Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN ulama, 7.000 kitab kuning, dan hari-hari penuh energi. Itulah suasana Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada November 2002. Bolak-balik kitab kuning dibuka, ayat-ayat Al-Quran dirujuk, riwayat para ulama terdahulu dicari relevansinya. "Kami menyusun kitab fikih khusus antikorupsi," kata Tuan Guru Hasanain Juani, motor para ulama ketika itu.
"Islam jelas mengajarkan antikorupsi," kata Tuan Guru Hasanain, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haramain, Lombok Barat. Namun belum ada kitab yang khusus menghimpun fikih korupsi, dalil larangan, dan contoh nyata tindakan antikorupsi. Terminologi korupsi dan aneka istilah turunan di bidang ini pun makin spesifik. "Makin sulit dicari padanannya dalam kitab-kitab lama," kata dia. Walhasil, upaya terobosan atau ijtihad puluhan ulama demi membuat kitab fikih antikorupsi layak diacungi jempol.
Setahun kemudian, terbitlah kitab yang ditunggu-tunggu. Judulnya Fiqh Korupsi: Amanah vs Kekuasaan, yang diterbitkan oleh Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi), pegiat antikorupsi di Nusa Tenggara Barat. Buku ini langsung disebar ke seluruh Indonesia, termasuk ke pesantren-pesantren.
Terbitnya buku itu bukan satu-satunya hal penting. Menurut Hasanain, peraih Ramon Magsaysay Award 2011, gerakan antikorupsi makin mengakar dengan dukungan para ulama. Langkah Somasi pun makin berayun kokoh dengan bekal bismillah dan restu ulama.
Dicetuskan pertama kali pada 23 Mei 1998, Somasi dideklarasikan sebagai organisasi nonpemerintah pada 5 Oktober tahun itu juga. Pendirinya sepuluh orang dengan latar belakang beragam. Ada tokoh agama, akademisi, wartawan, aktivis mahasiswa, dan pengacara. Koordinator pertamanya Adhar Hakim, wartawan SCTV yang basis liputannya di Mataram. Sepanjang 13 tahun berdiri, mereka baru tiga kali berganti kepengurusan. Sejak 2006, Koordinator Badan Pekerja Somasi dijabat Ervyn Kaffah.
Tak cuma menerbitkan buku, Somasi juga membuka pos pengaduan korupsi di kantor mereka di Jalan Dukuh Saleh Nomor 20, Mataram. Selusin laporan masuk saban tahun dari masyarakat. Setelah dianalisis, ditelusuri fakta dan datanya, laporan diteruskan ke kejaksaan setempat atau ke Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta. "Dipilah-pilah sesuai nilai kerugian negara," kata Ervyn.
Tiga belas tahun berdiri, pengakuan datang dari berbagai kalangan. Menurut Dwi Sudarsono, Direktur Yayasan Masyarakat Nusa Tenggara Barat, berkat laporan Somasi, bekas gubernur dan 18 anggota parlemen provinsi masuk bui (baca infografis "Jejak Mereka"). "Somasi gigih mengungkap dan mengawal kasus hingga persidangan," kata Dwi.
Belakangan langkah Somasi sedikit melambat. Penerbitan buku mandek. Regenerasi pun relatif terlambat. "Somasi masih diisi wajah-wajah yang sama," kata Dwi. Tuan Guru Hasanain menilai laju Somasi tak sekencang pada periode 1998-2005. "Sekarang tak terlalu kelihatan," kata dia.
"Susah cari donor," kata Ervyn. Somasi tak lagi mendapatkan dana institusional dari lembaga donor. Padahal dana ini dibutuhkan untuk membiayai seluruh kegiatan organisasi, termasuk membayar gaji pengurus dan sewa kantor. Dana semacam itu terakhir kali diterima dari Ford Foundation pada 2006. "Setelah itu, selama dua tahun tak ada satu pun pengurus yang menerima gaji," kata Ervyn.
Para aktivis Somasi pun harus liat. "Ada yang nyambi beternak, ada yang berjualan kain," kata Ervyn. "Lumayan untuk mengepulkan asap dapur."
Persoalan lainnya, Somasi ogah menerima atau meminta bantuan pemerintah atau Bank Dunia dengan alasan independensi. Meminta dana kepada alumni Somasi pun bukan gagasan bagus. "Alumninya masih kere-kere," kata Ervyn, terbahak.
Strategi pun digelar. Manajemen keuangan diperketat. "Militan tapi tak didukung manajemen keuangan yang bagus bakal sia-sia," kata Hendriadi Jamaluddin, Wakil Koordinator Badan Pekerja Somasi. Pengaturan keuangan itu, antara lain, semua pengurus wajib menyerahkan 70 persen pendapatan mereka (baik dari honor program, menulis artikel di media, maupun honor sebagai pembicara seminar) untuk kas lembaga. Jurus ini sanggup membuat Somasi memutar roda lembaga yang butuh dana operasional sekitar Rp 150 juta saban tahun.
Somasi paham, gerakan antikorupsi tak mungkin dilakukan sendirian. Itulah sebabnya, lembaga ini menggelar program penguatan partisipasi warga, yang didanai Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (Access), lembaga kemitraan pemerintah Australia-Indonesia, pada 2010.
Maka dimulailah perjalanan keluar-masuk kampung. Sepuluh desa di sepuluh kecamatan dengan telaten disambangi. Awak Somasi, dengan bahasa sederhana, mengajarkan cara mengawasi anggaran dan memantau pembangunan desa. Sebuah program yang strategis dan membuat gelombang antikorupsi membesar. Penduduk desa pun bersemangat dan kritis mengawasi belanja anggaran desa (baca "Kami Tak Bisa Ditipu Lagi").
Sudah pasti godaan datang dan pergi bagi aktivis Somasi. Tawaran suap, uang, barang, dan seks, yang disorongkan pejabat, adalah hal yang jamak. "Ada yang menyodorkan kunci mobil," kata Hendriadi. Ancaman kekerasan dan intimidasi juga silih berganti. Syukurlah, Somasi bisa bertahan. "Kami bekerja dengan bismillah," kata Ervyn.
Jejak Mereka…
1998
5 Oktober Somasi dideklarasikan. Koordinator pertamanya Adhar Hakim, seorang wartawan.
2002
Oktober Mulai menerbitkan tabloid Rakyat. Tabloid komersial ini dicetak sekitar 1.500 eksemplar dengan tujuan menggalang dana. Terbit beberapa edisi, tabloid ini gulung tikar karena tak bisa menghimpun iklan.
2003
Menerbitkan buku Fiqh Korupsi: Amanah vs Kekuasaan dan buku Mencabut Akar Korupsi.
2004
Menerbitkan buku Anggaran Tak Sampai.
2005
Melaporkan kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Nusa Tenggara Barat, yang belakangan menyeret bekas Gubernur Lalu Serinata dan 18 anggota Dewan Perwakilan Daerah provinsi. Tahun ini juga Somasi melaporkan korupsi APBD Lombok Tengah tahun anggaran 2001 senilai Rp 1,6 miliar, yang menjerat tiga pemimpin DPRD kabupaten itu.
2007
Menerbitkan buku Anggaran di Negeri Miskin: Kajian Postur Anggaran Daerah di Nusa Tenggara Barat 2001-2007.
2008
Melaporkan korupsi di Bank NTB periode 2007-2009, meliputi korupsi penyaluran kredit Rp 28,4 miliar, honor kepala daerah Rp 9,51 miliar, dan honor pengurus Bank NTB periode 2003-2007 Rp 1,6 miliar.
2010
Disokong lembaga asal Australia, Access, Somasi mulai melaksanakan program advokasi anggaran dan penguatan partisipasi warga di sepuluh desa di Lombok Tengah. Sebelumnya, Somasi pernah membina 60 desa di Nusa Tenggara Barat terkait advokasi anggaran.
"Kami Tak Bisa Ditipu Lagi"
BAYANGKAN betapa gerahnya sang kontraktor. Setiap jengkal pengaspalan jalan di sebuah desa terus-menerus dipelototi penduduk. Bila di suatu titik jalan menyempit, biarpun cuma 1 sentimeter, orang-orang segera berseru, "Ini pasti korupsi." Kalau sudah begini, pengaspalan mesti diulang sampai lebar jalan sama persis.
Bukan omong kosong. Itu semua kejadian nyata di Desa Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, tahun lalu. Mesin pengeras aspal, stoom walls, mesti kembali lagi ke titik jalan yang sama kendati aspal di situ baru saja dikeraskan. "Jalan menyerong sedikit saja kami langsung protes," kata Ismail, warga Desa Bagu, pertengahan Desember lalu.
Tak cuma teliti memelototi tebal-tipisnya aspal, penduduk juga aktif terlibat dalam pembahasan anggaran. Perkara anggaran yang dulu cuma boleh diketahui elite pamong desa, kini dibahas bersama dalam pertemuan warga. Hasil diskusi, perincian anggaran, ditempel di papan pengumuman desa sehingga setiap orang bisa membacanya. "Dokumen anggaran bukan barang asing lagi di sini," kata Ismail.
Daya kritis tak muncul begitu saja di Bagu. Awalnya, pada September 2010, sejumlah anak muda dari Mataram datang ke desa itu. Mereka awak Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi), pegiat antikorupsi di ibu kota Nusa Tenggara Barat, yang membikin program meningkatkan partisipasi warga Bagu dalam pembangunan. Menu utama program adalah belajar menganalisis anggaran dan mengajak serta orang kampung untuk mencegah korupsi.
Ini bukan program sekali lewat. Disokong dana Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (Access), lembaga kemitraan pemerintah Australia-Indonesia, program berlangsung dua tahun.
Demi melancarkan kerja, Somasi menunjuk seorang petugas lapangan dari tiap dusun. Ada pula community organizer, yang juga dipilih dari warga lokal. Mereka semacam koordinator petugas lapangan dengan wilayah kerja dua kecamatan.
Tak semua desa di Lombok Tengah bisa dijangkau. Somasi hanya menggarap sepuluh desa di sepuluh kecamatan. "Dana dan tenaga kami terbatas," kata Yudi Darmadi, Koordinator Divisi Advokasi Somasi.
Keberadaan petugas lapangan dan organisator komunitas penting untuk memastikan program berjalan. Agar sungguh-sungguh bekerja, mereka digaji. Petugas lapangan menerima gaji Rp 1 juta tiap bulan, sedangkan organisator komunitas Rp 1,5 juta saban bulan.
Ismail dan Nurkamah, misalnya, lumayan sibuk sebagai organisator komunitas Kecamatan Pringgarata. Mereka menggerakkan penduduk desa untuk memelototi setiap mata anggaran desa. Kedua guru Madrasah Ibtidaiyah Qamarul Huda di Bagu itu juga ikut membahas rencana pembangunan jangka menengah desa di tingkat kabupaten.
"Teman-teman organisator ini cukup kritis," kata Kepala Desa Bagu Muhammad Paitang. Jangan harap ada anggaran yang tidak masuk akal, tak sesuai dengan kebutuhan atau nilainya digendutkan, bisa lolos dari ketajaman "pisau" Ismail dan Nurkamah.
Setahun sudah program berjalan, Ismail dan Nurkamah kini punya penerus. Ada sepuluh mahasiswa Institut Agama Islam Qamarul Huda, yang juga berlokasi di Bagu, tertarik bergabung mendalami program advokasi anggaran ini. Bersama Ismail dan Nurkamah, kesepuluh mahasiswa itu giat mengawasi anggaran desa.
Pos Pengaduan Korupsi, yang tadinya ada di rumah Ismail dan Nurkamah, kini pindah ke Balai Desa Bagu, menyatu dengan ruang perpustakaan desa. Mungkin lantaran lebih nyaman, penduduk masih sering datang ke rumah Ismail atau Nurkamah untuk mengadu. Yang paling sering diadukan adalah program beras untuk rakyat miskin. Daya kritis memang telah tumbuh di Bagu. "Kami tak bisa ditipu lagi," kata Nurkamah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo