Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketenangan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, terguncang oleh sebuah berita mengejutkan. Konon, di kampus tertua Indonesia itu, gelar doktor dapat "dibeli" dengan uang senilai Rp 600 juta. Dana itu sudah mencakup seluruh kegiatan, mulai dari penyusunan proposal disertasi hingga pelaksanaan ujian terbuka.
Berita inilah yang membikin Rektor UGM, Prof Dr Sofian Effendi, gerah. Maklum, wibawa kampus biru bakal terjun bebas jika terbukti skandal tersebut didalangi institusi yang dipimpinnya. "UGM tak ada kaitannya dengan kegiatan itu," kata bapak empat anak ini.
Untuk membuktikannya, Sofian membentuk tim investigasi yang dipimpin Prof Dr Zaki Baridwan. Tim ini, apa boleh buat, akan memeriksa kolega mereka sendiri, yakni para tokoh senior UGM pemrakarsa program S3 eksekutif yang kini jadi sorotan itu. "Saya jamin tim akan bekerja obyektif dan tak ada perselingkuhan," kata Sofian.
Meski gerah, Sofian tampak tetap rileks ketika ditemui Heru C.N. dan Syaiful Amin dari Tempo, di ruang kerjanya, Kamis pekan lalu. Ia menggulung lengan baju kerjanya dan kerap bersandar santai di sofanya.
Bagaimana cerita terbongkarnya kasus jual-beli gelar doktor ini?
Saya mendapat laporan dari seorang dekan bahwa di Jakarta ada kegiatan pelatihan program S3 antarbidang yang bukan bagian dari kegiatan resmi Universitas Gadjah Mada (UGM). Ternyata ini sebuah program kursus bagi mereka yang ingin menempuh S3 di UGM. Kursus itu membantu calon mahasiswa menyusun usulan penelitian. Kalau sudah punya usulan, lalu melamar ke UGM. Sekali lagi, kegiatan ini di luar pengetahuan UGM. Kami tak memiliki program seperti itu.
Apa program S3 UGM yang resmi?
Program resmi UGM berada dalam sistem yang dikelola Sekolah Pasca-Sarjana. Program ini ada aturannya; mulai dari tata cara melamar, besarnya uang kuliah yang hanya Rp 12 juta per tahun, persyaratan perkuliahan, ujian proposal disertasi, ujian tertutup oleh sembilan penguji, hingga ujian terbuka. Sejak 2002 UGM menjadi universitas penelitian sehingga membuka dua jalur program doktor dan S2, yaitu jalur course work (reguler) dan jalur by research. Ada juga program S3 yang diselenggarakan fakultas.
Kursus S3 di atas menelan biaya Rp 600 juta. Bisakah itu disebut percaloan?
Saya kira bukan percaloan. Ini kan seperti bimbingan tes bagi level SLTA untuk masuk S1. Itu bukan program percaloan selama mereka tidak terlibat proses seleksi masuk S3 UGM. Kalau ada yang ikut menyeleksi, itu namanya perselingkuhan.
Apa langkah UGM mengatasi hal ini?
Saya membentuk tim investigasi. Tim ini diketuai Pak Zaki Baridwan dan terdiri dari 13 orang. Tim bertugas memeriksa penyelenggaraan kursus itu dan proses seleksi penerimaan calon mahasiswa. Dalam waktu dua bulan mereka harus melaporkan temuan kepada rektor dan merekomendasikan tindakan yang harus dilakukan.
Aspek apa saja yang diperiksa?
Ada dua aspek, yaitu akademik dan keuangan. Aspek akademik memeriksa bagaimana proses seleksi terhadap peserta kursus. Apakah seleksi mereka menjamin calon yang diterima betul-betul qualified menempuh program by research? Kemudian, bagaimana proses penunjukan promotor. Apakah mereka juga yang mengurus promotor. Atau memang orang yang ahli dalam topik yang diajukan? Sedangkan penelitian aspek keuangan meneliti aliran dananya. Misalnya, kalau mereka menerima 100x dan yang dimasukkan ke UGM hanya 1x, siapa yang menerima 99x? Mengapa 99x itu diperlukan?
Mereka yang bakal diperiksa adalah kolega sendiri. Bisakah investigasi berlangsung obyektif?
Saya tak meragukan tim. Pak Zaki itu profesional. Dia mau menegakkan kebenaran. Lagi pula tim ini terdiri dari 13 orang. Masa, semuanya akan berselingkuh?
Mereka yang pernah ikut kursus itu sekarang ada yang jadi mahasiswa S3. Muncul penilaian kualitas doktor mereka kelak bakal meragukan. Bagaimana Anda melihat penilaian tersebut?
Selama proses seleksi mereka dulu tidak terjadi perselingkuhan, menurut saya tidak akan jadi masalah. Toh, UGM menjaminnya. Tapi inilah yang akan diselidiki tim investigasi. Kalau ada perselingkuhan, susah bagi UGM mempertahankan kualitas seleksi sesuai dengan standar yang ada selama ini.
Jika terbukti ada perselingkuhan, apa tindakan UGM?
Saya belum bisa mengatakan bentuk sanksinya. Yang pasti, UGM berhak mengevaluasi program itu dan mengambil tindakan.
Kasus seperti ini sudah berlangsung berapa lama?
Kalau dilihat dari jumlahnya, minimal sudah dua tahunan, karena sudah ada dua angkatan.
Kenapa baru sekarang ketahuan?
Ya, bisa dikatakan kami kecolongan karena tidak ada yang melaporkan. Rektor, kan, banyak urusan.
Bisakah disebut penyelenggara kursus itu mencatut nama UGM?
Ya, intinya mencatut nama UGM. Kegiatan kursus itu tidak ada hubungannya dengan UGM.
Sejumlah dosen senior UGM mengakui memfasilitasi calon mahasiswa S3 dalam program ini. Apakah akan ada sanksi kepada mereka?
Kita lihat seberapa jauh keterlibatan mereka, memfasilitasinya itu seperti apa. Saya tak bisa main tuduh begitu saja. Sekarang gampang sekali orang menuntut rektor ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kalau tidak ada dasar yang kuat, saya tak berani. Selama jadi rektor, saya sudah tiga kali digugat ke PTUN.
Kalau hasil investigasi membuktikan ada penggelapan dana, apakah akan dilaporkan ke polisi karena itu sudah masuk wilayah pidana?
Yang berhak melaporkan adalah para peserta. Mereka yang seharusnya merasa ditipu. Karena masuk ke UGM nyatanya hanya Rp 12 juta setahun, sedangkan ini ditarik Rp 600 juta. UGM tak punya dasar untuk menuntut itu, karena yang kami terima tetap Rp 12 juta.
Kalau dari sisi pencemaran nama baik?
Ya, paling-paling itu. Tetapi kita harus membuktikan mereka menggunakan nama UGM untuk kegiatan kursus tersebut.
Tampaknya minat orang menempuh S3 besar sekali. Buktinya, meski biaya kursus plus studinya Rp 600 juta, banyak sekali yang kepincut.
Sebenarnya angka Rp 600 juta untuk lima tahun masih tergolong murah. Itu, kan, berarti Rp 120 juta per tahun. Itu masih murah. Bandingkan dengan pendidikan doktor di Singapura. Di sana satu tahun biayanya 40 ribu dolar Singapura (kira-kira Rp 280 juta) sehingga lima tahun butuh Rp 1,2 miliar. Di Australia lebih mahal lagi. Jadi Rp 600 juta itu sangat murah. Saya kira banyak orang yang mau membayar bahkan di atas itu.
Kasus "Kursus S3" itu juga terjadi di universitas lain?
Pasti ada. Penyelenggaranya kebanyakan universitas luar negeri. Karena globalisasi, mereka buka cabang di sini dan hanya jualan ijazah. Di Jakarta kan banyak.
Ada sinyalemen, UGM mencari dana lewat model seperti ini setelah berubah status menjadi badan hukum sehingga UGM tak disubsidi pemerintah lagi.
Itu tidak benar. Sudah saya katakan kegiatan kursus-kursus bukan bagian dari UGM. Beberapa media salah membuat kesimpulan. Mereka menyebutkan inilah cara UGM mencari uang, padahal tidak begitu.
Bagaimana cara UGM mencari dana?
Banyak cara. Salah satunya kita adakan subsidi silang. Mahasiswa dari keluarga mampu menyubsidi yang tak mampu. Biaya pendidikan untuk mahasiswa S1 kira-kira Rp 18,1 juta per orang per tahun. Pemerintah hanya menyubsidi 50 persennya (sekitar Rp 9 juta). Mahasiswa membayar Rp 3,5 juta lewat SPP dan BOP (biaya operasional pendidikan) yang kita charge. Nah, selisihnya itu yang harus kami cari. Cara lain adalah mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah, swasta, dan kegiatan-kegiatan usaha lain.
Bisakah kita berharap pemerintah kembali menyubsidi penuh perguruan tinggi agar biaya pendidikan terjangkau?
Subsidi untuk SD, SMP, dan SMA masih kewajiban pemerintah. Tak ada argumentasi lain. Tapi untuk pendidikan tinggi, kita tak bisa berharap sepenuhnya. Di Singapura, 90 persen biaya pendidikan ditanggung pemerintah. Itu bisa dilakukan karena jumlah pembayar pajak di sana besar. Di Indonesia, dari 100 juta tenaga kerja, hanya tiga persen yang bayar pajak. Sebaliknya, pengemplang pajak malah banyak. Pengusaha-pengusaha besar banyak yang ngemplang. Dari mana pemerintah punya duit?
Dengan keterbatasan itu, bagaimana perguruan tinggi kita bersaing dengan perguruan tinggi top di luar negeri?
Ini yang susah. National University of Singapore (NUS) masuk 20 besar perguruan tinggi top dunia karena anggarannya memang besar, yakni Rp 6,5 triliun per tahun. Jumlah itu hanya untuk 24 ribu mahasiswa. Bandingkan dengan anggaran UGM yang Rp 600 miliar setahun tapi memiliki 56 ribu mahasiswa. Anggaran UGM itu baru 1/20 anggaran pemerintah Singapura yang dialokasikan ke NUS. Jadi, kalau menuntut perguruan tinggi di Indonesia harus setingkat dengan mereka, itu hanya mimpi. Bukan berarti untuk bisa selevel mereka, anggaran UGM harus dinaikkan 20 kali lipat. Dengan seperempat atau seperlima anggaran NUS, saya jamin UGM sudah sama dengan mereka.
Sofian Effendi, Prof Dr MPIA Lahir: Bangka, 28 Februari 1945 Jabatan: Rektor Universitas Gadjah Mada Pendidikan:
Karier:
Organisasi:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo