Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Latifah Anum Siregar dibesarkan dalam keluarga oditur yang demokratis.
Anum memilih menjadi pengacara karena sering membantu ayahnya membereskan berkas perkara.
Anum menjadi perempuan pengacara HAM pertama di Papua.
TAK ada kata libur untuk membela hak asasi manusia bagi Latifah Anum Siregar. Sejak memutuskan menjadi pengacara HAM di Papua pada 1999, jadwalnya bertambah sesak. “Orang sering bilang saya bekerja dari Senin ke Senin, 24 jam sehari,” katanya, Ahad, 8 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini Anum menjadi anggota Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya yang dibentuk Gubernur Papua Lukas Enembe. Tim bertugas menginvestigasi kasus penembakan Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 September lalu di Hitadipa, Intan Jaya, Papua. Selain mencari pangkal permasalahan kasus itu, kelompok yang diketuai pendiri Yayasan Lokataru, Haris Azhar, tersebut berupaya memulihkan kondisi masyarakat Intan Jaya atas trauma dari penembakan Pendeta Yeremia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anum juga menjabat Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua sejak dua dekade lalu. Organisasi nirlaba itu biasanya berfokus menangani pengaduan masyarakat di wilayah yang kesulitan mengakses pendampingan hukum untuk dua-tiga tahun. Kini mereka sedang mendampingi masyarakat di pesisir Jayapura, yang antara lain mengeluhkan pembangunan Pelabuhan Depapre.
Warga Kampung Tablasupa, Yepase, dan Wambena menyebutkan dermaga peti kemas yang berlokasi 70 kilometer di sebelah barat Jayapura itu menggunakan hak ulayat tanah dan laut mereka. “Masing-masing kampung punya batas ulayat laut untuk mencari makan. Mereka yang wilayah lautnya terkena pembangunan mau mencari makan di mana?” ujar Anum.
Anum juga baru menerima pengaduan dari warga Demta, Jayapura, tentang penangkapan salah seorang warga. Mereka meminta pendampingan hukum. Aliansi Demokrasi untuk Papua pernah mendampingi masyarakat wilayah tersebut enam tahun lalu. Lembaga itu mengajari mereka, antara lain, tentang hak masyarakat dalam ranah hukum. “Sekarang mereka tahu bahwa ketika ada penangkapan mereka bisa meminta penundaan dan pendampingan hukum. Itu sungguh melegakan saya,” tuturnya.
•••
ANUM Siregar lahir di Jayapura pada 1968. Ia anak kesembilan dari 12 bersaudara. Ayahnya, Amir Husein Siregar, yang berasal dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, adalah seorang oditur atau penuntut umum dalam pengadilan militer. Ibunya, Johana Latupeirissa, berdarah Manado-Ambon. “Mamak saya anak satu-satunya yang Islam karena menikah dengan ayah saya. Nenek saya yang Kristen tinggal bersama kami,” katanya.
Ibu adalah madrasah pertama bagi keluarga Anum. Ia yang paling banyak memberikan teladan tentang kesetaraan. Ketika nenek Anum perlu pergi ke gereja, ia meminta anak-anaknya mengantar bergiliran. Mereka pun merayakan Natal bersama. Para tetangga yang mayoritas Kristen ikut datang bersukaria di rumah mereka.
Anum mengatakan ibunya memperlakukan asisten rumah tangganya, yang orang asli Papua, seperti keluarga. Ia membiasakan pekerjanya makan bersama keluarga dalam satu meja dan menyantap hidangan yang sama. “Pelajaran nasionalisme kami sudah selesai sejak di rumah,” ujarnya.
Sang ibu jugalah yang membuat Anum dan saudaranya bersikap kritis terhadap kondisi sekitar. Ia menghidupkan diskusi di dalam rumah. Johana, yang suka membaca koran dan majalah, sering meminta anak-anaknya menyampaikan pendapat tentang isu kekinian.
Dari 12 bersaudara itu, hanya Anum dan anak ketujuh yang perempuan. Pernah sekali waktu Anum ditegur salah seorang abangnya karena sering keluar malam. “Saya jawab, ‘Keluar malam atau siang, mau laki-laki atau perempuan, kalau untuk baik, ya baik saja. Kalau tidak bagus, ya tidak bagus saja’.”
Kebiasaan berdiskusi dan kesetaraan itu terbawa hingga ke luar rumah. Ia terbiasa bertanya kepada guru di sekolah. Namun sering kali jawaban pertanyaan itu tak memuaskan Anum. Ia bahkan kerap diminta berhenti bertanya oleh gurunya. Anum yang kecewa kadang bolos sekolah dan menghabiskan waktunya di perpustakaan daerah.
Anum juga tak segan mendebat gurunya yang ia kira memberikan informasi salah. Saat pelajaran pendidikan sejarah perjuangan bangsa, misalnya, gurunya mengatakan dulu ada perempuan yang menjadi perwira. Setahu Anum, belum ada perempuan yang menjadi perwira pada masa itu. “Ini kan kita bicara sejarah, jadi bicara yang benar,” ucapnya.
Anum juga gelisah melihat perbedaan perlakuan terhadap pendatang dan orang asli Papua. Ketika ia masih kecil, orang asli Papua diperlakukan lebih kasar di tanahnya sendiri. Kesadarannya akan ketidakadilan makin dalam lantaran ia sering membantu ayahnya membereskan berkas kasus yang sedang ditangani. Ia kerap bertanya tentang duduk perkara kasus-kasus tersebut. Perlahan-lahan ia belajar soal hukum dari ayahnya.
Pengacara HAM Latifah Anum Siregar (kiri) saat melakukan pendampingan di Wamena, Papua. Dok. Pribadi
Inilah yang kemudian membawa Anum kuliah di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Jayapura. Ia perempuan pertama yang menjadi Ketua Umum Cabang Himpunan Mahasiswa Islam di kampusnya. Ia juga menjadi Wakil Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia Provinsi Papua. Namun, selepas kuliah, Anum tak langsung terjun ke dunia hukum. Ia bekerja di bank selama sembilan bulan untuk memenuhi keinginan orang tuanya. “Tapi akhirnya saya enggak tahan karena itu bukan habitat saya, ha-ha-ha…,” tuturnya.
Setelah keluar dari bank, Anum didorong mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua dari Partai Golkar oleh Keluarga Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Ia lolos dan menjadi anggota DPRP periode 1997-1999, saat Soeharto lengser sebagai presiden dan digantikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie. Anum sempat dirisak karena masih muda dan ayahnya hanya berpangkat letnan dua. “Yang lain itu anaknya jenderal,” katanya.
Anum didorong maju lagi pada pemilihan DPRP periode 1999-2014, tapi ia menolak. Ia memilih menjadi pengacara dan mendirikan Aliansi Demokrasi untuk Papua bersama kawan-kawan aktivisnya. Lembaga tersebut disahkan pada 5 Februari 2000. Ia menjadi direktur lembaga itu sampai sekarang.
Salah satu kasus pertama yang ditanganinya adalah penangkapan Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay. Theys ditahan pada 27 November 2000 setelah dituduh melakukan tindakan melawan pemerintah, di antaranya dengan menggelar deklarasi kemerdekaan Papua pada 12 November 1999 dan Musyawarah Besar Papua pada Februari 2000 yang menghasilkan keputusan Irian Jaya harus memisahkan diri dari Indonesia.
Anum dan anggota koalisi pengacara mendampingi Theys. Kejaksaan menangguhkan penahanannya pada Maret 2001. Namun, pada 9 November, ia diculik. Theys ditemukan tewas di dalam mobilnya sehari kemudian. Dari hasil penyelidikan, ia diketahui dibunuh oleh anggota Komando Pasukan Khusus. “Kasus Theys adalah kasus terbesar dengan dinamika yang sangat kompleks yang pernah saya tangani,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum Manokwari, Yan Christian Warinussy, beberapa kali bekerja sama dengan Anum mendampingi warga yang membutuhkan bantuan hukum. Mereka antara lain mendampingi masyarakat Papua yang mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat ke Mahkamah Konstitusi tahun lalu. “Anum itu salah satu yang sangat konsisten melakukan pendampingan,” ucap peraih John Humphrey Freedom Award pada 2005 dari kelompok hak asasi manusia asal Kanada, Rights & Democracy, tersebut.
Menurut Yan, Anum adalah perempuan pertama yang menjadi pengacara HAM di Papua. Ia berani pasang badan untuk membela orang Papua yang haknya dilanggar. Padahal, selain perempuan, ia merupakan seorang muslim dan pendatang. “Apalagi ayahnya anggota TNI, bagaimana anak TNI mati-matian membela anak Papua yang sering kali dituding separatis, makar,” ujarnya.
Pastor Jhon Jonga salah satu yang tak segan meminta bantuan Anum, di antaranya untuk memberikan edukasi tentang masalah politik, hukum, ekonomi, dan sosial kepada jemaat gereja. Ketika libur Paskah, Natal, atau tahun baru, mereka berkeliling ke kampung-kampung terpencil guna memberikan penyuluhan. “Anum melihat manusia bukan dari agamanya, atau sukunya, atau kemampuannya. Ia benar-benar melihat manusia sebagai manusia,” kata peraih Yap Thiam Hien Award 2009 itu.
NUR ALFIYAH
Latifah Anum Siregar | Tempat dan Tanggal Lahir: Jayapura, 28 April 1968 | Aktivitas: Sekretaris Jenderal Majelis/Asosiasi Muslim Papua (2007-2017), anggota Tim Pemantau Independen Pemilu (2014-2020), Deputi Jaringan Perdamaian Papua (2019-2020), Ketua Dewan Pengawas Lembaga Bantuan Hukum Apik Jayapura (2018-2020), Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (2000-2020) | Penghargaan: Women PeaceMakers 2007 dari Joan B. Kroc Institute for Peace and Justice, University of San Diego, California, Amerika Serikat; Penghargaan Hak Asasi Manusia Gwangju 2015 dari The May 18 Memorial Foundation, Korea Selatan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo