Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Mereka Tak Mau Mendengar Suara Saya

Ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, menyoroti penelitian tim Universitas Airlangga dengan Badan Intelijen Negara dan TNI Angkatan Darat yang mengklaim telah menemukan kombinasi obat yang berpotensi menjadi obat Covid-19 pertama di dunia. Menurut Pandu, proses dan laporan uji klinis obat racikan itu tidak transparan dan melewati prosedur yang tidak lazim. Ia juga menilai sederet kebijakan pemerintah Presiden Joko Widodo belum efektif mengatasi pagebluk. Apalagi Indonesia masih belum melewati gelombang pertama pandemi. Pandu kerap mendapat teror karena bersuara lantang.

22 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Epidemiolog Pandu Riono di rumahnya, Kamis (20 Agustus 2020). Ratnawisesa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pandu Riono mengkritik proses dan laporan uji klinis kombinasi obat tim peneliti Universitas Airlangga yang bekerja sama dengan BIN dan TNI Angkatan Darat.

  • Menurut Pandu, kurva pandemi Covid-19 akan terus menanjak selama rasio tes-lacak-isolasi dan perilaku 3M masyarakat masih rendah.

  • Meski mendapat teror berupa peretasan dan doxing, Pandu Riono menyatakan akan terus mengkritik kerja pemerintah dalam menangani wabah Covid-19.

PANDU Riono menjadi target serangan di dunia maya karena lantang mengkritik pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Akun Twitter milik ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) itu sempat diretas pada Rabu, 19 Agustus lalu. Pandu menganggap serangan itu sebagai distraksi isu, dari penanganan pandemi yang belum berhasil dialihkan ke dia yang dianggap menyuarakan koreksi. “Selalu ada peringatan agar musuh kita ialah Covid-19, bukan pemerintah atau yang lain,” kata Pandu, 64 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video, Rabu, 19 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pandu termasuk segelintir ilmuwan yang kritis terhadap kebijakan penanganan wabah. Yang terbaru, ia mengkritik tim peneliti Universitas Airlangga, Surabaya, yang bekerja sama dengan Badan Intelijen Negara dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat dalam meracik obat Covid-19. Unair mengklaim kombinasi obat antara lopinavir-ritonavir, azithromycin, dan hidroklorokuin itu berpotensi menjadi obat Covid-19 pertama. Sementara itu, menurut Pandu, proses dan laporan uji klinis obat racikan tersebut tidak transparan dan ditengarai tak sesuai dengan standar internasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan kali ini saja Pandu menyoroti berbagai kejanggalan kebijakan penanganan Covid-19. Ia antara lain getol menyerukan penghentian rapid test, mendesak diperkuatnya pengetesan dan pelacakan, serta menyebut kerja Satuan Tugas Penanganan Covid-19 tidak optimal. “Sebenarnya tidak perlu dibentuk satuan tugas karena sudah ada Kementerian Kesehatan,” ujarnya. Sejak awal pandemi, Pandu berpendapat komando penanganan Covid-19 semestinya langsung di bawah kendali Presiden Joko Widodo.

Pandu menerima wartawan Tempo, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, Nur Alfiyah, Dody Hidayat, dan Abdul Manan. Mantan anggota Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung yang kerap menyebut dirinya juru wabah itu menceritakan pentingnya prosedur dalam uji klinis obat, jurus ampuh menangkal pandemi, hingga sikap kritisnya terhadap pemerintah. Wawancara dilengkapi dengan perbincangan lewat WhatsApp, Kamis, 20 Agustus lalu.

Anda pernah mengatakan akan menggugat obat Covid-19 hasil penelitian Unair jika sampai lolos uji dan terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan. Apa pertimbangannya?

Saya pernah ditanyai jurnalis dan waktu itu saya baru mendengar tim peneliti Unair melaporkan risetnya kepada Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Saya bilang kenapa dilaporkan ke TNI. Apalagi Kepala Staf TNI AD yang membawa ini ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan mengajukan izin edar supaya cepat. Ini menurut saya aneh. Kasihan BPOM kalau permintaannya itu izin edar. Seakan-akan sudah disetujui.

Apa yang Anda tidak setujui dari penelitian obat Unair?

Sebenarnya saya tidak setuju prosesnya. Saya belum tahu juga bagaimana hasilnya. Dari yang saya baca, itu berdasarkan power point yang disampaikan ke TNI. Kita bisa unduh di situsnya TNI. Saya pelajari dan kaidah-kaidah pelaporan uji klinisnya belum memenuhi syarat. Mungkin ada prosedur yang tidak dipenuhi. Ini membuat kita jadi ragu-ragu. Apalagi saya tidak menemukan protokolnya.

Semestinya protokolnya seperti apa?

Biasanya kalau diregistrasi secara internasional ada protokolnya, bagaimana proses uji klinisnya. Dalam riset-riset uji klinis ada clinical trial registry baik di WHO (Badan Kesehatan Dunia) maupun Amerika Serikat. Penelitian vaksin atau konvalesen, misalnya. Banyak penelitian di Indonesia yang uji klinisnya didaftarkan di sana sehingga ada keterbukaan. Tapi saya cari (riset Unair) enggak ada. Pasti ada prosedur yang tidak biasa. Saya mempertanyakan prosedur risetnya sejak awal saat mereka menemukan campuran obat itu tapi penelitiannya tingkat sel. Kemudian langsung lompat ke manusia. Memang obatnya semua sudah ada. Ini drug repurposing (alih guna obat).

Jadi bukan sesuatu yang baru?

Beberapa uji klinis di dunia, termasuk Indonesia terlibat, yang disebut sebagai Solidarity Clinical Trial, itu obatnya sebagian sudah ada, seperti hidroklorokuin, remdesivir, dan beberapa obat HIV yang diujicobakan untuk pengobatan Covid-19 pada manusia.

Apakah obat buatan Unair bisa disebut obat racikan?

Bukan obat racikan, tapi kombinasi. Racikan itu istilah dari teman-teman Unair sewaktu mereka mencampurkan beberapa obat menjadi satu. Kalau di Indonesia istilahnya membuat puyer. Beberapa komponen obat digerus atau dicampur, dimasukkan ke kapsul. Kelihatannya metodenya seperti itu. Jadi mereka menyebutnya sebagai racikan.

Bagaimana seharusnya prosedur uji klinis yang sesuai dengan standar internasional?

Kalau saya bilang jahe bisa menyembuhkan Covid-19, saya harus membuktikan dalam prosedur ilmiah. Saya harus melakukan clinical trial yang benar. Tanpa itu, klaim saya tidak bisa dipercaya. Setiap klaim harus berdasarkan metode riset. Metode riset yang menyebabkan hubungan sebab-akibat yang paling baik itu adalah randomized clinical trial double-blinded. Jadi membandingkan beberapa obat, diacak siapa yang mendapat obat dan plasebo. Seperti uji klinis vaksin, ada yang mendapat vaksin Covid-19, ada yang mendapat plasebo. Enggak ada yang tahu atau double-blinded, baik subyek penelitian maupun penelitinya.

Apakah ada pendekatan lain yang mungkin lebih ringkas?

Randomized clinical trial double-blinded menjadi standar emas untuk mengatakan bahwa obat X secara rata-rata dapat menyembuhkan penyakit tertentu. Meskipun ini masa darurat, prosedur itu tidak boleh ditinggalkan. Ada contoh di mana-mana, baik vaksin maupun obat menggunakan prosedur yang sama. Fase ketiga itu salah satu prosedur yang harus dilakukan dengan randomized clinical trial double-blinded. Enggak mungkin kita lihat di fase kedua ada peningkatan imunitas tubuh, lalu dikasih ke semua orang. Kita ingin melihat, pertama, apakah ada efeknya. Kemudian apakah cukup aman sebelum dipakai dalam masyarakat lebih luas.

Apa saja kejanggalan yang Anda temukan pada penelitian tim Unair-BIN-TNI Angkatan Darat?

Yang saya curigai itu ketika ada 1.000 orang kasus terinfeksi di Secapa TNI AD (Sekolah Calon Perwira TNI Angkatan Darat, Bandung). Tadinya hanya dilakukan penelitian di rumah-rumah sakit. Begitu ada peluang, mereka mengubah protokol. Padahal sebenarnya harus dikonsultasikan dengan komite etik riset universitas atau Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan karena mengubah dari protokol awal. Biasanya kalau riset nasional itu meminta review dari Badan Litbangkes.

Mengapa harus ditinjau?

Untuk memproteksi para peneliti juga bahwa mereka melakukan penelitian sesuai dengan standar, tidak membawa efek buruk pada manusia. Jadi nanti tidak dianggap melanggar hak asasi manusia karena ini perlakuan terhadap manusia. Perlakuan juga bisa merugikan atau sampai membuat orang meninggal. Ini sangat penting.

Apakah pemilihan siswa Secapa sebagai subyek penelitian kurang tepat?

Yang menjadi pertanyaan adalah sebagian dari siswa Secapa itu orang tanpa gejala. Mereka sebenarnya tidak butuh obat. Jelas saja banyak yang sembuh, he-he-he....

Sampelnya kurang kredibel?

Tidak sesuai dengan kriteria awal. Awalnya obat diberikan kepada orang yang menderita gejala ringan, sedang, berat. Padahal yang dinantikan banyak dokter dan tenaga kesehatan adalah apakah kita punya obat untuk pasien dengan kondisi berat. Ada teman saya bilang kita butuh obat untuk orang yang sudah masuk ruang perawatan intensif (ICU) dan memakai ventilator supaya bisa melepas ventilator dan keluar dari ICU dalam keadaan hidup. Itu yang sebenarnya dibutuhkan.

Bagaimana dengan prosedur risetnya?

Dari laporannya sudah tidak memenuhi syarat pelaporan uji klinis standar. Laporan itu kan merepresentasikan ide, proses, hal-hal lain selama mereka melakukan riset. Ini yang paling penting. Dengan demikian kita bisa melihat kelemahannya.

Sejak pemerintah menerapkan fase transisi pembatasan sosial, penambahan kasus Covid-19 terus meningkat dan bahkan belum melewati gelombang pertama pandemi. Kebijakan apa yang seharusnya diambil pemerintah?

Kita tentu tidak ingin ada lonjakan (jumlah) kasus lagi, tapi bagaimana caranya agar angka reproduksi Covid-19 yang tadinya 3 sampai 4 menjadi 1. Waktu itu kami membuat model matematika. Ternyata penekan yang memiliki efek sama dengan orang tinggal di rumah dan penularannya terkendali itu ada dua komponen. Pertama, perilaku penduduk yang taat menerapkan protokol kesehatan. Kedua, surveilans aktif. Dalam surveilans aktif, ada tiga komponen, yaitu testing, pelacakan kasus, dan isolasi terhadap orang-orang yang positif. Dengan begitu, kita berusaha memutus rantai penularan orang yang membawa virus.

Epidemiolog Pandu Riono saat hadir dalam forum yang membahas jaminan kesehatan universal Prince Mahidol Award Conference (PMAC 2020)|Universal Health Coverage (UHC FORUM 2020) di Bangkok, Thailand, Februari 2020. Dokumentasi Pribadi

Bagaimana mencegahnya?

Dengan 3M, yaitu memakai masker yang benar, menjaga jarak saat berbicara atau beraktivitas, dan mencuci tangan. Misalnya, 80 persen penduduk patuh terhadap 3M dan surveilans bagus, itu akan bisa menekan penularan. Sementara itu, aktivitas sosial-ekonomi tetap bisa berjalan.

Bukankah pelacakan yang berjalan selama ini masih terbatas?

Seharusnya rasio tes-lacak-isolasi sampai di atas 30 orang per kasus positif. Kita mau mengidentifikasi orang-orang yang membawa virus dan melakukan isolasi. Jakarta saja masih di angka 5-10. Angkanya kecil. Ini butuh pelatihan khusus dan tenaga khusus yang dibayar cukup mahal. Namanya contact tracer.

Berapa tenaga pelacak yang dibutuhkan agar surveilans berjalan optimal?

Tergantung jumlah kasus yang ditemukan. Satu kasus bisa dua hari ditanyai terus oleh satu orang. Kalau ada 5.000 kasus di Jakarta yang positif, misalnya, minimal harus ada 5.000 petugas pelacakan. Satu orang pelacak bisa saja menangani 2-5 orang yang positif Covid-19.

Apakah dari pemodelan tim FKM UI bisa diketahui kapan puncak pandemi di Indonesia terjadi?

Ketemu. Telah kami presentasikan ke Kantor Staf Presiden. Tim FKM UI sampai berdiskusi dan berdebat untuk menjawab kapan gelombang kedua dan bagaimana mencegahnya. Ternyata kami menemukan cara bagaimana aktivitas dilonggarkan tapi juga mengendalikan penularan, sehingga bisa jalan semua. Kami tidak mau dianggap hanya punya solusi yang mematikan ekonomi. Kalau surveilans belum baik, rasio tes-lacak-isolasi rendah, perilaku 3M penduduk juga rendah, kurvanya masih akan terus naik.

Selain mempresentasikan ke Kantor Staf Presiden, Anda dan tim FKM UI memberikan masukan ke lembaga apa saja?

Kami sering membantu Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), terutama pada awal pandemi. Kami juga membantu beberapa kepala daerah, seperti Pak Anies Baswedan dan Pak Ridwan Kamil. Dengan Pemerintah Kota Tangerang dan Bali, misalnya, kami akan mengukur antibodi di masyarakat. Itu namanya sero survey, untuk mengukur tingkat penularan di komunitas. Itu memakai tes antibodi. Kita manfaatkan rapid test yang ada.

Bukankah Anda menyerukan agar rapid test tidak lagi digunakan?

Iya, kecuali untuk mengukur antibodi di masyarakat (sero survey). Misalnya di New York, setelah pandemi mereda, masyarakatnya disurvei memakai rapid test antibodi. Kan, sebagian sakit dan sebagian enggak sakit. Dari situ diperoleh sampel berapa banyak penduduk yang sudah punya antibodi terhadap Covid-19.

Apa manfaat sero survey?

Kalau datanya bagus, bisa untuk mengambil kebijakan. Untuk mengukur berapa tingkat penularan di komunitas. Sudah berapa persen penduduk di wilayah tertentu yang sudah terinfeksi Covid-19.

Mengapa Anda tidak menyarankan penggunaan rapid test untuk penanganan pandemi?

Rapid test sebaiknya tidak dilakukan karena itu akan membuat kita menjadi lengah dalam menghadapi pandemi. Tes cepat antibodi yang akurat hanya bisa mendeteksi orang dengan antibodi. Hasil non-reaktif atau negatif belum tentu orangnya tidak terinfeksi. Dia belum ada antibodi. Pada awal pandemi, orang yang membawa virus, sudah terinfeksi tapi tanpa gejala, non-reaktif saat dites cepat. Tapi, kalau dites di tempat lain minggu depannya, dia positif karena antibodi terbentuk 7-10 hari setelah orang itu terinfeksi. Untuk mengetahui yang membawa virus, harus pakai tes swab.

Apakah Anda pernah diminta masukan oleh Komite Penanganan Covid-19?

Enggak mungkinlah mereka minta ke kami. Karena suara yang saya sampaikan sering kali terlalu tidak ingin mereka dengar. Mereka ingin mendengar apa yang mereka ingin dengar.

Mengapa Anda menilai Presiden perlu turun langsung memimpin penanganan pandemi?

Ini harus dipimpin langsung presiden dan dibantu kementerian-kementerian. Tidak perlu dibentuk satuan tugas. Adanya satgas membuat Kementerian Kesehatan diabaikan. Saya mendorong Kementerian Kesehatan harus dilibatkan, terlepas siapa menterinya. Saya percaya kementerian itu sistem. Banyak orang ahli di dalamnya. Sulianti Saroso dulu pernah jadi direktur jenderal (Pencegahan, Pemberantasan, dan Pembasmian Penyakit Menular) yang berhasil mengendalikan pandemi cacar. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit yang sekarang dipimpin Pak Achmad Yurianto itu orang-orang di bawahnya sudah siap menghadapi penanggulangan penyakit.

Bukankah Kementerian Kesehatan sudah tergabung dalam satuan tugas?

Satgas atau gugus tugas itu adalah badan yang menangani bencana. Bencana pada umumnya sudah selesai. Sekarang ini bencananya berjalan terus. Mereka enggak ngerti caranya walaupun ada tim pakar.

Anda selama ini dikenal kritis terhadap pemerintah. Apakah Anda pernah dikomplain fakultas karena terlalu keras mengkritik pemerintah?

Ada beberapa teman yang meminta kepada dekan supaya saya tidak mengatasnamakan FKM UI. Kalau diwawancarai selalu bilang saya atas nama pribadi karena akan bisa menjatuhkan. Serangan itu dari mana-mana. Apalagi kalau pendapatnya sudah sampai meminta kepada Pak Jokowi, misalnya, untuk memimpin langsung penanganan Covid-19. Itu kan saya ucapkan sejak Maret saat pemerintah membentuk gugus tugas. Saya memprotes pembentukan gugus tugas karena tidak akan bisa berjalan optimal. Mungkin akan banyak ancaman dan menjatuhkan karakter saya. Saya kan juga orang yang tidak sempurna.

Apakah Anda sampai mendapat teror?

Teror halus sudah lama dan mulai meningkat, termasuk penyebaran foto yang memburukkan perilaku saya. Tapi selalu saya abaikan. Semoga selamat.

Anda sempat menjadi korban peretasan dan doxing dengan disebarkannya foto Anda bersama seorang perempuan.

Saya kena hacked atau diperingatkan itu wajar. Tapi saya tetap menyuarakan apa yang sebaiknya dilakukan negara dalam merespons pandemi dengan strategis dan berdampak pada penekanan penularan atau tahapan agar pandemi terkendali. Indonesia harus aman dulu sebagai prasyarat agar pemulihan kehidupan sosial-ekonomi bangsa cepat tercapai.

Mengapa foto itu menjadi senjata untuk menyerang Anda?

Serangan itu sebagai distraksi isu, dari penanganan pandemi yang belum berhasil ke saya yang dianggap menyuarakan koreksi. Selalu ada peringatan agar musuh kita ialah Covid-19, bukan pemerintah atau yang lain.



PANDU RIONO
| Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 22 April 1956 | Pendidikan: S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta (1982); S-2 Biostatistik dari University of Pittsburgh, Amerika Serikat (1989); S-3 Epidemiologi dari University of California, Amerika Serikat (2001) | Karier: Dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (sejak 1985); Spesialis Pengawasan dan Advokasi, FHI-Jakarta (2002-2009); Konsultan Bank Dunia, Jakarta (2007); Konsultan untuk Pusat Data HIV-AIDS Asia-Pasifik, UNICEF Bangkok (2008); Konsultan Estimasi Populasi Rentan untuk Infeksi HIV di Kementerian Kesehatan (2009); Peneliti Tamu di Pusat Nasional Riset Klinis dan Epidemiologi HIV, University of New South Wales, Sydney (2010); Konsultan Senior Program Tuberkulosis Nasional, Kementerian Kesehatan (2012-2018) | Organisasi: Anggota Ikatan Dokter Indonesia (sejak 1982), Anggota Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (sejak 1989), Anggota Perhimpunan Statistik Indonesia (sejak 1992), Anggota Asosiasi Epidemiologi Internasional (sejak 1993), Ketua Bidang Penyakit Menular IDI (2003-2009)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus