Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Juru bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, mengatakan penanganan pandemi jangan hanya bergantung pada ketersediaan vaksin. Perubahan perilaku masyarakat juga penting diterapkan.
Menurut Wiku Adisasmito, kapasitas tes spesimen di lima provinsi sudah melebihi standar WHO. Kemampuan uji sampel perlu ditingkatkan di provinsi-provinsi dengan penduduk besar dan penularan kasus tinggi.
Wiku Adisasmito menilai penunjukan Menteri Luhut Binsar Pandjaitan bertujuan mempercepat penanganan pandemi di sepuluh provinsi kritis. Ego sektoral antarlembaga menjadi kendala yang dihadapi Satgas.
HAMPIR tiga bulan Wiku Adisasmito mengemban tugas ganda di Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Sejak 21 Juli lalu, ia menggantikan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto sebagai juru bicara Satgas. Sebelumnya, Wiku memimpin seratusan ilmuwan dan praktisi klinis lintas bidang dan keahlian yang tergabung dalam tim pakar Satgas sejak awal dibentuknya lembaga ad hoc itu pada Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa pekan terakhir, Wiku dihadapkan pada penambahan kasus positif Covid-19 yang terus meroket. Jumlah kasus baru mencapai 4.000-an per hari, hampir selalu mencetak rekor. Dengan dukungan 320 laboratorium, profesor 56 tahun ini mengklaim kemampuan uji spesimen jauh membaik. Sayangnya, kapasitas tes belum diimbangi dengan pelacakan yang memadai terhadap kontak erat tiap kasus positif. “Tracing memang masih belum optimal,” kata Wiku dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video, Rabu, 30 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga Jumat, 2 Oktober lalu, Indonesia mencatatkan lebih dari 295 ribu kasus positif Covid-19. Nyaris 11 ribu jiwa tewas akibat infeksi virus SARS-CoV-2. Menurut Wiku, tes dan pelacakan sangat penting untuk memutus mata rantai penularan Covid-19 di masyarakat. Di Jakarta saja, provinsi dengan angka kasus tertinggi, kapasitas pelacakan baru menyentuh lima-enam kontak erat per kasus positif. “Pelacakan mengalami kendala stigma negatif dan keterbatasan tenaga pelacak kontak,” tutur guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini.
Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Nur Alfiyah, Wiku berujar bahwa pandemi Covid-19 adalah krisis multidimensi. Penyelesaiannya memerlukan kerja sama lintas sektor. Masalahnya, Satgas mendapati ego yang masih tinggi dari kementerian ataupun lembaga. Dalam perbincangan selama hampir dua jam, Wiku juga menanggapi penunjukan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk memimpin penanganan wabah di sepuluh provinsi kritis serta hengkangnya Akmal Taher dari tim pakar Satgas.
Jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia masih terus meroket dan termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara. Mengapa kondisinya belum membaik?
Pelacakan kasus memang masih belum optimal. Tapi, kalau pengujian, perubahannya sudah cukup bagus. Target WHO (Badan Kesehatan Dunia) untuk testing 1 : 1.000 penduduk per minggu. Target itu sebenarnya sudah terpenuhi di Provinsi DKI Jakarta, Sumatera Barat, Bali, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Seperti apa kemampuan uji spesimen sejauh ini?
Jumlah laboratorium sekarang sudah 320 unit. Jumlah kapasitas tesnya dari seluruh alat di 320 laboratorium adalah 62 ribu sampel per hari. Hari ini pengujian per hari mencapai 45.496 sampel.
Tapi secara nasional masih jauh di bawah standar WHO.
Dengan 267 juta penduduk, jumlah tes di Indonesia seharusnya 267 ribu orang per minggu. Kini total orang yang dites per minggu sudah mencapai 189 ribu. Itu sama dengan 70 persen. Ini rata-rata nasional. Padahal lima provinsi yang saya sebutkan tadi sudah lima-enam kali standar WHO. Seharusnya pengujian yang sesuai dengan standar WHO diutamakan di daerah yang penularannya tinggi dan penduduknya banyak. Jangan diratakan semua. Jika suatu daerah penularannya rendah dan penduduknya jarang, ngapain kita kejar-kejar seperti itu?
Bagaimana dengan kemampuan pelacakan kontak erat di Indonesia?
Kita masih enggak begitu bagus di tracing. Kalau tidak salah lima-enam orang, itu pun di Jakarta. Sekarang sedang kami fokuskan program tracing sampai Desember nanti. Seharusnya kalau satu orang positif dilacak sampai sepuluh orang kontak erat. Kalau sepuluh orang tadi dites merata di daerah yang populasinya besar, otomatis potensi tertangkap kasusnya jadi tinggi. Dengan cara seperti itu, penanganannya akan jadi lebih bagus.
Apa kendala yang dihadapi daerah-daerah zonasi merah yang masih belum bisa menurunkan jumlah kasus positif?
Biasanya mereka perlu reagen dan tes PCR (polymerase chain reaction). Itu kan sesuatu yang menurut saya simpel. Dalam arti, kami sudah biasa mengirimkan ke daerah yang membutuhkan. Tapi mekanisme komunikasi dari waktu ke waktu perlu dikembangkan. Daerah yang berhasil harus diberi jempol. Untuk daerah yang belum berhasil, jika perlu bantuan, tolong segera beri tahu kami.
Bagaimana dengan daerah yang justru tidak mau meningkatkan tes-lacak supaya tidak dikategorikan zona merah?
Tidak bisa. Saya mengerti banyak pikiran seperti itu. Bukan hanya dari media, tapi dari pemerintah daerahnya sendiri yang (mempersiapkan) pemilihan kepala daerah. Dengan data diungkap setiap saat, kita bisa tahu dari pola datanya. Kalau dia tidak pernah tes, kok jadi hijau. Kita bisa lihat tesnya seperti apa.
Ada daerah yang seperti itu?
Ada yang berkeinginan seperti itu. Nanti akan saya absen semua.
Benarkah angka tes-lacak nasional tidak kunjung digenjot agar jumlah kasus tidak meroket?
Kebanyakan orang melihatnya dari angka kumulatif. Selalu menakutkan kalau angka kumulatif karena pasti naik terus. Menurut saya, jumlah kasus bertambah banyak setiap hari jangan ditakuti. Itu menunjukkan kinerja pengujian sampel yang meningkat. Kedua, tingkat penularannya juga pasti tinggi. Pasti penyebabnya dua hal itu.
Pelacakan menjadi faktor yang penting untuk memutus rantai penularan Covid-19. Tapi mengapa pelacakan kasus belum berjalan optimal?
Pelacakan itu komponennya banyak. Satu, adanya stigma negatif. Contohnya saya tertular. Tapi, karena stigma negatif dari masyarakat bahwa terinfeksi Covid-19 adalah sesuatu yang buruk, kecenderungannya saya tidak akan lapor. Stigma menghambat tracing. Hambatan lain adalah yang melakukan pelacakan itu sebenarnya siapa, ya. Apakah puskesmas, dokter, orang itu sendiri, atau ada relawan.
Siapa yang selama ini menjalankan pelacakan kontak erat?
Dinas kesehatan. Coba Anda bayangkan, dinas kesehatan yang petugasnya terbatas, dengan penduduk begitu banyak, apa enggak capek itu kalau penularannya begitu tinggi. Misalnya sehari menelusuri sepuluh orang untuk satu kasus positif. Kalau ada sepuluh kasus, seorang petugas harus mengikuti 100 orang. Tidak cukup.
Bagaimana Satgas mengatasi persoalan ini?
Kami akan merekrut relawan lebih banyak untuk bisa membantu dinas kesehatan melakukan pelacakan.
Berapa kebutuhan tenaga pelacak kontak erat?
Saya enggak pernah menghitung. Intinya kita kurang tenaga untuk tracing. Nanti pelacakan diutamakan di daerah yang populasinya padat. Kalau kita beresin di situ, penurunan kasusnya secara nasional besar sekali. Dengan sumber daya untuk tracing terbatas, perilaku masyarakat harus direm. Mobilitas penduduk dibatasi, penularannya dibatasi, otomatis kontaknya juga terbatas.
Anda pernah mengatakan bahwa vaksin bukanlah tumpuan untuk mengatasi pandemi Covid-19. Tapi mengapa Presiden Joko Widodo berkukuh agar vaksin dapat diproduksi secepatnya?
Covid-19 adalah penyakit virus dan penyakit baru. Dulu avian influenza datang, terus hilang. H1N1 juga masuk, terus hilang. Nah, Covid-19 rupanya menyebar lebih cepat dan berkepanjangan. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda menemui kurva terbawahnya. Lembaga penelitian di seluruh dunia berkejaran membikin vaksin. Mereka ingin membuat “payung” untuk melawan virus ini. Mereka ditantang untuk bisa segera selesai. Padahal vaksin HIV dan lainnya perlu waktu bertahun-tahun untuk pembuatannya.
Bagaimana jalan keluarnya jika belum ada vaksin yang bisa digunakan?
Seandainya vaksin enggak ada, karena biasanya vaksin perlu waktu tahunan, kita berlindungnya dengan perubahan perilaku. Itulah kenapa saya bilang bahwa kita tidak boleh menggantungkan hanya pada vaksin. Kita belum punya pengalaman membuat vaksin secara cepat. Besok jadi, enggak bisa. Jadi orang-orang yang mengatakan November atau Januari nanti mau divaksin itu pasti ada syaratnya, yaitu aman dan efektif. Kalau enggak efektif, ngapain disuntik? Vaksin kan fungsinya untuk perlindungan manusia.
Apakah Anda menilai keinginan Presiden itu realistis?
Kalau untuk pabriknya, realistis. Ujinya kalau dari sisi waktu, realistis. Tapi hasilnya kan enggak bisa dipaksa. (Uji klinis) vaksin Sinovac perkiraannya selesai akhir tahun ini. Ada juga Sinopharm dan vaksin lain yang sedang diusahakan. Vaksin yang lain tidak dilakukan pengujian di Indonesia. Artinya, kita mendatangkan vaksin dalam bentuk sudah jadi. Harus dipastikan uji klinisnya sudah selesai dan hasilnya aman dan efektif. Misalnya, vaksin Sinovac yang sudah masuk fase ketiga, disebut aman untuk berapa lama. Disebut efektif untuk berapa lama.
Wiku Adisasmito saat sosialisasi penggunaan masker, April 2020. Humas BNPB/Danung Arifin
Berapa kebutuhan untuk vaksinasi di Indonesia?
Hitungannya macam-macam. Apakah kita mau 60 atau 70 persen populasi. Itu juga tergantung dari hitungan efektivitas vaksin itu sendiri. Makin tinggi efektivitas vaksin untuk memproteksi, makin sedikit populasi yang perlu divaksin. Untuk menimbulkan imunitas kelompok, perlu jumlah vaksin yang memadai. Belum lagi kalau vaksinnya banyak, beda-beda, kan? Harus diukur betul secara keseluruhan.
Selain Sinovac dan Sinopharm, vaksin buatan mana lagi yang sedang dijajaki?
Ada beberapa macam, seperti AstraZeneca dan Pfizer.
Presiden menunjuk Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk menangani pandemi di sepuluh provinsi kritis. Bagaimana Satgas merespons kebijakan ini?
Ini kan unit yang dibentuk melalui peraturan presiden, ya pasti kami mengikutinya. Presiden membuat target-target, ya otomatis kami mengikutinya. Saya melihat upaya birokrasi untuk digerakkan itu makin masif. Pemahaman secara nasional untuk publik bahwa pandemi ini masuknya isu kesehatan. Padahal sejak awal kami mengatakan bahwa ini pasti akan ke ekonomi dan sosial. Dengan dibentuknya berbagai perubahan ini sebenarnya menunjukkan bahwa masalahnya tidak bisa diselesaikan dalam satu sisi. Pasti dicari cara supaya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sejauh mana masuknya Menteri Luhut mempengaruhi kerja tim yang sudah berjalan sebelumnya?
Prinsipnya kami oleh Pak Luhut diminta tugas untuk konsentrasi pada delapan provinsi prioritas, dan sekarang menjadi sepuluh provinsi. Itu intensif sekali, dicek satu-satu kesiapan setiap daerah tentang kasusnya. Dipastikan terjadi sinergi di antara komponen yang ada di setiap provinsi. Untuk penegakan hukum ada TNI dan Polri. Bupati, wali kota, dan gubernur juga ada di situ. Langsung dicek kurangnya apa, misalnya ICU, langsung saat itu dikirim Kementerian Kesehatan.
Siapa yang memegang komandonya?
Pak Luhut, kan Pak Luhut yang diminta bersama Pak Doni (Monardo, Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19). Koordinasi juga dengan Menteri Kesehatan.
Beberapa waktu lalu, 34 dari 39 fasilitas ruang perawatan intensif (ICU) dipindahkan dari Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet. Bagaimana ceritanya?
Itu keputusan bersama antara Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Menteri Kesehatan, dan Ketua Satgas. Dibicarakan di antara mereka.
Apa alasannya waktu itu?
Sebenarnya ingin memperkuat kondisi DKI Jakarta yang waktu itu kekurangan ICU. Dipindahkan ke rumah-rumah sakit di lingkungan Jabodetabek yang memerlukan dukungan itu.
Bukankah Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet juga membutuhkan ICU?
Rumah Sakit Wisma Atlet diputuskan untuk menangani kasus sedang dan ringan. Rumah-rumah sakit rujukan lain difokuskan untuk penanganan gejala berat dan kritis. Biasanya yang memerlukan layanan ICU adalah kasus yang berat dan kritis.
Dengan komposisi tim seperti sekarang, siapa yang berperan utama dalam pengambilan kebijakan strategis?
Pengambilan kebijakan pentingnya pasti yang memimpin, yaitu Pak Luhut dan Pak Doni. Tapi kan enggak bisa pemimpinnya banyak lalu semua mengambil keputusan. Karena Pak Luhut yang ditugasi, ya Pak Luhut yang memimpin. Kami aktif sekali, hampir setiap hari (berinteraksi) dan enggak cuma sekali dalam sehari.
Apa saja kendala yang dihadapi Satgas dalam penanganan pandemi sejauh ini?
Musuh kami itu ada tiga, yaitu virus, ego sektoral, dan pemberitaan yang negatif. Virus sebenarnya gampang. Dengan kita kenal musuhnya, kita kenal diri kita, kita melakukan penyesuaian sudah langsung bisa. Yang paling sulit itu ego sektoral.
Apakah masih terjadi sampai sekarang?
Ya masihlah. Jangan langsung diarahkan cuma ke Kementerian Kesehatan. Semua sektor ego. Itu tantangan yang paling berat karena kita sejak awal tidak dilatih untuk berkolaborasi.
Bagaimana cara mencairkan ego sektoral tersebut?
Harus punya empati, saling komplemen. Itu berat sekali. Kalau semua ingin menang sendiri kan susah. Kepemimpinan yang menyadari adanya itu dan terus menjalin pola hubungan dan tidak konfrontatif akhirnya bisa mencairkan untuk bergerak.
Sejauh mana peran Menteri Kesehatan dalam penanganan pandemi?
Kewenangan untuk menjalankan program atau kegiatan yang kaitannya dengan kesehatan pasti ada di Kementerian Kesehatan. Lalu, dengan adanya desentralisasi, pasti kewenangannya juga terbagi ke daerah. Kondisi ini tentunya menyulitkan penyelesaian masalah. Satu pihak merasa dari pusat adalah kewenangannya. Sedangkan di daerah merasa punya kewenangannya sendiri. Padahal sekarang dituntut sistem komando supaya langkahnya sama. Tapi sistem politik dan tata kelola kita enggak memudahkan untuk seperti itu. Kalau saya gambarkan itu 50 : 50. Presiden dengan para menterinya itu punya kekuasaan 50 persen. Gubernur, bupati, dan wali kota se-Indonesia punya 50 persen. Jadi harus mencari chemistry yang pas.
Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satuan Tugas Penanggulangan COVID-19 Profesor Akmal Taher mundur dari posisinya. Apa penyebabnya?
Masalah pandemi ini multidimensional. Interaksinya multisektor. Cara kita berinteraksi mungkin tidak biasa. Kita yang dulu tidak terbiasa berkolaborasi sekarang disuruh kolaborasi. Dinamikanya kan berbeda-beda. Kalau kita tidak biasa bekerja dengan TNI lalu bekerja dengan TNI bisa terkaget-kaget. TNI juga begitu. Saya tadi bilang kalau ego sektoral menjadi salah satu tantangan. Kita harus punya empati, kesabaran, dan kecepatan juga dalam bertindak.
Benarkah Profesor Akmal mundur setelah mendapat teguran dari Menteri Luhut?
Misalnya begitu, ditegur, so what? Kami sedang bersinergi dan kadang ada ketidakcocokan dalam berkomunikasi. Ada orang yang bisa terima, ada yang tidak bisa terima.
Ditegur soal apa?
Saya enggak ikut (rapatnya), jadi enggak ngerti detailnya. Intinya semua ingin melakukan cepat. Tapi ilmunya kan beda-beda.
Apa yang diperdebatkan waktu itu?
Tentang pengobatan pasien.
WIKU BAKTI BAWONO ADISASMITO | Tempat dan tanggal lahir: Malang, Jawa Timur, 20 Februari 1964 | Pendidikan: Dokter hewan dari Institut Pertanian Bogor (1988); Master of Science dari Colorado State University, Amerika Serikat (1990); Doctor of Philosophy dari Colorado State University, Amerika Serikat (1995); Guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2010) | Karier: Sekretaris Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit Universitas Indonesia (1996-1999); Ketua Unit Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2005-2006); Deputi Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia (2006-2007); Direktur Kemitraan dan Inkubator Bisnis Universitas Indonesia (2007-2014); Sekretaris Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (sejak 2019); Adjunct Professor di Tufts University bidang Global Health & Infectious Diseases dan Affiliate Professor di University of Minnesota, Amerika Serikat, bidang Environmental Health Sciences (sejak 2018); Pengelola Global Health True Leaders (sejak 2014); Pengelola Global Health Diplomacy (sejak 2017) | Organisasi: Direktur Eksekutif LSM Pelangi Indonesia (1994-1999), Kepala Bidang Fund Raising Kompartemen Lingkungan Kamar Dagang dan Industri (1998-2000), Senior Vice President Badan Penyehatan Perbankan Nasional (2000-2004), Wakil Ketua Matsushita Gobel Foundation (2007), Anggota Gugus Tugas Epidemi Flu Burung (2006-2007), Anggota Asian Partnership for Avian Influenza Research dan Staf Ahli Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan menghadapi Pandemi Influenza (2008-2010), Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 (2020) | Penghargaan: Satyalancana Karya Satya (2010 dan 2019)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo