Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#990000>Mesiu</font> di Balik Rangkaian Bunga

Aksi peledakan Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton dibantu orang dalam. Sistem keamanan bolong-bolong.

27 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMAR itu bak kapal pecah. Seprai, bantal, dan kasur acak-acakan. Sebuah komputer jinjing tergeletak di atas tempat tidur. Bagian belakang televisi terbongkar dengan kabel berjuntai lepas. Di satu sudut, tergeletak koper terbuka dengan rangkaian bom yang siap meledak. Saat diterobos po lisi, Jumat dua pekan lalu, kamar 1808 Hotel JW Mar riott, Mega Kuningan, Jakarta Selatan ini sudah di luluh-lantak.

”Bom ketiga masih aktif saat itu,” kata Kepala Bidang Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Besar Ketut Untung Yoga Ana, Kamis pekan lalu. Meski begitu, timer bom sudah tak berdetak. ”Bom ini yang seharusnya meledak lebih dulu,” katanya. Regu penjinak bom polisi bergerak sigap. Dengan cekatan, sejumlah kabel dipotong dan perangkat mematikan ini pun lumpuh.

Kurang-lebih setengah jam sebelumnya, dua bom menebar maut di JW Lounge, Hotel JW Marriott, dan Restoran Airlangga, Hotel Ritz-Carlton. Disetel hampir bersamaan dengan jeda 10 menit ledakan kembar ini mengoyak kete nangan Indonesia, yang empat tahun terakhir tanpa bom. Sembilan orang tewas, termasuk dua orang pelaku bom bunuh diri. Tak kurang dari 55 orang menderita luka-luka.

Temuan bahan peledak beserta seluruh isi kamar 1808 adalah durian runtuh buat polisi. Di sana polisi juga menemukan sepuluh set sidik jari terserak di seantero kamar plus segepok alat bukti. Semuanya petunjuk penting untuk melacak dalang aksi berdarah ini.

Kamar ini ditemukan tak sengaja. Sesaat setelah evakuasi korban rampung, tim Gegana polisi langsung menyisir daftar tamu. Nama ”Nurdin” yang tercatat sebagai penghuni kamar 1808 langsung membangkitkan curiga. ”Insting penyidik mencium sesuatu,” kata sumber Tempo di kepolisian.

Sampai akhir pekan lalu, polisi yakin kamar 1808 di JW Marriott adalah pusat komando operasi peledakan. Di sinilah para pelaku mempersiapkan bom dan bersiap-siap, sebelum turun ke lobi dan meledakkan diri. Pertanyaannya: bagaimana kelompok teroris bisa menyusup masuk dan menyelundupkan bom mematikan dengan begitu leluasa?

l l l

SEPANJANG pekan lalu, tim Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri bekerja keras mencari keping-keping kecil dari teka-teki raksasa peledak an JW Marriott dan Ritz-Carlton. Belasan petugas dengan topi dan rompi hitam berlogo ”Identifikasi” menyisir kedua lokasi ledakan. Sesekali mereka merunduk, jongkok, dan mengambil sesuatu dari lantai.

”Coba bantu cari mur seperti ini ya,” kata satu petugas forensik polisi kepada karyawan Hotel Ritz-Carlton yang membantunya membersihkan Coffee Shop Restoran Airlangga yang porak-poranda. Mur yang ditunjukkannya berukuran lima sentimenter. Di kedua titik ledakan, mur seperti itu bertebar an di mana-mana. Yang terjauh ditemukan di pinggir jalan raya, hampir 300 meter dari pusat bom.

”Ada juga mur yang menancap di tembok,” kata sumber Tempo di hotel itu. Selain itu, polisi juga rajin mencari serpihan plastik hijau, yang diduga bagian dari Tupperware, wadah plastik yang dipakai pengebom untuk mengemas adonan mautnya.

Sampai empat hari pasca-ledakan, tim forensik masih terus mencari serpihan alat bukti. ”Karena lama belum dibersihkan, bau ruang JW Lounge sekarang amis sekali,” kata satu karyawan JW Marriott. Entah muncul dari mana, kucing-kucing liar menerabas masuk, mencari kerat daging yang tersisa. ”Saya sempat menemukan sepotong tubuh manusia, penuh belatung saking lamanya teronggok di sana,” kata staf lain.

Kombinasi mur baut, Tupperware hijau, plus campuran bahan peledak potasium nitrat belerang arang juga di temukan polisi pada bom yang dijinakkan di kamar 1808. ”Ini bahan peledak yang biasa dipakai kelompok Noor Din Mohd. Top,” kata sumber Tempo di kepolisian. Fakta itu plus cabikan kain di kamar yang serupa dengan serat kain di tubuh pengebom bunuh diri—memperkuat dugaan bahwa bom dipersiapkan di kamar tersebut.

Dalam aksi-aksi teror sebelumnya, kelompok Noor Din biasa menggunakan gotri sebagai penambah daya bunuh bom mereka. Saat meledak, gotri ini melesat bagai peluru ke segala arah. ”Kali ini, untuk pertama kalinya, peran gotri diganti mur baut,” kata sumber Tempo.

Perubahan signifikan kedua yang dilakukan para pelaku kali ini adalah keberaniannya menyerang sasaran dari dalam. Dalam semua aksi sebelumnya, serangan selalu dilakukan dari luar. Bom Bali pertama pada Oktober 2002, bom Marriott pertama setahun kemudian, dan bom di Kedutaan Besar Australia pada September 2004, menggunakan pola serangan bom mobil: menghantam target dari jalan raya.

”Serangan dari dalam membutuhkan perencanaan yang lebih matang, serta akurasi dan ketelitian,” kata analis keamanan, Noor Huda Ismail, pekan lalu. Dia menduga operasi pengeboman ini dijalankan sedikitnya tiga tim terpisah: tim surveillance yang memeriksa lokasi, tim logistik yang menyiapkan bom, dan tim eksekutor. ”Persiapannya mi nimal dua-tiga bulan,” kata Huda.

Sumber Tempo lain menunjukkan satu bukti kecanggihan kerja pelaku bom kali ini. ”Mereka tahu persis bakal ada pertemuan bisnis Castle Asia yang dihadiri banyak tamu penting pada hari dan jam itu,” katanya. Bahkan dia berani bertaruh, pengebom tahu tidak ada satu kamera cctv pun di area JW Lounge, tempat rapat berlangsung. ”Kamera cctv ada di Restoran Syailendra, dan karena itulah mereka menghindari tempat itu.”

Ada satu faktor lagi, yang amat menentukan keberhasilan serangan ma cam ini: bantuan orang dalam.

l l l

IBROHIM bukan orang baru di kalangan perhotelan. Pria 38 tahun, berperawakan tinggi, dan berkulit cerah ini pernah lama bekerja di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta. ”Sejak 1998 dia bekerja di sini sebagai penata bunga,” kata satu karyawan Hotel Mulia yang menolak disebut namanya, pekan lalu.

Pada 2005, Ibrohim, yang biasa dipanggil Boim oleh kawan dekatnya, pindah kerja ke Hotel Ritz-Carlton. Saat itu hotel bintang lima milik konglomerat properti Tan Kian ini baru saja resmi beroperasi. Menurut rekannya di Hotel Mulia, pemicu kepindahan Boim sebenarnya sepele: ada staf lain yang masa kerjanya lebih pendek namun mendapat promosi terlebih dulu. ”Boim merasa dianaktirikan,” kata satu rekannya.

Namun rekannya yang lain punya pendapat berbeda. Di Hotel Mulia, posisi Boim adalah karyawan tetap. Gajinya sekitar Rp 3 juta per bulan. Sementara di Hotel Ritz-Carlton, meski sama-sama bekerja di bagian florist, dia hanya karyawan outsourcing. Pendapatannya terakhir ditaksir hanya Rp 2 juta per bulan. ”Untuk pegawai hotel, ini mencurigakan. Kenapa dia mau turun status dan turun penghasilan?” tanya satu mantan kawan sekerja Boim.

Di tempat kerja, Boim dikenal pendiam, sopan, dan taat beragama. Saban hari, sebelum jam kerja dimulai, dia kerap terlihat di musala hotel, me nu naikan salat duha. ”Dia juga tidak mau bergaul dengan orang yang suka hura-hura, dan tidak suka keluar malam,” kata kawannya. Dalam pesta tahunan karyawan yang digelar manajemen hotel, Boim tak pernah terlihat joget. ”Orangnya lurus,” katanya.

Di Ritz-Carlton, perilaku seperti itu diteruskannya. ”Orangnya nggak aneh-aneh, kerjanya juga bagus,” kata satu karyawan Ritz, yang juga menolak disebut namanya, kepada Tempo. Sebagai penata bunga, Boim memiliki akses untuk pergi ke semua lantai, meski tidak dibekali kunci master kamar. Sehari-hari, dia tidak memakai seragam dan tidak mengenakan tanda pengenal. ”Kadang hanya pakai jeans dan kaus polo,” katanya.

Andi Nurhandi, kawan satu kos Boim di Jalan Eks AURI, Mega Kuningan, mengaku sudah menangkap gelagat buruk ketika rekannya membuat surat wasiat satu hari sebelum bom meledak. ”Isinya pesan agar kami tidak mening galkan salat lima waktu,” kata Andi. Rosi, rekan kerja Boim yang lain, tidak membantah cerita Andi. ”Saya sudah laporan polisi. Sudah ya,” katanya ketika dihubungi via telepon, pekan lalu.

Sidney Jones, analis terorisme Asia Tenggara, menilai adanya surat wasiat semacam itu adalah indikasi kuat Ibrohim dipersiapkan jadi ”pengantin”. Sejak bom Bali kedua, empat tahun lalu, para pengebom bunuh diri menamakan diri mereka: ”pengantin”.

l l l

”SISTEM keamanannya sudah rusak,” kata sumber Tempo yang paham seluk-beluk pengamanan Hotel JW Marriott, pekan lalu. Dia mengaku tak heran bahan peledak bisa diselundupkan dengan leluasa ke dalam hotel berbintang lima itu. Terus terang dia membeberkan beberapa bolong model pengamanan, mulai dari hal kecil seperti penerapan prosedur standar operasi yang tidak konsisten sampai soal gawat seperti rusaknya peralatan.

Salah satu kunci lolosnya bahan peledak ke dalam hotel adalah rusaknya empat alat deteksi bom milik Mar riott. ”Sudah lama rusak, diminta perbaikan, belum juga dipenuhi,” katanya. Alat khusus bernama vapor and trace detector (VTD) itu berharga Rp 500 juta sebiji. Bentuknya seperti ga gang penyedot debu. ”Dipakainya mudah, tinggal moncongnya dimasukkan ke tas tamu, langsung bisa mendeteksi bahan kimia atau mesiu,” kata sumber ini. Karena itulah, saat para pelaku memasuki hotel, pemeriksaan hanya dilakukan manual, dengan tangan.

Tak hanya itu, berbeda dengan standar pengamanan hotel berbintang lima lainnya, Ritz-Carlton dan JW Marriott tidak dilengkapi kamera pengawas cctv di setiap koridor kamar. ”Akibatnya, siapa saja yang keluar masuk kamar tidak terpantau sempurna,” katanya.

Menurut sumber Tempo, penghuni kamar 1808 memasang tanda ”do not disturb” di pintu kamarnya dua hari berturut-turut, tanpa sekali pun dipe riksa petugas keamanan. Padahal, di banyak hotel lain, jika tanda itu dipa sang tiga jam saja tanpa dilepas, manajer yang bertugas harus turun mengetuk pintu kamar. ”Kualitas pengamanan memang menurun,” katanya.

Semua kelemahan ini diperparah oleh buruknya kinerja petugas keamanan di pintu keluar-masuk staf hotel. Menurut pengakuan staf Ritz-Carlton, pemeriksaan badan atas karyawan dilakukan asal-asalan. ”Bahkan, jika sudah kenal dengan petugas itu, meski detektor berbunyi, kita bisa terus masuk,” katanya. Pelatihan pengenalan bahan bom, surveillance, dan counter-surveillance yang dulu pernah diberikan Kedutaan Besar Amerika Serikat tak berbekas.

Staf Hubungan Masyarakat Hotel JW Marriott menolak berkomentar tentang temuan ini. ”Saya tidak punya otoritas untuk menjawab,” kata satu staf. Pesan pendek yang dikirimkan Tempo pun tidak direspons.

Wahyu Dhyatmika, Iqbal Muhtarom, Amandra Mustika, Deffan Purnama (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus