Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ada Kekosongan Figur Pemimpin Islam

MESKI tak lagi menjabat wakil presiden, Muhammad Jusuf Kalla tetap sibuk dengan berbagai kegiatan. Ia belum lama ini melawat ke Vatikan untuk bertemu dengan pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus. Sebagai Ketua Umum Palang Merah Indonesia dan Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Kalla juga sering berkeliling Indonesia untuk mengunjungi markas dan pengurus wilayah kedua organisasi itu. Walaupun agendanya padat, Kalla tak melepaskan perhatiannya dari perkembangan peristiwa terhangat di Tanah Air. Kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam, Muhammad Rizieq Syihab, menjadi salah satu isu yang menyedot atensinya. Selain menyoroti kerumunan massa pendukung yang menyulut reaksi pro-kontra di tengah pandemi, Kalla menilai kembalinya Rizieq yang disambut gegap-gempita menggambarkan adanya kekosongan kepemimpinan Islam saat ini. Rizieq, kata dia, tidak hanya membuat pemerintah gamang bersikap. Kalla juga mengkritik partai-partai politik dan organisasi massa berhaluan Islam moderat yang gagal melahirkan figur pemimpin alternatif.

21 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla saat ditemui di Kediamannya di Jakarta, Rabu, 18 November 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jusuf Kalla mengatakan kepulangan Rizieq Syihab yang disambut riuh ribuan pendukungnya menggambarkan adanya kekosongan kepemimpinan Islam.

  • JK menilai partai-partai berhaluan Islam terjebak dalam pragmatisme politik sehingga tidak melahirkan figur pemimpin baru yang diinginkan umat.

  • JK menyarankan pemerintah menggelar dialog dengan perwakilan seluruh daerah di Papua.

PURNATUGAS sebagai wakil presiden tak membuat kesibukan Muhammad Jusuf Kalla berkurang. Menjabat Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) dan Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), ia menghadiri banyak kegiatan di dalam dan luar negeri. Ia bersama anggota Dewan Juri Zayed Award for Human Fraternity melawat ke Vatikan untuk menemui Paus Fransiskus pada 23 Oktober lalu. Ia juga berkunjung ke Arab Saudi untuk membahas kelanjutan pembangunan Museum Internasional Sejarah Rasulullah SAW di Ancol, Jakarta Utara. “Saya sekalian umrah dengan sangat terbatas,” kata Kalla, 78 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo di kediamannya di Jakarta Selatan, Rabu, 18 November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalla hanya rehat beberapa hari setelah tiba di Tanah Air sebelum kemudian terbang ke Manokwari, Papua Barat; dan Jayapura, Papua, pada 13-14 November lalu. Di kedua kota itu, ia mengunjungi markas PMI dan melantik pimpinan wilayah DMI. Kalla juga bertemu dengan para tokoh agama untuk membicarakan cara memajukan Papua dan menyelesaikan konflik. Politikus kawakan yang menjadi wakil presiden di era Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) dan Joko Widodo (2014-2019) itu mengatakan masalah Papua dapat diselesaikan lewat jalan dialog. Dengan pengalaman mendamaikan Aceh, Kalla yakin konflik di Papua bisa diakhiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski tidak lagi aktif tampil di panggung politik, Kalla tetap mengikuti sederet peristiwa hangat yang sedang diperbincangkan publik. Ia, misalnya, menanggapi kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam, Muhammad Rizieq Syihab, dari Arab Saudi. Menurut dia, kembalinya Rizieq yang disambut ingar-bingar ribuan pendukungnya di tengah pandemi patut mendapat perhatian. Ia mengatakan Rizieq telah mengisi kekosongan pemimpin Islam akibat absennya figur yang menyuarakan amar ma’ruf nahi munkar. “Di situ Habib Rizieq masuk dengan jumlah pengikut yang luar biasa besar,” ujarnya.

Kepada wartawan Tempo, Anton Septian, Mahardika Satria Hadi, Raymundus Rikang, Khairul Anam, dan Aisha Shaidra, Kalla, yang didampingi juru bicaranya, Husain Abdullah, menjelaskan pertemuannya dengan Paus Fransiskus, tanggapannya atas kepulangan Rizieq Syihab, juga persoalan Papua. Kalla pun mengemukakan alasan pemerintah memilih Patimban di Subang, Jawa Barat, sebagai lokasi pembangunan pelabuhan terbesar setelah Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Bagaimana Anda melihat dinamika yang terjadi setelah Rizieq Syihab kembali ke Indonesia?

Ada kekosongan kepemimpinan di umat Islam apabila berbicara tentang ideologi atau amar ma’ruf nahi munkar. Partai-partai Islam yang wasathiyah, moderat, diharapkan mengusung itu, tapi semuanya pragmatis saja. Nahdlatul Ulama tentu sangat sibuk dengan dakwah dan upaya sosial. Begitu pun Muhammadiyah. Tapi upaya mengisi kepemimpinan boleh dibilang berkurang. Di situ Habib Rizieq masuk. Jumlah pengikutnya menjadi luar biasa. Kita sendiri juga terkejut kenapa ini tiba-tiba terjadi. Kita tentunya harus mengkonsolidasi organisasi-organisasi lain supaya bisa ada (figur) alternatif.

Dulu peran itu ada di tangan Anda, yang bisa merangkul kelompok keagamaan tapi juga cair secara politik. Apakah kekosongan yang Anda maksud seperti itu?

FPI kan sudah lama ada. Tiba-tiba puncaknya sekarang ini, kalau kita lihat dari segi massa. Kita tidak mengatakan massa telah berubah. Ini perlu ada satu pemikiran baru. Kita jangan hanya asyik berdakwah, tapi juga menyuarakan amar ma’ruf nahi munkar. Ini karena kita asyik berpolitik, akhirnya ada kekosongan yang diisi oleh Habib Rizieq.

Siapa yang patut disalahkan atas keadaan ini?

Tidak ada yang salah. Saya tidak mengatakan salah. Tapi organisasi-organisasi Islam perlu juga tetap bergerak dalam bidang amar ma’ruf nahi munkar.

Anda menganggap kepulangan Rizieq yang disambut ribuan orang itu fenomena mengkhawatirkan?

Selama dia bergerak dalam damai, saya kira kita tidak perlu khawatir. Hanya, salahnya karena itu terjadi saat pandemi. Dulu aksi 411 dan 212 (Aksi Bela Islam II dan III) tidak ada yang salah. Itu kan massa yang sama. Jauh lebih besar massa aksi 212 dibanding kemarin. Tapi, masalahnya, yang dilanggar adalah protokol kesehatan dan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, pembatasan sosial berskala besar, sehingga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sampai dipanggil (Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya) untuk dimintai klarifikasi.

Anda dikenal cukup dekat dengan Anies Baswedan. Anda sempat menjalin komunikasi dengan Anies tentang peristiwa itu?

Saya bicara tapi cuma bilang, “Apa yang Anda bikin?”, karena di situ dikatakan ada pengantin. Dia tidak hadir dalam pernikahannya (putri Rizieq). Sebagai orang yang mendukungnya pada waktu pemilihan gubernur, pantas saja dia (Anies) untuk itu (menemui Rizieq). Salahnya kan karena banyak orang, ada kerumunan.

Ketika berkomunikasi dengan Anda, apakah Anies mengatakan ada motif politik di balik pemanggilannya oleh Polda Metro Jaya?

Sebagaimana disampaikan Anies, dia ditanyai tentang aturan apa saja yang dibuat oleh pemerintah daerah dan dilanggar. Bukan berarti dia dianggap bersalah. Sebenarnya bukan hanya aturan pemda, tapi juga Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Menjadi dilematis.

Dilematis seperti apa?

Mereka (massa pendukung Rizieq) berkumpul, tapi tidak berbuat kekerasan. Mereka tidak merusak, membakar, berbuat kriminal, dan rusuh. Hanya satu yang dilanggar, yaitu mereka berkerumun. Konteksnya pelanggaran PSBB.

Apakah pemerintah sejak awal kurang tegas dalam merespons kedatangan Rizieq?

Dia kan warga negara, ulama yang dihormati. Karena semua perkaranya di-SP3 (diberi surat perintah penghentian perkara), berarti dia orang bebas. Jadi tidak ada cara untuk mengatakan “you tidak bisa begini atau begitu” karena dia sudah bebas. Bahwa orang datang begitu banyak, saya kira Habib Rizieq juga tidak menyangka itu.

Bila berpatokan pada protokol kesehatan, bukankah acara yang melibatkan massa pendukung Rizieq semestinya bisa dilarang?

Dalam keadaan biasa saja susah dilarang, apalagi seperti ini. Karena itulah saya kira ada kekosongan kepemimpinan. Sudah seperti pulangnya Ali Khomeini (pemimpin revolusi Islam di Iran) saja. Dielu-elukan. Tapi saya kira semua ini hanya euforia sesaat. Mereka yang datang itu selfie untuk diberitahukan ke orang-orang di kampungnya, “Eh, saya ikut datang menjemput.” Ada kebanggaan. Lihat saja video-videonya.

Apa konsekuensi terburuk jika pemerintah bertindak terlalu keras kepada Rizieq?

Kalau bertindak keras bisa menimbulkan korban. Dengan massa sebanyak kemarin, tidak mempan (dibubarkan) dengan semburan air. Kalau saling dorong dengan polisi bisa kalah, walaupun sebanyak apa pun. Apalagi kalau ada yang kena tembak atau terinjak-injak. Dalam pikiran mereka, kalau ada apa-apa akan syahid. Jadi memang harus ada pendekatan yang baik. Saya kira euforia massal ini ada karena kerinduan pendukungnya yang tidak bertemu selama tiga setengah tahun.

Anda sempat bertemu dengan Rizieq sewaktu di Arab Saudi?

Ndak,lah. Waktu saya cuma sehari di Saudi. Semalam di Riyadh, semalam di Mekah, lalu ke Madinah. Di sana kira-kira enam jam, lalu pulang.

Setelah dia kembali dari Arab Saudi tidak ada komunikasi dengan Anda?

Tidak ada sama sekali.

Sebagian pihak menganggap Rizieq menjadi tokoh besar karena perlakuan pemerintah terhadapnya pada periode pertama pemerintah Presiden Joko Widodo. Saat itu Anda menjabat wakil presiden. Tanggapan Anda?

Yang membesarkan namanya kan kasus Ahok (kasus penistaan agama yang menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama). Timbul sentimen masyarakat yang bersatu dan memunculkan aksi 411 dan 212. Sentimen masyarakat yang membawa dia besar. Sewaktu aksi 411, Presiden tidak ada di Istana. Cuma saya yang jaga Istana. Di situlah kami putuskan. Saya tanya Kepala Polri, “Ini masalah Ahok berapa lama Anda selesaikan?” Kapolri bilang dua minggu. Oke, setujulah dua minggu. Coba tidak ada kasus itu, ndak ada aksi 411 dan 212. Lalu secara politik kesulitannya justru tetap banyak yang mendukung Ahok. Perbedaan menjadi makin keras.

Menurut Anda, apakah Rizieq bisa bergeser menjadi figur yang dapat dipilih secara elektoral dalam pemilihan umum?

Kalau dia mau masuk partai politik, iya. Tapi sebenarnya kita bisa bersikap tegas. Saya pernah suruh tangkap Habib Rizieq.

Kapan kejadiannya?

Waktu periode pertama (Susilo Bambang Yudhoyono). Saya minta Kapolri (Jenderal Sutanto) tangkap itu. Kesalahannya memerintahkan pemukulan terhadap orang yang tidak bersalah di Monas (insiden 1 Juni 2008). Dia sembilan bulan masuk penjara. Setelah dia keluar dari penjara, langsung datang ke saya. Lima orang datang ke saya. Dia bilang, “Dulu Bapak suruh polisi tangkap saya?” Saya jawab, “Iya, kenapa? Karena Habib yang salah.” Jadi tidak berarti dia kebal hukum.

Mengapa saat itu polisi tidak langsung bertindak?

Polisi sempat ragu-ragu. Saya bilang, “Saya yang perintahkan.” Artinya, saya yang tanggung jawab. Waktu itu tidak ada Pak SBY. Kalau ada, bisa jadi surat kuasa, kan, he-he-he….

Bagaimana Anda menggambarkan hubungan Anda dengan Rizieq?

Sewaktu Pemilu 2009, saya mau maju sebagai presiden karena Pak SBY tidak lagi ingin dengan saya. Dia (Rizieq) datang, “Pak JK, kami dukung Bapak tapi dengan syarat nanti dengan perjanjian tertulis bahwa Bapak akan melaksanakan syariat Islam.” Saya bilang, “Habib, saya tersinggung dengan omongan Bapak. Syariat Islam apa yang tidak kita laksanakan?” Syariat Islam itu kan akidah, ibadah, muamalah. Akidah soal rukun iman. Kalau ibadah, kita mendirikan masjid, bayar zakat kalau mampu, naik haji malah orang antre. Syariat Islam apa lagi?

Apa reaksi Rizieq?

Dia terdiam. Saya sejak lahir sampai sekarang melaksanakan syariat Islam. Saya bilang kalau tidak mau dukung tidak apa-apa. Dia bilang kalau begitu kami tidak sejalan. Iya, tidak sejalan dalam pemikiran. Dia ingin syariat Islam masuk peraturan daerah dan undang-undang. Saya jawab, buat apa? Hukum Islam itu Al-Quran dan hadis. Itu hukum tertinggi. Di bawahnya baru undang-undang dasar. Ini untuk orang Islam, ya. Jadi apa yang mau diundangkan dari syariat Islam itu? Apakah orang yang tidak salat dimasukkan penjara? Eh, kalau orang tidak salat akan masuk neraka. Lebih tinggi tingkatnya.

Anda mengatakan fenomena Rizieq menggambarkan kerinduan umat Islam terhadap sosok yang dekat dan dapat menyuarakan kepentingan mereka. Apakah ini bisa menjadi semacam peluang bagi Anies Baswedan pada Pemilu 2024?

Anies itu gubernur paling mudah karena bertepatan dengan masalah Ahok. Ada keterpihakan besar-besaran. Bisa saja Anies mengambil manfaat itu walaupun memang, menurut saya, siapa yang mau jadi presiden itu prestasinya apa. Tidak dilihat hubungan dan kedekatannya dengan siapa. Orang akan melihat prestasi Anies, Ganjar Pranowo, Khofifah Indar Parawansa, atau Ridwan Kamil, termasuk prestasi mengatasi Covid-19.

Anda mendorong pencalonan Anies dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Apakah Anda akan menyiapkan Anies untuk pemilihan presiden 2024?

Masih terlalu lama, empat tahun lagi. Semua bisa berubah-ubah.

•••

Bagaimana ceritanya Anda melawat ke Vatikan dan bertemu dengan Paus Fransiskus?

Saya dipilih sebagai anggota Dewan Juri Zayed Award for Human Fraternity. Asalnya, tahun lalu ada pertemuan antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad el-Tayeb. Karena idenya datang dari dua orang ini, keduanya kami kunjungi. Paus sudah. Nanti saya juga akan berbicara dengan Imam Besar Al-Azhar pada Januari mendatang. Memang agak terhambat Covid-19.

Apa tugas dewan juri itu?

Ada lima juri. Saya mewakili Asia. Kami menominasikan tokoh atau organisasi yang memenuhi kriteria Human Fraternity atau Persaudaraan Kemanusiaan, antara lain berupaya mempromosikan kerukunan dan perdamaian. Perang bukan solusi.

Apa yang Anda bicarakan dengan Paus?

Saya sampaikan bahwa saya Ketua Dewan Masjid Indonesia. Rencananya kan September lalu Paus ke Indonesia. Saya sampaikan, “Your Holiness ditunggu oleh umat Katolik di Indonesia.” Dia jawab, “Iya, nanti kita reschedule.”

Bagaimana jalannya pertemuan dengan Paus?

Rumit juga pertemuannya. Dia (Paus) pakai bahasa Italia, lalu diterjemahkan ke bahasa Prancis karena teman-teman saya, dari lima orang itu, tiga berbahasa Prancis. Kemudian diterjemahkan langsung ke bahasa Arab dan Inggris.

Berapa lama pertemuannya?

Kurang-lebih sejam. Ada yang mencatat 70 menit. Orangnya kan egaliter. Dia tidak tinggal di istana, tapi bersama para kardinal di semacam dorm, rumah sederhana.

Anda juga sempat berkeliling kompleks Vatikan?

Berkeliling. Di situ ada pastor asal Indonesia, namanya Markus. Saya berkeliling ke museumnya. Hampir satu setengah jam saya berkeliling Vatikan, dibawa oleh Pastor Markus, orang Nusa Tenggara Timur.

Mengapa Anda terpilih sebagai salah satu juri yang ditunjuk Paus dan Imam Besar Al-Azhar?

Saya tidak tahu. Cuma langsung saja mereka minta.

Wakil Presiden RI ke-10 dan 12 Jusuf Kalla bertemu Paus Fransiskus bersama Dewan Juri Zayed Award for Human Fraternity, pada Jumat (23/10/2020) di Private Library Paus di Vatikan. Media Officer Human Fraternity

Selain ke Vatikan dan Arab Saudi, Anda berkunjung ke Papua. Apa kegiatan Anda di sana?

Saya berdiskusi dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat. Ada uskup, Ketua PGI (Persatuan Gereja Indonesia). Kami berbicara tentang bagaimana cara memajukan Papua dan menyelesaikan konflik. Mereka memberikan banyak saran walaupun saya bukan bagian dari pemerintah lagi. Karena itu, saya lapor kepada Presiden, “Pak, bikin dialog saja.” Presiden setuju.

Dari pengalaman Anda memediasi konflik di Aceh, mengapa pemerintah tidak bisa melakukan pendekatan serupa di Papua?

Di Aceh ada garis komando yang dijalankan secara disiplin. Ada Malik Mahmud (Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka/GAM), Zaini Abdullah di Swedia, Zakaria Zaman, dan panglimanya Muzakir Manaf alias Mualem. Tapi Papua tidak seperti itu. Setiap daerah berbeda-beda (kelompoknya). Di daerah Puncak Jaya kelompok ini, di Timika lain, tidak terorganisasi, sehingga kita mau berbicara dengan siapa?

Bukankah sudah ada organisasi payung Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat?

Tapi itu hanya semacam kampanye, tidak terstruktur. Itu pun belum tentu ditaati yang lain. Seperti Benny Wenda di Inggris. Ada yang mengaku-aku, tapi rakyat Papua sendiri belum tentu (mengakuinya).

Jika pemerintah ingin menggelar dialog, seharusnya dengan kelompok mana?

Pilihlah semuanya. Menggelar dialog yang agak besar, misalnya dengan 50 orang yang mewakili daerah-daerah itu. Sebenarnya sudah ada Majelis Rakyat Papua, tapi lebih kepada adat. Lagi pula, apalagi yang mau didialogkan? Semuanya sudah ada di Undang-Undang Otonomi Khusus.

Ada keinginan masyarakat Papua menentukan nasib sendiri. Apakah ada ruang untuk dialog tentang hal itu dengan pemerintah?

Tergantung makna menentukan nasib sendiri. Sekarang Papua sudah menentukan nasibnya sendiri. Papua sekarang ini lebih federal daripada (negara) federal. Kalau di Amerika Serikat, sebagai negara federal, orang Texas bisa jadi gubernur di New York, orang New York bisa jadi gubernur di California. Di Indonesia, orang Papua secara hukum boleh jadi gubernur di Jakarta atau Sulawesi. Tapi orang Jawa atau Sumatera tidak bisa jadi gubernur di Papua. Sampai level bupati. Jadi politik sudah dikasih. Ekonomi sudah dikasih besar-besaran. Jadi ndak tahu apa lagi yang mau dibicarakan.

Apa yang salah dari pendekatan pemerintah Jokowi sekarang terhadap Papua?

Dulu dikira Republik banyak merampok kekayaan Papua. Saya jelaskan, sama sekali tidak. Justru yang paling banyak subsidinya itu Papua. Kalau dihitung jumlahnya, jauh lebih banyak yang diberikan pemerintah ke Papua daripada pajak yang diperoleh dari sana. Yang paling besar kan cuma dua, yaitu Freeport dan (gas alam) Tangguh.

Bagaimana dengan pendekatan keamanan di Papua yang dinilai berlebihan?

Dari pengalaman di Aceh, soal keamanan tergantung siapa yang pegang senjata. Para kombatan GAM memotong senjata mereka. Tidak ada penyerahan senjata. Ada pendekatan keamanan karena ada senjata yang masih dimiliki oleh milisi-milisi, gerombolan bersenjata. Coba tidak ada, buat apa menempatkan tentara di Papua. Jangan dibalik. Tugas negara melindungi masyarakat. Coba bayangkan kalau tidak ada tentara. Tentara Nasional Indonesia hanya menjaga agar jangan ada tindakan kriminal.

Apa yang mesti dilakukan pemerintah untuk memperbaiki keadaan di Papua?

Diperlukan peningkatan sumber daya manusia di Papua. Baguslah itu sekarang program otonomi khusus mengirim mahasiswa-mahasiswa Papua belajar ke luar negeri supaya pemikiran mereka terbuka. Kita harapkan anak-anak Papua juga banyak belajar di universitas-universitas di Jawa supaya terjadi transformasi.

Saat masih menjabat wakil presiden, Anda menginisiasi rencana pembangunan Pelabuhan Patimban. Apakah Anda melihat perkembangannya sekarang sudah sesuai dengan yang direncanakan?

Dulu awalnya di Cilamaya. Setelah saya lihat, di depan Pelabuhan Cilamaya banyak sekali rig. Kalau ada rig, pasti ada pipa. Bayangkan kalau ada kapal di situ naruh jangkar kena pipa, bisa meledak semuanya. Karena itu, saya minta dipindahkan ke timur. Dipilihlah Patimban di Subang.

Apa pertimbangan memilih Patimban?

Sudah lama dipikirkan industri itu mengarah ke timur karena Jawa Barat sudah penuh. Di Semarang susah dibikin pelabuhan karena dangkal, sedangkan kapal lebih besar. Patimban memang akan menyaingi Jakarta, tapi meningkatkan industri lain, sehingga Jakarta tetap bisa beroperasi untuk kapal dari Bekasi, Tangerang, macam-macam. Kalau dari Karawang ke timur bisa masuk Patimban.

Patimban akan menjadi pelabuhan pertama yang dikelola swasta. Apakah rencana pemerintah memang seperti itu?

Pemikiran Pak Jokowi selalu kasih kompetisi. Contoh paling gampang, Pertamina baru membaik dan mengkilap setelah masuk Shell, Total, Petronas. Nanti kalau dwelling time di Patimban sehari-dua hari, Tanjung Priok pasti tertantang memperbaikinya. Itulah kenapa Pelindo jangan ikut.

Keinginan tidak mengikutsertakan Pelindo sudah dikatakan sejak dulu?

Sejak awal sudah disebutkan dalam perjanjian bahwa ini (Patimban) dioperasikan konsorsium Jepang dan Indonesia. Swasta murni yang berkonsorsium dengan operator Jepang. Konsorsium CT (Corp Infrastruktur Indonesia) dari pihak Indonesia.

Beberapa pengusaha logistik sewaktu berkunjung ke Patimban mengatakan tanah-tanah di sekitar kawasan pelabuhan sudah dibeli semua oleh Jusuf Kalla. Tanggapan Anda?

Ha-ha-ha…, siapa yang bilang itu? Ndak ada satu meter pun saya punya tanah di situ. Yang punya banyak tanah di situ Barito Pacific milik Prajogo (Pangestu). Tapi itu pun tidak sengaja. Dia beli lahan untuk pembangkit listrik, tiba-tiba jadi pelabuhan.

Berapa luas tanah yang dimiliki Barito Pacific di sana?

Kalau tidak salah hampir 1.000 hektare. Saya kira di ring dua. Dekat.


MUHAMMAD JUSUF KALLA | Tempat dan tanggal lahir: Watampone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942 | Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar (1967); The European Institute of Business Administration, Fontainebleau, Prancis (1977) | Karier: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan (1965-1968), anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (1982-1987, 1987-1992, dan 1997-1999), Menteri Perindustrian dan Perdagangan (1999-2000), Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (2001-2004), Wakil Presiden Republik Indonesia (2004-2009 dan 2014-2019) | Organisasi: Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Golkar (2004-2009), Ketua Umum Palang Merah Indonesia (2019-2024), Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (2012-2022)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus