Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rekapitulasi penghitungan suara pemilu presiden yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum sudah selesai. Komisi pun sudah mengumumkan hasilnya. Pasangan Yudhoyono-Boediono menang dengan suara 60,80 persen, disusul Megawati-Prabowo, dan Jusuf Kalla-Wiranto di urutan ketiga. Yudhoyono-Boediono juga unggul di 28 provinsi. Dengan demikian pemilu presiden cukup satu putaran. Tapi kemenangan Yudhoyono-Boediono baru memiliki kekuatan hukum tetap setelah nanti Mahkamah Konstitusi memutuskan gugatan hasil pemilu presiden atas permintaan dua pasangan lainnya. Jusuf Kalla-Wiranto dan Mega-Prabowo menolak menandatangani hasil pemilu, meskipun Kalla-Wiranto tetap menghadiri pengumuman hasil pemilu di gedung Komisi Pemilihan Umum pada Sabtu lalu.
Hasil rekapitulasi Komisi ini tak mengejutkan. Keme nangan Yudhoyono-Boediono pun bukan berita menarik lagi. Masyarakat sudah ”lebih dulu tahu” karena bebera pa lembaga survei mengumumkan hasil hitung cepat jauh-jauh hari, bahkan selang beberapa jam saja setelah pemungutan suara. Ternyata hitung cepat itu hampir sama hasilnya dengan rekapitulasi Komisi. Lagi pula, rekapitulasi itu masih kalah menarik dibandingkan dengan berita tentang ”bom Marriott” yang tetap menyim pan misteri.
Sikap tenang masyarakat untuk menerima hasil pemilu presiden ini boleh jadi merupakan tanda kedewasaan berpikir. Artinya, demokrasi sudah mulai berjalan di rel yang benar. Kalah dan menang pada setiap pemilihan—apa pun jenis pemilihan itu adalah konsekuensi yang biasa saja. Ketiga pasangan yang sudah mengikrarkan janji siap kalah dan siap menang sekarang dituntut membuktikan ucapannya. Yang kalah sudah waktunya memberikan ucapan selamat kepada yang menang. Yang menang pun mesti mulai merangkul kembali pasangan yang kalah.
Bahwa dalam pemilu presiden kali ini terdapat sejum lah penyimpangan, itu bukan alasan untuk menolak hasilnya dengan sikap ngotot dan mengajak rakyat ”bereaksi”. Ini malah berakibat buruk, baik untuk kestabilan peme rintahan maupun untuk perjalanan demokrasi itu sendiri. Penyimpangan, jika ada, perlu disalurkan ke Mahkamah Konstitusi. Mengutip pernyataan Jusuf Kalla, proses hukum itu bukan untuk menolak hasil pemilu presiden, melainkan untuk memperbaiki pemilu di masa mendatang.
Pemilu yang sekarang, baik legislatif maupun presiden, persiapannya amburadul sejak pembuatan undang-undang. Banyak pasal dalam Undang-Undang Pemilu yang multitafsir dan kini membuat rumit contoh paling jelas pembagian kursi yang sudah ditetapkan Komisi tapi dianulir Mahkamah Agung. Undang-undang pun lahir terlambat, sehingga persiapan Komisi terganggu. Belum lagi daftar pemilih tetap yang masih saja menjadi ”kambing hitam” runyamnya pemilu.
Siapa yang salah? Ini kesalahan bersama, terutama partai politik yang menguasai lembaga legislatif dan eksekutif. Tanpa bermaksud membela pasangan SBY-Boediono, perlu diingat bahwa semua aturan pemilu ini dilahirkan oleh wakil rakyat. Termasuk aturan memi lih anggota Komisi Pemilihan Umum yang kinerjanya dianggap kurang baik. Kisruh daftar pemilih tetap pun bersumber dari data kependudukan yang dibuat aparat pemerintah daerah. Bukankah bupati dan gubernur yang sekarang memerintah di berbagai daerah berasal dari partai politik?
Pemilihan umum perlu terus-menerus diperbaiki. Untuk SBY-Boediono yang kali ini menang, beban berat adalah membuktikan janji-janji selama kampanye. Untuk yang kalah, ujian terberat adalah memberikan ucapan selamat kepada pemenang. JK sudah melakukannya, lalu kapan yang lain menyusul?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo