Mulanya sepotong rahang atas dan bawah dari sebuah kerangka. Menyusul, tengkorak bagian belakang dari kerangka kedua.
Puncaknya adalah kerangka ketiga dalam posisi tidur meringkuk di atas sebuah batu andesit. Maka meledaklah segenap anggota tim penggali itu dalam kegembiraan. Tiga kerangka manusia prasejarah itu ditemukan oleh tim ahli arkeologi dari Balai Arkeologi Bandung, yang dipimpin Lutfi Yondri. Sejak September lalu, mereka mengikis lapisan tanah dengan sumpit kayu dan kuas, hampir setiap hari.
Dua pekan silam, kelelahan itu terobati saat mereka menemukan tiga kerangka tersebut di dasar lubang galian sedalam hampir dua meter di Gua Pawon. Gua ini terletak di dekat Desa Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung. Di gua ini, tim ahli arkeologi dari Bandung itu akhirnya berhasil mengumpulkan empat kerangka manusia prasejarah. Lutfi menduga kerangka-kerangka ini, yang dinamai Manusia Pawon, berasal dari periode Holosen—masa hingga 10 ribu tahun lalu. Hal ini diperkuat oleh temuan artefak perkakas khas periode itu.
Nah, dugaan ini harus dipastikan dengan penanggalan mutlak, misalnya dengan analisis karbon. Namun Lutfi percaya temuannya itu memiliki umur yang mendekati temuan-temuan manusia gua sebelumnya dari daerah lain. Menurut Truman Simanjuntak, peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, banyak temuan manusia gua yang memiliki penanggalan mutlak antara 9.000 dan 5.000 tahun lalu. Misalnya kerangka manusia prasejarah di Gua Song Keplek, dekat Desa Pagersari, Kecamatan Punung, Pacitan, Jawa Timur. Memiliki ciri-ciri antropologi sebagai ras Mongoloid, kerangka ini ditemukan pada 1991 dan menjadi unik karena berpotensi merontokkan Teori Migrasi, yakni teori yang menyebutkan Austronesia—masyarakat berbahasa Austronesia—di Asia Tenggara berasal dari Pulau Taiwan.
Teori Migrasi dari Taiwan dipopulerkan oleh Peter Bellwood, profesor antropologi dari Australian National University. Menurut dia, Austronesia berasal dari Pulau Taiwan, yang terletak di lepas pantai sebelah tenggara daratan Cina. Dari Taiwan inilah, sekitar 5.000 tahun lalu, terjadi migrasi ras Mongoloid ke selatan. Mereka masuk ke Indonesia melalui Sulawesi Utara dan Kalimantan Utara sekitar 4.000 tahun lalu. Kemudian ada yang turun ke Jawa dan terus ke Sumatera hingga ke Malaysia. Ada juga yang ke Maluku, Papua, terus ke Pasifik hingga Polinesia dan Mikronesia. Teori ini cukup kuat karena bukti linguistik dan arkeologi yang ditemukan di Taiwan lebih tua ketimbang di Nusantara.
Namun, dalam sebelas tahun terakhir, Teori Migrasi dari Taiwan mendapat saingan: Teori Paparan Sunda. Menurut teori ini, manusia penutur bahasa Austronesia berasal dari wilayah Paparan Sunda, yang melingkupi Indocina, Malaysia, Indonesia, dan Kalimantan. Paparan Sunda merupakan benua yang luasnya dua kali India saat ini. Laut Cina Selatan, Teluk Thailand, dan Laut Jawa dulunya kering dan menjadi bagian dari wilayah tersebut.
Teori Paparan Sunda kian populer setelah Stephen Oppenheimer, dokter anak dari Inggris, menerbitkan buku: Eden in the East: The Drowned Continent of the Southeast Asia (1998). Dalam buku itu, Oppenheimer menghimpun bukti dari ilmu etnografi, arkeologi, oseanografi, mitologi, analisis DNA (deoxyribonucleic acid), dan linguistik. Oppenheimer yakin, di Paparan Sunda ada peradaban yang menurunkan kebudayaan besar Timur Tengah pada 6.000 tahun lalu. Bencana yang dikaitkan dengan banjir di zaman Nabi Nuh menyebabkan penduduk Paparan Sunda menyebar: ke barat menuju Asia, ke Jepang di utara, serta ke Pasifik di timur. Mereka menjadi cikal-bakal masyarakat Austronesia.
Asal-usul masyarakat Austronesia dibahas dalam Kongres Indo-Pasifik di Taiwan pada September 2002. Tapi tetap tak ada kesepakatan teori mana yang dipakai. Kedua kelompok penganut Teori Migrasi dan Paparan Sunda terus mencari bukti untuk memperkuat keberadaannya. Itu pula yang dilakukan Truman bekerja sama dengan Lembaga Eijkman, yang dipimpin Profesor Sangkot Marzuki.
Truman mengakui, mereka sudah dua tahun bekerja sama, yang dimulai dengan menganalisis sampel tulang dari situs Plawangan di Rembang, Jawa Tengah, yang berumur 3.500 tahun, dan situs Gilimanuk, Bali, yang berusia 2.320 tahun. Dengan metode analisis DNA mitokondria yang dikuasai peneliti Lembaga Eijkman, dipastikan adanya hubungan genetis antara manusia yang hidup di Plawangan 2.000 tahun yang lalu dan manusia Jawa sekarang. Hal yang sama ditemukan pada sampel tulang asal situs Gilimanuk.
Penelitian kemudian dilanjutkan dengan menganalisis DNA mitokondria sampel tulang yang lebih tua. Kali ini menggunakan kerangka manusia Gua Song Keplek yang memiliki ciri-ciri ras Mongoloid. Berdasarkan penanggalan dengan uranium-thorium yang dilakukan di Prancis, kerangka itu berumur 7.000 tahun. Wuryantari, peneliti Eijkman yang terlibat dalam analisis DNA mitokondria itu, memberikan keterangan, ”Ingin membuktikan apakah tulang-tulang tersebut Mongoloid atau Austromelanosoid, yaitu populasi yang mendiami Nusantara sebelum digantikan oleh Mongoloid.”
Jika Wuryantari dapat memastikan tulang itu Mongoloid, berarti 7.000 tahun yang lalu sudah ada ras Mongoloid yang mendiami Indonesia. Padahal, menurut Teori Migrasi dari Taiwan, ras Mongoloid yang berbahasa Austronesia itu sampai di Sulawesi Utara sekitar 4.000 tahun yang lalu.
Analisis DNA mitokondria ini amat penting bagi Teori Paparan Sunda. Itu sebabnya, meski telah menyelesaikan analisisnya, Wuryantari menolak mengungkapkan hasilnya. Alasannya? Harus dikonfirmasikan dengan analisis serupa yang dilakukan laboratorium lain. ”Kemungkinan laboratorium di Cina yang melakukannya,” ungkap Wuryantari.
Dody Hidayat (Jakarta), Bobby Gunawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini