Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

'Amrozi' Membajak Bus

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKO Purwanto, 42 tahun, mungkin sangat terobsesi dengan Amrozi. Dalam pengamatannya, barangkali, pelaku bom Bali itu sangat berani dan murah senyum. Terkenal lagi! Ketika kebutuhan ekonomi mengimpitnya, Eko lantas ingin menjadi "Amrozi": merakit bom untuk membajak bus. Namun, meskipun menghabiskan dua minggu, lelaki asal Ambarawa, Jawa Tengah, itu bukan merakit "bom" sejati. Memang menggunakan paralon seperti yang dipakai Amrozi dan kawan-kawan, tapi "bom" Eko tanpa bahan peledak. Paralon sepanjang 20 sentimeter itu ia cat merah, lalu diisinya dengan pasir dan semen. Agar terlihat kayak bom beneran, ia mengaitkan kabel yang dirangkai dengan komponen ponsel mainan yang bisa berkedap-kedip. Nah, ia pun beraksi, Rabu siang pekan lalu. Dengan mengenakan jaket yang di dadanya terpasang "bom" itu, ia naik bus jurusan Rawamangun-Bandara Soekarno-Hatta. Ketika bus memasuki jalan tol, ia berteriak, "Saya akan ledakkan bus ini! Kalau ingin hidup, diam semua! Serahkan semua uang. Saya sedang mencari dana," ancamnya sambil menunjukkan dadanya yang digantungi "bom" yang berkerlap-kerlip. Eko juga meletakkan bungkusan bom di pangkuan kenek bus, yang berdiri di samping sopir. Tentu saja penumpang panik. Mereka lantas merelakan isi dompet dan ponselnya dirampas. Eko memasukkan hasil rampasannya ke tas plastik hitam. Tapi, baru beberapa telepon sempat diambil Eko, sopir bus menyuruh keneknya membuang keluar bom made in Ambarawa itu. Pada saat bersamaan, sopir bus melihat mobil patroli polisi di jalan tol. Ia lantas memberi tanda dan membunyikan klakson berulang-kali. Dan priiit…, bus dihadang petugas. Begitu bus berhenti, Eko langsung mendapat acungan pistol ditambah bogem mentah dari sejumlah penumpang yang geram akan ulahnya. Akibatnya, Amrozi gadungan itu babak-belur. Kepada petugas, Eko mengaku bertindak nekat karena perlu uang untuk membayar sewa rumahnya di Condet, Jakarta Timur. "Sudah beberapa hari ini telat membayar," katanya lirih. Berbeda dengan Amrozi, Eko tak sempat bercengar-cengir. Jaksa Plus BILA semua jaksa seperti Dwi Samudji, tugas polisi akan lebih ringan. Pekerjaan menangkap, memeriksa, dan menuntut diborongnya sendiri, dua minggu lalu. Kisah jaksa plus ini bermula ketika Hasan Abdullah menjadi tahanan Lembaga Pemasyarakatan Lowokwuru, Malang, Jawa Timur, karena kasus pemalsuan surat nikah. Adalah Zaenah, adik Hasan, yang disunting Faisal bin Abdul Kadir al-Hadadi. Pasangan ini tak dikaruniai anak. Begitu Faisal meninggal, Hasan kelimpungan. Ia tahu, harta peninggalan iparnya itu sangat banyak. Tentu saja ia tak mau adiknya berbagi harta dengan saudara-saudara Faisal. Lantas, disusunlah skenario: selain Zaenah, Faisal juga mempunyai istri Nurjamilah—yang juga harus diberi bagian. Sudah pasti Nurjamilah setuju karena diiming-imingi akan mendapat bagian. Singkat cerita, keluarga besar Faisal tak terima. Mereka melaporkan Hasan ke polisi, dan ia dikenai vonis satu tahun penjara oleh hakim di Pengadilan Negeri Malang. Namun, lembaga pemasyarakatan tak mau menerima Hasan karena dokumen penahanannya tak disertai stempel kejaksaan. Bahkan ia sempat sakit dan dibawa ke rumah sakit. Tapi, di rumah sakit, Hasan hanya perlu istirahat sebentar, lalu dibolehkan pulang ke rumah. Tentu saja Jaksa Dwi kalang-kabut. Ia berusaha mencari Hasan ke rumahnya, yang tak ia temukan. Menurut istrinya, sang terpidana sedang ke apotek. Dwi tak percaya begitu saja. Ia lantas menunggui Hasan di dekat rumahnya. Eh, benar. Lima jam kemudian, datang taksi menjemput. Hasan dan istrinya terlihat bergegas masuk ke mobil sewaan yang segera tancap gas. Takut buruannya lepas, Dwi menguntit dengan mobil tahanan dalam jarak aman. Begitu taksi yang ditumpangi Hasan melintasi pos polisi, Dwi langsung memburu dan menyalip, yang menimbulkan kemacetan dan antrean panjang. Dwi pun jadi sasaran sumpah-serapah. "Untung cuma caci-maki. Kalau saya dikeroyok?" tutur sang Jaksa, yang berhasil membawa Hasan kembali ke bui. Agus S. Riyanto, Yura Syahrul, Abdi Purmono (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus