Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Uang makan dan akomodasi atlet bulu tangkis di Program Indonesia Emas diduga dikorupsi.
Polisi sudah memeriksa sejumlah pengurus PBSI dan Satlak Prima.
Wakil Ketua Satlak Prima Taufik Hidayat diduga mencairkan dana Satlak tanpa meneken kuitansi.
DUGAAN penyelewengan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga periode 2014-2019 turut menarik perhatian Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Sejak pertengahan tahun lalu, penyelidik menelisik dugaan kebocoran uang konsumsi dan akomodasi atlet bulu tangkis dari Kementerian yang berjumlah sekitar Rp 1,075 miliar.
Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Brigadir Jenderal Djoko Purwanto mengatakan kasus ini berbeda dengan dugaan korupsi yang tengah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung. “Saya masih mengecek detail kasusnya. Tapi bisa saja kami menanganinya,” ujar Djoko pada Jumat, 4 Desember lalu.
Saat ini, Kejaksaan Agung tengah mengebut pengusutan kasus dugaan korupsi Rp 25 miliar dana hibah Kemenpora kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) periode 2017. Penyelidikan dimulai sejak pertengahan 2019. Ada seratusan saksi yang diperiksa dalam kasus ini.
Namun KPK lebih dulu menahan Menteri Pemuda dan Olahraga 2014-2019, Imam Nahrawi, pada akhir September 2019. Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat menghukum Imam dengan 7 tahun penjara dan denda Rp 400 juta pada 29 Juni lalu. Ia terbukti menerima suap dan gratifikasi pengurusan dana hibah ke KONI dengan jumlah total sekitar Rp 20 miliar.
Polisi menelisik pos anggaran yang berbeda. Mereka menemukan dugaan kebocoran anggaran Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) untuk cabang olahraga bulu tangkis. Sejumlah pengurus diduga menilap uang konsumsi dan akomodasi atlet muda itu pada awal 2017.
Penyelidik Bareskrim menyambangi kantor Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) di Cipayung, Jakarta Timur, pada medio 2019. Mereka menggali informasi ke para pengurus inti dan bagian keuangan PBSI. Polisi juga mencecar pengurus keuangan ihwal alokasi penggunaan uang makan dan akomodasi tersebut.
Personel Bareskrim juga meminta bukti-bukti pengeluaran anggaran. Namun, setahun berselang, Bareskrim tak kunjung mengungkap perkembangan penyelidikan.
Kasak-kusuk dugaan penyelewengan anggaran Satlak Prima sudah muncul sejak tiga tahun lalu. Kebocoran menyeruak saat pengurus PBSI hendak mencairkan uang makan dan akomodasi para atlet yang mengikuti program Prima. Nama Wakil Ketua Satlak Prima kala itu, Taufik Hidayat, muncul dalam berbagai perbincangan.
Program Indonesia Emas bertujuan menghasilkan atlet nasional yang mampu berprestasi di tingkat internasional. Sekretaris Jenderal PBSI periode 2016-2020, Achmad Budiarjo, mengatakan anggaran dari Satlak Prima biasanya dicairkan tiap dua bulan.
Pada awal 2017, dua pengurus PBSI mendatangi Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk mencairkan dana makan dan akomodasi atlet untuk November-Desember 2016. Jumlahnya mencapai Rp 1,075 miliar. Namun kedua pengurus PBSI itu kembali dengan tangan kosong.
Belakangan, mereka mengetahui Taufik Hidayat sudah mencairkan uang makan dan akomodasi atlet badminton itu beberapa hari sebelumnya. “Ini sempat ramai karena kami tidak pernah mengeluarkan surat mandat atau surat tugas ke yang bersangkutan untuk mengambil itu,” ujar Achmad Budiarjo.
Peraih medali emas tepok bulu Olimpiade 2004 itu diduga berupaya menyamarkan jejak pencairan uang. Ia diduga tak menandatangani kuitansi pengambilan uang. Asisten Taufik meneken dokumen tanda terima pencairan anggaran.
Kisah ini belakangan terungkap dalam persidangan Imam Nahrawi. Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak Prima Tommy Suhartanto bersaksi pernah menyerahkan uang Rp 800 juta kepada Taufik. Uang itu diduga merupakan bagian dari hak para atlet bulu tangkis yang berjumlah Rp 1,075 miliar.
Namun Taufik membantah. Ia menjelaskan bertugas di Satlak Prima sebagai pembuat program, bukan mengurusi keuangan. “Beliau (Tommy) ada di situ. Dia meminta saya tanda tangan dan saya tidak tanda tangan, karena itu bukan ranah saya dan bukan hak saya juga,” ucap Taufik.
Persidangan itu juga mengungkap Taufik pernah menyerahkan Rp 1 miliar lewat anggota staf khusus Imam Nahrawi, Miftahul Ulum. Uang itu juga berasal dari anggaran Satlak Prima, tapi dari pos berbeda. “Saya hanya diminta tolong seperti itu di telepon, dan sebagai kerabat di situ ya saya membantu. Tapi saya tidak konfirmasi ke Pak Imam kalau uang sudah dititipkan ke Ulum,” ujar Taufik.
Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S. Dewabroto mengatakan anggota staf khusus Imam memang ditugaskan untuk mengumpulkan uang setoran dari tiap kedeputian. Taufik diduga mendapat tugas mengumpulkan setoran uang yang diambil dari anggaran keolahragaan di Deputi III dan Deputi IV Kementerian Pemuda dan Olahraga. “Betul seperti itu,” tutur Gatot.
Dia juga menyampaikan keterangan ini saat menjadi saksi dalam sidang untuk terdakwa salah satu anggota staf khusus Imam, Miftahul Ulum, pada Februari lalu. Ulum telah diganjar hukuman 4 tahun bui pada Juni lalu.
Imam dan Taufik pernah bersahabat. Menurut dua sumber yang mengetahui sepak terjang Taufik, kedekatan dengan Imam Nahrawi membuat mantan juara dunia ini cawe-cawe dalam berbagai proyek di Kemenpora. Dalam program persiapan Asian Games 2018, misalnya, PBSI pernah mendapat jatah bantuan delapan karpet lapangan.
Pengadaan karpet merek ternama itu sempat menimbulkan kontroversi karena digelar mendadak. Ada kisah tarik-menarik antara vendor, pengurus PBSI, dan staf Kemenpora dalam tender tersebut. Nama Taufik muncul di belakang salah satu vendor karpet badminton.
Kini, hubungan keduanya retak. Dalam persidangan, Imam mengatakan Taufik pernah menerima Rp 7 miliar dan Rp 800 juta dalam waktu yang berbeda. Ia menuding uang itu akan digunakan untuk pengurusan perkara di Kejaksaan Agung. “Entah ke mana dan mengapa itu hilang tanpa kejelasan. Hilang seolah-olah tenggelam,” ujar Imam saat memberikan keterangan dalam persidangan, 19 Juni lalu.
Tempo berupaya meminta konfirmasi ihwal sejumlah tudingan, termasuk dugaan kebocoran dana atlet bulu tangkis yang mengikuti Program Indonesia Emas, ke Taufik Hidayat. Namun ia tak merespons panggilan telepon dan pesan berisi pertanyaan dan permintaan wawancara hingga Sabtu, 5 Desember lalu.
Kuasa hukum Imam Nahrawi, Wa Ode Nur Zainab, mengatakan kliennya berharap penegak hukum mengusut aliran duit tersebut. “Permintaan Pak Imam agar dana yang diduga mengalir ke oknum Kejagung dan TH bisa diusut,” ujar Wa Ode.
Kejaksaan Agung dan Bareskrim masih belum menetapkan satu pun tersangka korupsi anggaran Kementerian Pemuda. Brigadir Jenderal Djoko Purwanto mengatakan timnya masih terus berupaya menelusuri kasus kebocoran anggaran Satlak Prima atlet bulu tangkis ini.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Ali Mukartono mengatakan belum menyelidiki aliran dana yang mengalir ke institusinya. Ia memastikan pengusutan kasus dana hibah pada 2017 terus berjalan. “Penggunaan anggarannya kecil-kecil, untuk bayar hotel dan lainnya. Jadi banyak yang perlu diperiksa,” ucap Ali.
LINDA TRIANITA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo