Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Antrean Ambulans di Kemayoran

Pasien mengeluhkan fasilitas dan pelayanan rumah sakit isolasi Covid-19. Peralatan medis tak memadai dan prosedur isolasi dinilai berbelit.

3 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pembanguan rumah sakit khusus corona di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, Maret 2020. ANTARA/M N Kanwa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pasien Covid-19 di Rumah Sakit Khusus Infeksi Pulau Galang menilai pelayanan dan fasilitas di sana tak optimal.

  • Di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet, terjadi antrean pasien. Prosedur masuk bagi pasien pun dinilai tak praktis.

  • Fasilitas isolasi yang disiapkan pemerintah DKI Jakarta diklaim siap, meski masih belum mendapat pasokan alat pelindung diri menjelang peresmian.

DEWI Anggraeni—namanya disamarkan—baru tiba di Rumah Sakit Khusus Infeksi Covid-19 di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, pada 26 September lalu ketika dadanya tiba-tiba sesak. Dalam kondisi nyaris pingsan, dia menyusuri lorong rumah sakit untuk meminta bantuan oksigen. Tak menemukan suster, Dewi malah kesasar ke bangsal perawatan laki-laki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang perawat di ruangan itu kemudian mengantar Dewi ke paviliun perempuan. Dewi langsung meminta tabung oksigen murni, tapi perawat tak segera memberikannya. “Saya baru menerima oksigen keesokan harinya,” katanya ketika ditelepon pada Kamis, 1 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewi dinyatakan positif terjangkit Covid-19 setelah dua kali menjalani tes usap pada 22 September lalu. Sembilan hari sebelumnya atau 13 September, hidung Dewi mulai tak bisa membaui wangi parfum. Setelah daya penciumannya hilang, tubuh Dewi disergap demam dan batuk.

Mobil ambulance mengantar pasien covid-19 di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, 16 Sepetember 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat

Dewi bercerita, dia sering berurusan dengan alat bantu pernapasan selama dirawat di Rumah Sakit Galang. Menurut dia, ukuran tabung oksigen di sisi ranjangnya sangat kecil sehingga cepat habis. Suatu pagi Dewi hendak menghirup udara murni, tapi tabung sudah kosong padahal baru dipasang pada sore hari sebelumnya. “Sepertinya fasilitas di Galang terbatas karena bukan rumah sakit perawatan, melainkan tempat isolasi,” ujarnya.

Tabung oksigen bukan satu-satunya masalah yang dihadapi Dewi selama dikarantina. Bel pasien di sisi dipannya pun tak berfungsi. Ia pernah harus ke luar kamar untuk meminta pertolongan kepada perawat karena lonceng darurat itu rusak. Dewi juga merasa sumber air bersih di Rumah Sakit Galang berminyak dan lengket. Ia menduga kondisi air itu lantaran lokasi rumah sakit yang berada di dekat rawa.

Di Galang, Dewi dirawat di sebuah kamar yang berisi lima orang. Aktivitas kebersihan seperti menyapu dan mencuci dilakukan sendiri. Saban pagi, para pasien berolahraga dan berjemur, kemudian dokter baru mengontrol dan memberi resep obat. Menurut Dewi, dokter memberi enam jenis obat untuk diminum tiga kali dalam sehari.

Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I—yang membawahkan operasi Rumah Sakit Galang—Kolonel Aris Mudian mengatakan fasilitas dan pelayanan di rumah sakit darurat itu sudah bagus dan tertib. Ia mengaku akan memeriksa langsung ke lapangan jika ada pasien yang mengeluhkan kualitas perawatan di Galang. “Akan saya cek ke sana,” ucap Aris.

Di Rumah Sakit Darurat Covid-19 di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, kerepotan serupa dialami keluarga Irfan Prabowo. Pria 28 tahun ini mengatakan keluarganya dinyatakan terinfeksi corona setelah menjalani swab test di sebuah klinik di Kemang, Jakarta Selatan. Tak sanggup menjalani isolasi mandiri karena tinggal di apartemen, pada 17 September itu Irfan mengantar kerabatnya mencari rumah sakit rujukan.

Irfan menghubungi pusat kesehatan masyarakat di Menteng, Jakarta Pusat, tapi pelayanan di sana sedang tutup karena ada pegawai yang positif corona. Kemudian dia menelepon puskesmas Kecamatan Senen, tapi tak kunjung ada jawaban. Irfan akhirnya membawa keluarganya ke Rumah Sakit Umum Daerah Tanah Abang. Bertemu dengan seorang dokter berpakaian pelindung lengkap, kerabat Irfan disebut tak bisa dirawat di sana. “Katanya rumah sakit sudah penuh dan hanya untuk pasien gejala sedang dan kritis,” ujar Irfan. Dokter itu menyarankan Irfan pergi ke puskesmas terdekat untuk mendapat rujukan ke Wisma Atlet.

Sempat singgah di Puskesmas Bendungan Hilir, Irfan tak bisa memperoleh rujukan karena bukan warga setempat. Ia pun langsung menuju Wisma Atlet Kemayoran berbekal surat keterangan positif Covid-19. Di gerbang masuk, petugas tak bisa menerima keluarga Irfan karena mereka belum membawa surat rujukan.

Irfan kemudian mengantar kerabatnya ke Rumah Sakit Mitra Keluarga, persis di samping Wisma Atlet. Di sana, kerabatnya harus menjalani CT scan dan foto toraks sebelum mendapat surat rekomendasi karantina di Wisma Atlet. Irfan membayar sekitar Rp 6 juta untuk prosedur itu. Kemudian rekomendasi pun terbit.

Saat surat itu dibawa ke petugas Wisma Atlet, izin masuk tak juga diberikan. Menurut Irfan, kerabatnya harus mendapat persetujuan dari dokter jaga yang sedang berdinas di rumah sakit darurat itu. Irfan kemudian dibantu seorang sahabat yang kebetulan sedang dirawat di Wisma Atlet untuk memberi tahu dokter jaga bahwa keluarga Irfan membutuhkan konfirmasi dari tim dokter. Setelah itu, kerabat Irfan baru boleh masuk. “Saya membayar jasa ambulans sekitar Rp 1,2 juta hanya untuk pengantaran sejauh 400-an meter,” tuturnya.

Menurut Irfan, pada hari kerabatnya dirawat, belasan ambulans bolak-balik mengantar pasien ke Wisma Atlet. Ia menyaksikan ada pasien yang juga diantar dengan mobil pribadi. Seketika tiba di lobi Wisma Atlet, sejumlah anggota keluarganya turun dengan mengenakan alat pelindung diri lengkap seperti halnya tenaga medis. “Ramai banget waktu itu,” kata Irfan. Pada Selasa, 29 September lalu, kerabat Irfan sudah diizinkan pulang dari Wisma Atlet.

Jumlah pasien tanpa gejala (OTG) dan gejala ringan yang dirawat di Wisma Atlet melonjak setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan rencana pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara ketat pada Rabu, 9 September lalu. Salah satu alasan Anies memutuskan PSBB ketat adalah kelangkaan ranjang perawatan karena lonjakan jumlah kasus positif di Jakarta. Hingga 2 Oktober lalu, Menara 4 dan 5—khusus untuk pasien OTG dan gejala ringan—telah dihuni 5.433 orang, dengan sekitar 3.000 orang di antaranya sudah diizinkan pulang. Padahal dua tower itu baru beroperasi pada 15 September lalu.

Pada pertengahan September lalu, rekaman antrean ambulans yang hendak masuk ke Wisma Atlet juga viral di media sosial. Kepala Pusat Kesehatan TNI Angkatan Darat, Mayor Jenderal Tugas Ratmono, menyebutkan antrean itu terjadi karena jumlah pasien Covid-19 yang datang memang lebih banyak dibanding hari biasa. Meski begitu, Tugas Ratmono menjamin Wisma Atlet masih mampu menampung pasien yang akan menjalani isolasi mandiri.

Presiden Joko Widodo meninjau kesiapan RS Darurat di Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, April 2020. BPMI/setkab.go.id

Hilir-mudik ambulans juga masih tampak pada Kamis malam, 1 Oktober lalu. Pada pukul 21.00-22.00, sepuluh mobil tampak masuk ke gerbang antar pasien di Wisma Atlet. Empat kendaraan di antaranya ambulans. Pada malam itu, sedikitnya 4.000 pasien sedang dirawat di Wisma Atlet.

Adapun pemerintah DKI Jakarta menyiapkan tiga lokasi isolasi baru. Lewat Keputusan Gubernur Nomor 979 Tahun 2020 tentang Lokasi Isolasi Terkendali Milik Pemerintah DKI Jakarta, Anies Baswedan menunjuk Graha Wisata Ragunan, Graha Wisata Taman Mini, dan Jakarta Islamic Center sebagai tempat karantina.

Graha Wisata Ragunan berbenah menyambut pasien corona yang akan diisolasi di sana. Ada 76 kamar yang bisa menampung 152 pasien OTG dan gejala ringan. Tenda putih untuk pos kesehatan sudah berdiri di halaman Graha Wisata pada Jumat, 2 Oktober lalu. Adapun kamar isolasi telah tertata dengan dua ranjang yang dibungkus seprai dan selimut cokelat.

Achmad Sarbini, tenaga ahli Graha Wisata, menyebutkan fasilitas isolasi di sana baru resmi dibuka pada 10 Oktober mendatang. Tak ada renovasi besar-besaran di Graha Wisata karena tempat itu pernah dipakai menjadi penginapan tenaga kesehatan pada awal pandemi. Hanya pipa saluran air bersih dan koneksi Internet di setiap kamar yang diperbaiki. “Di luar itu, kami masih menunggu pasokan alat pelindung diri menjelang pembukaan tempat isolasi ini,” ujar Achmad.

RAYMUNDUS RIKANG, YOGI EKA SAHPUTRA (BATAM)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus