
Transaksi mencurigakan itu rawan terjadi di daerah mana?
Secara umum semua daerah rawan penyimpangan pendanaan pilkada, khususnya penggunaan uang yang berasal dari aktivitas ilegal untuk kepentingan pembiayaan pilkada. Beberapa catatan khusus diberikan bagi calon petahana.
Bagaimana pengawasan pejabat aparatur sipil negara selama ini?
PEPs-nya sudah ada, tapi perlu penyempurnaan. Sekarang ini sistem PEPs-nya masih manual. Kalau kami baca nama pejabat di koran, baru dicari profil kependudukan dan transaksi perbankannya. Kemudian dicek dengan basis data apakah pejabat ini pernah masuk daftar laporan transaksi keuangan mencurigakan. Kalau sudah jadi, PEPs ini akan diperbarui secara otomatis.
Berapa pejabat yang terekam di PEPs versi PPATK?
Semua pejabat publik di level eselon I dan II. Datanya masih terkait dengan profil pejabat itu saja, belum sampai ke anak-istri. Tapi, apabila nama yang bersangkutan masuk daftar PEPs, kami otomatis bisa menelusuri jalur kekerabatan karena langsung terhubung dengan data kependudukan.
Kiagus Ahmad Badaruddin
Place & Date of Birth: Palembang, 29 Maret 1957
Education: S-1 Ekonomi Manajemen, Universitas Sriwijaya, Palembang (1986), S-2 University of Illinois at Urbana-Champaign, Amerika Serikat (1991)
Career: Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (2016-sekarang) , Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan (2015-2016) , Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan (2012-2015) , Direktur Pelaksanaan Anggaran (2008-2009) , Direktur Sistem Perbendaharaan, Dirjen Perbendaharaan (2006-2008), Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Komisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo