Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dunia Hendra Leksana, 57 tahun, kembali terang. Biasanya dia hanya menjumpai wajah-wajah putih tanpa hidung, mata, dan bibir. Tapi kini Hendra bisa melihat lagi detail wajah lawan bicaranya. “Mata saya banyak mengalami kemajuan,” kata penduduk Kudus, Jawa Tengah ini.
Pada akhir April lalu, Hendra rajin menetesi matanya dengan ramuan herbal berbahan biji tanaman keben (Barringtonia asiatica). Sejak itulah penglihatannya yang merosot akibat diabetes dan katarak berangsur pulih.
Merasa menuai manfaat, Hendra mengajak sang istri, Ruth Liliana, 51 tahun, ikut menggunakan tetes mata keben. Kini mata Ruth membaik, dari plus dua menjadi plus setengah.
Tetes mata herba seperti yang dipakai Hendra dan Ruth memang sedang marak. Beraneka rupa bahannya, ada keben, ada juga daun sejenis semak yang disebut kitolod (Isotoma longiflora). Klaim khasiatnya segunung, mulai dari mengatasi katarak, glaukoma, menyeimbangkan plus-minus mata, bahkan sampai mengembalikan retina yang lepas.
Adalah Heinrich Melcher, 56 tahun, pria kelahiran Jerman, yang mengembangkan khasiat keben sejak tahun 2002. Melcher, yang tinggal di Papua sejak 20 tahun silam, memang praktisi pengembang tanaman berkhasiat obat.
Kini, menurut penuturan Melcher, produknya telah digunakan sampai ke Cina, Rusia, dan Jerman. Saban hari ia melayani permintaan sampai seribu botol tetes mata keben. “Lebih dari 60 ribu penderita gangguan mata telah terbantu,” katanya.
Pengalaman Iskandar Ali juga serupa. Ribuan pasien gangguan mata telah ditangani akupunkturis yang tinggal di Permata Ancol, Jakarta ini. Empat tahun lalu, Iskandar mengembangkan tetes mata berbahan daun kitolod yang memang telah lama dikenal sebagai obat mata tradisional. Demi mendapat hasil maksimal, Iskandar menggabungkan khasiat kitolod dengan tusuk jarum. “Setiap hari ada 40 pasien yang berobat di klinik saya,” kata Iskandar.
Cara kerja keben dan kitolod belum gamblang betul. Kitolod diketahui mengandung poliferol, alkaloid, dan saponin. Namun, bagaimana persisnya berbagai senyawa tersebut beraksi belum bisa diketahui. Penelitian sedang berlangsung, demikian dijelaskan Iskandar dan Heinrich.
Saponinada dalam keben dan kitolodagaknya memegang peran yang penting. Menurut Ahkam Subroto, peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor, senyawa aktif saponin inilah yang bekerja seperti deterjen, mencuci sampah pada mata.
Senyawa saponin, Ahkam menjelaskan, memiliki efek meningkatkan aktivitas proteasome. Ini adalah proses pemecahan berbagai jenis protein menjadi rantai asam amino pendek. Dalam beberapa kondisi, misalnya katarak, mata dilapisi oleh protein yang justru menjadi “sampah” dan menghalangi penglihatan. Senyawa saponin, dalam hal ini, bertugas memecah lapisan protein sampah hingga akhirnya terlepas dari mata.
Namun Ahkam menegaskan bahwa khasiat saponin dalam keben masih berstatus hipotesis. “Kita harus membuktikan benar atau tidaknya hipotesis ini,” katanya.
Riset yang memadai masih ditunggu, termasuk uji klinis keben dan kitolod. Selama belum ada riset, apa boleh buat, keben dan kitolod belum berhak menyandang persetujuan Departemen Kesehatan. Maklum, mata adalah organ yang sensitif dan risiko pengobatan pada mata terlalu besar.
Tjahjono, dokter spesialis mata Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, menegaskan perlunya riset jika keben dan kitolod ingin diakui sebagai obat tetes mata. Bagian organ yang jadi target harus spesifik, cara kerja obat pun mesti jelas. “Sebagai contoh,” kata Tjiptono, “syarat dan spesifikasi tetes mata yang ditujukan pada selaput lendir berbeda dengan tetes mata yang ditujukan pada bola mata.”
Husniah Rubiana, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, menegaskan lembaganya tak segan bertindak tegas terhadap produk tetes mata yang tidak dilengkapi riset. Penyitaan, bahkan pemusnahan tetes mata herbal, bukan mustahil dilakukan. “Agar tak muncul risiko di belakang hari,” kata Husniah.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo