Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pandemi Covid-19 membuat pemerintah masih harus memfokuskan agenda pembangunan tahun depan pada pemulihan ekonomi.
Untuk mendongkrak daya beli masyarakat, pemerintah mengucurkan dana dalam jumlah besar yang memicu defisit APBN mencapai lebih dari 6 persen hingga akhir tahun ini.
Meski mengutamakan pemulihan ekonomi, pemerintah tetap berkomitmen menjalankan pembangunan berkelanjutan dan program ramah lingkungan.
PEREKONOMIAN nasional yang terpuruk akibat pandemi Covid-19 membuat ruang gerak pemerintah terbatas. Akibat pagebluk, Indonesia memasuki resesi. Seperti di banyak negara, pemerintah masih akan memfokuskan agenda pembangunan tahun depan pada pemulihan ekonomi. “Kami masih berkonsentrasi untuk penanganan pandemi dan bantalan sosial,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, 65 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo pada Rabu dan Kamis, 2 dan 3 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suharso mengatakan pandemi ini tidak hanya merenggut banyak jiwa, tapi juga menyebabkan 2,67 juta orang menganggur. Dengan merosotnya pendapatan masyarakat, konsumsi rumah tangga menjadi sektor yang paling terpukul akibat pandemi. Untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintah menggelontorkan bantuan sosial dalam jumlah besar hingga memicu defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Suharso memperkirakan defisit APBN hingga akhir tahun ini mencapai 6,6-6,7 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski berfokus pada pemulihan ekonomi, Suharso memastikan pemerintah tetap berkomitmen merealisasi pembangunan berkelanjutan dan program yang ramah lingkungan. Target pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, misalnya, pemerintah mencanangkan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 sesuai dengan Perjanjian Paris. Bappenas juga mengawinkan konsep ekonomi hijau dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030. “Kami sudah memasukkan dan mengarusutamakan energi yang ramah lingkungan ke dalam semua proyek besar,” ujarnya.
Melalui konferensi video, Suharso berbincang dengan wartawan Tempo, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, Aisha Shaidra, Khairul Anam, Retno Sulistyowati, dan Nur Alfiyah. Pelaksana tugas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan ini menjelaskan kondisi perekonomian nasional yang terpuruk akibat pandemi, proyeksi ekonomi tahun depan, hingga komitmen pemerintah terhadap ekonomi hijau dan upaya menurunkan emisi karbon.
Pandemi Covid-19 telah memasuki bulan kesembilan. Dalam catatan Bappenas, bagaimana dampaknya terhadap perekonomian nasional?
Berbeda dengan krisis ekonomi sebelumnya yang banyak berdampak terhadap kelas menengah ke atas, sekarang yang kena justru kelas menengah ke bawah. Masyarakat kelas menengah ke atas menahan pembelian, berjaga-jaga, karena mereka belum percaya apakah keadaan ini benar-benar bisa terkontrol. Mereka belanja seperlunya, selebihnya disimpan. Akibatnya, dana pihak ketiga naik luar biasa. Tapi dana pihak ketiga juga tidak bisa disalurkan. Inilah mengapa kehadiran negara dalam bentuk penyediaan bantalan sosial menjadi penting. Hampir semua negara mengeluarkan dana pemerintah luar biasa besar untuk menjaga daya beli, konsumsi rumah tangga, sehingga defisitnya besar-besaran.
Apakah respons yang selama ini diambil pemerintah tepat?
Menurut saya pas. Buktinya, setelah triwulan kedua, saat pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi di atas 5 persen, pada triwulan ketiga masih minus tapi lebih kecil. Ini menunjukkan ada tren yang baik, tapi di konsumsi rumah tangga belum. Yang menyangga adalah konsumsi pemerintah. Belanja pemerintah menjadi tulang punggung. Berulang kali presiden mengingatkan agar APBN segera dibelanjakan. Jadi pemerintah telah merespons dan beradaptasi dengan tepat terhadap keadaan ini, direspons cukup lentur, memberikan bantalan sosial yang pas, mendorong semua pekerjaan yang menciptakan daya beli.
Bukankah kondisi lapangan pekerjaan saat ini tidak lebih baik?
Lapangan pekerjaan kita sekarang ini berkurang. Di Indonesia ada total 128,45 juta orang bekerja. Menurut data Badan Pusat Statistik per Agustus 2020, yang bekerja penuh tinggal 82,02 juta atau turun 9,46 juta dari tahun lalu. Artinya, 9,46 juta orang menjadi pekerja paruh waktu dan setengah penganggur. Di antara jumlah itu, 310 ribu orang benar-benar kehilangan pekerjaan. Pekerja paruh waktu naik menjadi 33,34 juta, setengah penganggur juga naik menjadi 13,09 juta. Ini mengakibatkan terjadinya kenaikan angka penganggur 2,67 juta orang dari tahun lalu.
Sektor apa yang paling terpukul?
Tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga memprihatinkan. Dari data BPS, konsumsi rumah tangga yang paling buruk adalah pengeluaran untuk transportasi serta restoran dan hotel. Ini karena masyarakat berhenti bekerja dan pendapatan menurun. Sementara itu, pendidikan dan kesehatan masih surplus.
Berapa perkiraan angka defisit APBN pada akhir tahun ini?
Realisasinya sampai 31 Oktober lalu hanya 4,67 persen. Saat dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, kita punya target defisit 6,34 persen. Tapi sampai akhir tahun ini diperkirakan malah naik jadi 6,6 sampai 6,7 persen.
Dengan kondisi seperti itu, bagaimana proyeksi ekonomi tahun depan?
Kita berharap sekali bisa melandaikan kurva pandemi, bisa mengendalikan jauh lebih baik. Apalagi tahun depan sudah ada vaksin, sehingga ketahanan kita terhadap Covid-19 lebih baik. Pada saat itulah ekonomi mulai merambat tumbuh dengan baik. Kalau keseimbangan ini bisa terjadi, seperti falsafah dua sayap angsa yang harus seimbang, ekonomi Indonesia bisa terbang.
Dengan berfokus pada pemulihan ekonomi, apakah pemerintah tahun depan tetap bisa merealisasi pembangunan berkelanjutan dan program yang ramah lingkungan?
Oh, harus. Covid-19 mengakibatkan emisi gas rumah kaca dengan sendirinya menurun di seluruh bumi karena mobilitas orang sedikit. Kalau kita lihat data mobilitas Google, penurunan gas rumah kaca sangat tampak saat terjadi pembatasan sosial berskala besar di semua negara. Itu terjadi penurunan hampir 1 persen di beberapa kota. Ada yang bahkan 1,8 persen.
Bagaimana pemerintah menjalankan pembangunan berkelanjutan?
Indonesia harus siap masuk dalam transformasi ekonomi. Di dalam transformasi ekonomi yang akan datang, digitalisasi, langit biru, ekonomi hijau, ramah lingkungan harus berjalan serentak. Tidak bisa hanya salah satu. Contohnya, ketika kita mau menurunkan efek gas rumah kaca, industri otomotif harus secara bertahap berpindah ke, misalnya, industri yang tidak menggunakan bensin, tapi gas. Bahkan ke depan menggunakan baterai. Kalau tadinya kita berbicara tentang bauran energi hanya di listrik, sekarang bauran energi juga ada di sektor otomotif, pembangkit listrik, sehingga makin luas.
Contoh implementasinya seperti apa?
Kita punya gagasan besar untuk membuat solar farm sebesar 20 gigawatt di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, karena sinar mataharinya kuat di sana. Tapi sekaligus harus ada baterainya biar (listriknya) dapat dipakai dan dipasok ke daerah lain. Pulau Jawa sekarang ini punya listrik 26-27 gigawatt. Baru sekitar 12 persennya yang bersumber dari energi baru dan terbarukan. Kalau nanti kita bisa membuat smart grid antara Jawa, Bali, dan NTT dapat menaikkan konsumsi listrik kita. Konsumsi listrik kita itu kecil, cuma 1.014 kWh per kapita. Yang paling tinggi di Jawa, yaitu 1.400-an kWh. Kalau kita bisa bikin solar farm, itu bagus. Paling tidak di NTT, yang sekarang listriknya dihidupkan oleh diesel.
Apakah hal itu memungkinkan untuk dilakukan?
Isu yang paling penting di sini adalah harga. Listrik yang diproduksi dan dibeli oleh PLN (Perusahaan Listrik Negara) di daerah-daerah yang jauh itu kan mahal sekali, sebesar 18-20 sen dolar Amerika per kWh. Sementara itu, energi baru dan terbarukan cuma 12 sen. Bahkan, kalau kita bantu beberapa infrastrukturnya, bisa turun sampai 8 sen. Jangan sampai energi ini dihadapkan dengan energi murah yang didapatkan dari batu bara tapi harga untuk merawat bumi jadi mahal. Apalagi nanti mulai tahun 2030 dan puncaknya 2050 hampir semua negara di Eropa dan berbagai negara sudah akan mempraktikkan green economy, blue sky energy. Mereka hanya akan mengimpor barang-barang dari negara yang produksinya didukung oleh energi yang baru dan terbarukan, bukan energi fosil.
Apa dampaknya bagi Indonesia?
Kalau kita memproduksi sesuatu dengan listrik yang tidak rendah karbon, ramah lingkungan, tidak masuk cakupan ekonomi hijau, akan terkena denda. Kita harus siap mulai hari ini sehingga makin banyak yang kita bisa peroleh. Dari pendekatan ini juga akan menciptakan lapangan kerja baru yang cukup besar di ekonomi hijau ini.
Di mana posisi Indonesia dalam pemanfaatan energi baru dan terbarukan ini?
Kita sudah berada di belakang dari agenda energi baru dan terbarukan. Kita tertinggal jauh dari semua negara. Malu kita.
Seberapa tertinggal Indonesia dari negara-negara tetangga?
Kita ketinggalan jauh. Konsumsi listrik kita cuma 1.000-an kWh per kapita per tahun. Kalah dibanding Malaysia yang 1.400 kWh. Singapura jauh di atas kita. Listrik mereka dari mana? Gas ramah lingkungan yang asalnya dari Indonesia. Ini kan lucu sekali. Sementara kita sudah rendah konsumsinya, listriknya kita ambil dari proses yang merusak lingkungan. Itu aneh bin ajaib. Padahal yang ramah lingkungan kita ekspor. Itu tidak boleh lagi terjadi.
Bagaimana Bappenas memastikan program-program ekonomi hijau dapat tetap diwujudkan pada tahun depan?
Kami sudah memasukkan dan mengarusutamakan energi yang ramah lingkungan ke semua proyek besar, termasuk dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Jalannya pembangunan kita dari semua sektor merujuk pada SDGs. Di dalamnya ada energi baru dan terbarukan. Misalnya, sepuluh destinasi wisata yang kami dorong tentu akan memproduksi jasa yang luar biasa dan kita berharap bisa kembali meraup devisa sebesar 20 miliar dolar Amerika. Itu nanti diproduksi dari ekonomi hijau. Sekarang sudah banyak hotel yang menerapkan smart energy. Di Belitung, misalnya, ada hotel dalam bentuk camping yang lampunya tidak dialiri listrik hasil pembakaran diesel. Di Bali tidak boleh lagi memakai plastik yang tidak ramah lingkungan.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa saat peluncuran program Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative (Coremap-CTI) yang bertujuan melestarikan terumbu karang untuk kesejahteraan masyarakat, di Kota Sorong, Papua Barat, Jumat (13/11/2020). ANTARA FOTO/Olha Mulalinda
Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon, tapi di saat bersamaan kebijakan yang diambil pemerintah kerap tidak sinkron dengan komitmen itu, seperti pembukaan lahan untuk ibu kota baru, lumbung pangan, dan penggunaan energi fosil yang masih tinggi. Bagaimana Indonesia bisa memenuhi komitmen itu?
Justru kami masuk ke lokasi yang hutannya rusak dan sudah dirusak oleh perambah hutan dan industri. Kehadiran ibu kota di sana justru untuk memperbaiki kembali hutan itu. Makanya ibu kotanya disebut Nusa Rimba. Listriknya nanti tidak akan diambil dari batu bara. Mungkin juga kita tidak akan ambil dari air. Kalaupun dibikin waduk, itu untuk air bersih. Listrik akan diperoleh dari pembangkit tenaga matahari, angin, gas. Ibu kota ini kalau dibangun akan menjadi ibu kota yang ramah lingkungan.
Apakah pengembangan kendaraan ramah lingkungan juga diprioritaskan?
Secara bertahap. Kami mengingatkan perusahaan-perusahaan otomotif untuk memulai dengan sepeda motor yang memakai baterai. Motor termasuk penghasil polusi tertinggi. Tapi penggunaan baterai harus dipikirkan cara membuangnya. Itu bisa polusi juga. Setelah itu kendaraan umum, seperti bus, akan menggunakan baterai atau energi campuran gas atau hidrogen. Itu semua dirancang mulai 2021.
Bappenas masih optimistis Indonesia bisa memenuhi target penurunan emisi karbon global pada 2030 dan 2050?
Kami bisa mengatakan optimistis karena Bappenas yang melakukan clearing house perencanaan. Saya berjanji pada 2022 akan terlibat langsung dalam hal Rencana Kerja Pemerintah untuk menyusun APBN. Saya sudah minta izin kepada Presiden, saya akan memimpin langsung. Dalam rangka SDGs, green economy, transformasi ekonomi, sehingga kita tahu pengalokasian APBN mengarah ke sana.
Berarti belum dimulai untuk anggaran tahun depan?
Kami masih berkonsentrasi untuk penanganan pandemi dan bantalan sosial. Kami sudah memberi perhatian kepada ekonomi hijau, tapi terus terang belum dalam kerangka kerja yang besar.
Lalu apa saja fokus perhatian pemerintah untuk program kerja tahun depan?
Pertama, kami ingin memperbaiki sistem kesehatan nasional supaya ketahanan kita bagus. Kedua, pemulihan ekonomi, antara lain di sektor industri dan pariwisata. Kami juga sudah mengusulkan kepada Presiden untuk ke depan berfokus pada UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah). Di seluruh dunia, UMKM didorong oleh negara. Negara harus berpihak kepada mereka.
Pemerintah berkomitmen mengurangi emisi 41 persen pada 2030, bukan lagi 29 persen, karena Indonesia telah menerima bantuan internasional. Bagaimana melaksanakannya?
Kita menanami kembali hutan. Saya kira itu nilainya tinggi sekali untuk penurunan gas rumah kaca. Sekitar 53 persen koral di dunia ada di Indonesia. Sebanyak 85 persennya ada di Raja Ampat, hampir 15 persennya di Laut Sawu, NTT. Koral kekuatannya 20 kali per satuan luas yang sama dibanding hutan untuk menyerap karbon. Kita harus menjaganya. Kita juga harus menanami kembali mangrove di seluruh pantai di Indonesia. Kami ada programnya dengan Bank Dunia. Saya kira semua itu akan cepat menurunkan 1-1,8 persen untuk efek gas rumah kaca.
(Berdasarkan data Bappenas, perlambatan ekonomi telah mengakibatkan penurunan emisi gas rumah kaca pada 2020 menjadi sekitar 29,5 persen. Namun, seiring dengan pemulihan ekonomi pascapandemi, emisi karbon diperkirakan meningkat kembali menjadi sekitar 25,8 persen pada 2022. Pemerintah menargetkan penurunan emisi karbon pada 2024 sebesar 27,3 persen.)
Kebutuhan pendanaan untuk target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 Indonesia diperkirakan mencapai Rp 3.461 triliun, atau rata-rata Rp 266,2 triliun per tahun. Sementara itu, dana pemerintah untuk kegiatan mitigasi perubahan iklim hanya 89,6 triliun per tahun sepanjang 2016-2020. Bagaimana gambaran kebijakan pemerintah soal pendanaan ini dalam satu dasawarsa mendatang?
Saya bilang, saya akan turun di 2022 itu. Saya juga ingin menyampaikan kepada Presiden bahwa Pembayaran Ketersediaan Layanan (AP) harus digabungkan dengan Dana Dukungan Tunai (VGF) dan government share. Itu untuk mendapatkan harga keterjangkauan untuk energi. Contoh, transmisi listrik dibangun pemerintah, tapi investasi yang paling penting, yaitu smart grid, listriknya bisa dibeli dengan harga, misalnya, 12 sen tapi dihargai 8 sen. Jadi 4 sennya dari Dana Dukungan Tunai, Pembayaran Ketersediaan Layanan, segala macam instrumen keuangan kita mainkan. Ini memerlukan alokasi anggaran dan sedang kami coba.
Kalau pendanaan negara kurang, apakah pemerintah berencana melibatkan swasta?
Banyak yang dilakukan swasta. Ada satu perusahaan besar yang merehabilitasi kawasan mangrove di Bali. Ada yang mengembangkan, misalnya, kerajinan kulit jagung. Ada yang mengajarkan kepada masyarakat di Klungkung tentang daur ulang sampah. Mereka adalah perusahaan-perusahaan swasta nasional yang bekerja sama dengan asing. Hal-hal seperti ini banyak dilakukan pihak swasta dalam rangka SDGs. Jadi partisipasi masyarakat pengusaha tinggi sekali. Kami juga banyak bekerja sama dalam bentuk pemberian hibah dari lembaga-lembaga internasional.
Seperti apa skema stimulus untuk swasta yang terlibat dalam proyek-proyek ramah lingkungan?
Biasanya dalam bentuk pajak. Banyak swasta mendapatkan insentif pajak.
SUHARSO MONOARFA | Tempat dan tanggal lahir: Mataram, Nusa Tenggara Barat, 31 Oktober 1954 | Pendidikan: Fakultas Planologi Institut Teknologi Bandung (1974-1978); Executive Development Program di University of Michigan, Amerika Serikat (1994); Executive Program di Stanford University, Amerika Serikat (1995); Visiting Professor di Guangdong University of Finance, Cina, dan Business School University of Nottingham, Inggris (2016-2018) | Karier: eksekutif di beberapa perusahaan (1984-2002), antara lain PT Bukaka Sembawang Engineering; anggota staf khusus Wakil Presiden Hamzah Haz (2002-2004); anggota Dewan Perwakilan Rakyat (2004-2009); Menteri Perumahan Rakyat (2009-2012); anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2015-2019); pelaksana tugas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (sejak 2019); Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (sejak 2019) | Penghargaan: Doctor honoris causa bidang bisnis dari Central Queensland University, Australia (2019)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo