Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau</font><br />Para Penjaga Hutan Riau

Mereka konsisten mempertahankan kelestarian hutan Riau. Sering kali diiming-imingi suap oleh perusahaan penebang hutan. Hasil temuan mereka acap menggebrak politik nasional. Tak semua bisa terus bertahan di jalur aktivis.

2 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSLIM Rasyid kaget bukan kepalang. Senin sore dua pekan lalu, di toilet lantai dua Hotel Ibis, Pekanbaru, Riau, seorang pria tiba-tiba menyodorkan amplop berisi uang kepada Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) itu. "Setebal dua bungkus rokok," kata dia.

Muslim baru saja menghadiri rapat Komite Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) Provinsi Riau, yang membahas permohonan peningkatan kapasitas produksi bubur kertas PT Riau Andalan Pulp & Paper. Dan sang pria, meski telah berkali-kali ditolak, tetap memaksa. "Tolonglah terima. Kalau enggak, bos saya marah," kata lelaki yang dikenal Muslim sebagai karyawan sebuah perusahaan bubur kertas itu.

Merasa terdesak, Muslim kemudian membuka pintu toilet lebar-lebar. Sekumpulan orang di luar melihat ke dalam. Pria itu menarik amplop yang disodorkannya. Muslim akhirnya melenggang keluar dari toilet.

Posisi Jikalahari sebagai "anjing pengawas" hutan Riau kerap membuat aktivisnya menjadi sasaran penyuapan perusahaan-perusahaan kehutanan. Setiap Lebaran, misalnya, lelaki 38 tahun ini sibuk menampik hadiah. Selain dihujani tawaran uang, para aktivis Jikalahari kerap menerima teror ancaman.

Jikalahari lahir ketika perusahaan-perusahaan kayu di Riau mengadakan ekspansi besar-besaran pada awal 2000-an. Didirikan pada 26 Februari 2002, Jikalahari beranggotakan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang punya perhatian terhadap lingkungan, terutama penyelamatan hutan. Aktivisnya anak-anak muda yang gelisah melihat hutan di Riau digundulkan.

Kala itu lembaga swadaya yang ada hanya bergerak menurut interes masing-masing: advokasi masyarakat, limbah, hutan, sungai, dan seterusnya. Namun anak-anak muda yang sering berdemonstrasi bersama—biasa dimotori oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau—merasakan pentingnya sebuah front bersama. Gagasan untuk membuat sekretariat bersama muncul pada 2001, yang didorong oleh Critical Ecosystem Partnership Fund.

"Waktu itu semangat bersamanya adalah melawan pembabatan hutan Riau," kata aktivis Walhi Riau sekaligus deklarator Jikalahari, Johny Setiawan Mundung. Sebanyak 29 lembaga swadaya, termasuk tujuh organisasi mahasiswa pencinta alam dari berbagai kampus, bergabung dengan jaringan kerja itu. Mereka di antaranya Yayasan Kaliptra, Kabut, Riau Mandiri, WWF, Alam Sumatera, Walhi, dan Elang.

Semua bersemangat egaliter. Kepemimpinan dipegang secara kolektif oleh enam wakil dari lembaga-lembaga tersebut. "Masa-masa awal ini semua serba sulit. Organisasi hidup dari iuran Rp 100 ribu per lembaga," kata Rusmadya, anggota Badan Penasihat Jikalahari periode pertama.

Namun Jikalahari terus bersimulasi menemukan bentuk terbaiknya Pada 2003, pola kepemimpinan Jikalahari diubah: ada seorang koordinator yang didukung enam staf sekretariat. Meski begitu, tidak ada ikatan hierarkis antara Jikalahari dan lembaga-lembaga anggotanya. Jaringan hanya berfungsi menyamakan visi dan koordinasi kerja di antara mereka. Program kerja diselaraskan dan dibahas bersama, tapi tiap lembaga masih punya otonomi menjalankan program sendiri. Koordinator hanya mengawasi, memastikan program kerja bersama dilaksanakan oleh lembaga anggotanya.

Kini sudah banyak yang dilakukan Jikalahari. Mereka melakukan kampanye penyelamatan harimau Sumatera, antipembabatan hutan gambut, dan aksi bersama Greenpeace di kedalaman hutan Semenanjung Kampar. Hasil kerja mereka mulai terlihat dengan melambatnya ekspansi penggundulan hutan. Laporan mereka tentang aktivitas pembalak liar juga direspons polisi.

Puncaknya pada 2007 ketika kepolisian Riau yang dipimpin Brigadir Jenderal Sutjiptadi menggetok dua perusahaan bubur kertas terbesar, Riau Andalan dan PT Indah Kiat Pulp & Paper. Sebanyak 136 tersangka dari kedua perusahaan dan anak perusahaannya ditangkap. Sejumlah pejabat kehutanan dan kepala daerah, termasuk Gubernur Rusli Zainal, diperiksa atas pemberian izin. "Semua perusahaan penyuplai kayu Riau Andalan dan Indah Kiat bermasalah, baik administrasi maupun perizinan," ujar Sutjiptadi ketika itu.

Jikalahari memasok data ke penegak hukum. "Mereka berperan besar ketika itu," kata mantan Ketua Tim Pemberantasan Illegal Logging Riau Wan Abubakar kepada Tempo. "Kita harus berterima kasih kepada mereka," ujar mantan Wakil Gubernur Riau yang kini anggota Komisi Kehutanan Dewan Perwakilan Rakyat ini.

Namun perubahan kepemimpinan di kepolisian setempat membawa angin lain. Brigadir Jenderal Hadiatmoko, yang menggantikan Sutjiptadi, mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan terhadap 13 dari 14 perusahaan yang diduga terlibat pembalakan liar pada Desember 2008. "Ini semata demi pertimbangan hukum," ujar Hadiatmoko (lihat "Terjegal Saksi Ahli", Tempo edisi 19 Januari 2009) . Satu-satunya yang digiring sampai ke pengadilan adalah PT Ruas Utama Jaya, anak perusahaan Indah Kiat.

Meski dihadang surat penghentian Hadiatmoko, semangat anak-anak Jikalahari tak surut. Mereka masih berupaya memperkarakan hal tersebut. "Kami sedang membahas kemungkinan eksaminasi bersama Indonesia Corruption Watch," kata Muslim. Jikalahari juga turut membantu gugatan sipil warga Semenanjung Kampar melawan Riau Andalan di Pengadilan Negeri Kampar (masih berlangsung).

Berbeda dengan kasus di polisi, laporan mereka ke Komisi Pemberantasan Korupsi membuahkan hasil. Empat mantan pejabat kehutanan dan tiga bupati ditetapkan sebagai tersangka. Mantan Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar sudah divonis bersalah karena mengeluarkan izin untuk sembilan anak perusahaan Riau Andalan dan Indah Kiat. Sedangkan persidangan Bupati Siak Arwin A.S. saat ini masih berjalan. Satu lagi belum diproses Komisi Pemberantasan Korupsi.

Para aktivis jaringan juga rajin turun ke desa-desa mengadvokasi warga, memberikan pelatihan mengelola hutan, dan menyadarkan hak mereka, sembari terus memantau perkembangan kasus para bupati Riau yang tengah disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Apiknya kinerja Jikalahari membuat lembaga donor tak ragu men­cairkan bantuan. Pada 2011, Jikalahari mendapat dana Rp 2,4 miliar dari dua lembaga donor, USAID (Amerika Serikat) dan Siemenpuu (Finlandia). Ini adalah dana terbesar yang pernah dikelola mereka. Semua dana digunakan untuk sejumlah program dan diaudit oleh lembaga independen yang ditunjuk donatur.

Mengelola dana jumbo tak lantas membuat aktivisnya hidup berkelimpahan. Tak ada yang berubah. Bahkan beberapa aktivis terpaksa keluar dari jaringan itu karena dorongan kebutuhan ekonomi.

Tengoklah kantor Jikalahari di Jalan Angsa, Sukajadi, Pekanbaru. Rumah seluas sekitar 150 meter persegi itu hanya berisi meja bundar dengan kursi plastik mengitari. Whiteboard yang tidak lagi putih. Di atas sana, sarang laba-laba menghiasi langit-langit ruang utama. "Beginilah keadaan kami," tutur Muslim.


2000
Berbagai lembaga kerap berdemonstrasi bersama menentang penebangan liar.

2001
Ide untuk membuat sekretariat bersama.

2002
26 Februari Jikalahari berdiri.

2005
Aktif mengusut pembalakan liar yang juga melibatkan cukong asal Malaysia.

2007
Laporan Jikalahari tentang dugaan pelanggaran PT Riau Andalan Pulp & Paper dan PT Indah Kiat Pulp & Paper serta anak perusahaannya diproses polisi.

2008
Desember Polisi menghentikan penyidikan kasus penebangan liar oleh anak-anak perusahaan Riau Andalan dan Indah Kiat.

2009
Bersama Greenpeace, menggelar aksi besar di Semenanjung Kampar. Dampaknya, Menteri Kehutanan meninjau ulang izin Riau Andalan di kawasan gambut tersebut.


Idealisme dan Tuntutan Hidup

Johny Setiawan Mundung tak kuasa membendung air matanya. Setelah menyerahkan jabatannya sebagai Koordinator Jaringan Masyarakat Gambut Riau, ia didapuk untuk berbicara. Kepada sekitar 20 rekannya yang hadir, tokoh Tempo 2007 ini berkisah tentang rencananya meninggalkan dunia aktivis pembela hutan Riau. "Ini sudah saya pikirkan sejak dulu," kata Mundung seperti ditirukan Rusmadya, yang hadir ketika itu.

Suasana mendung menggelayuti ruang rapat kantor Scale Up di Jalan Wonorejo, Pekanbaru, pada pertengahan 2009 itu. Sebelum mengambil keputusan meninggalkan dunia hutan, mantan Direktur Eksekutif Walhi Riau ini mengaku sudah berdiskusi dengan banyak rekannya. "Ada kebutuhan terhadap tuntutan hidup," ujar pria 36 tahun itu soal alasannya meninggalkan dunia yang digelutinya sejak belasan tahun tersebut. Kepada rekan-rekannya, Mundung mengaku akan tetap mendukung usaha melawan pembalakan liar di Riau.

Mundung memutuskan bekerja di sebuah perusahaan tambang. Deklarator Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) itu harus menghidupi ketiga anaknya yang sudah masuk usia sekolah. Kebutuhan ekonomi membuat ia mengambil keputusan tersebut. "Saya mau fokus ke keluarga dan anak-anak," kata Mundung kepada Tempo, beberapa waktu lalu.

Potret Mundung menggambarkan kondisi para aktivis di Jikalahari. Dengan penghasilan yang pas-pasan, mereka hidup dengan idealisme. Seorang anggota staf sekretariat Jikalahari, misalnya, hanya digaji sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Bagi yang masih bujangan, dana itu cukup. "Tapi enggak tahu juga kalau kelak berkeluarga," kata Made, 23 tahun, seorang anggota staf Jikalahari.

Bukan hanya Mundung, beberapa aktivis lainnya juga "menyerah" kepada kebutuhan hidup. Ada yang keluar dan menjadi pegawai negeri di Kepulauan Natuna, ada juga yang bergabung dengan partai politik atau menjadi pengusaha. "Kami tidak bisa memaksakan. Itu pilihan mereka," kata Koordinator Jikalahari Muslim Rasyid.

Anggota Jikalahari adalah anak-anak muda yang sudah akrab dengan alam sejak duduk di bangku kuliah. Sebagian besar dari mereka adalah mantan anggota mahasiswa pencinta alam. Hingga kini, tujuh organisasi mahasiswa pencinta alam bergabung dengan Jikalahari. Hal inilah yang menguntungkan Jikalahari. "Regenerasi bisa berjalan karena ada adik-adik," kata Muslim.

Selain yang berubah profesi, ada rekan-rekan yang keluar membentuk lembaga baru. Ahmad Zazali, misalnya. Wakil Koordinator Jikalahari 2005-2007 ini memutuskan membentuk Scale Up, yang berkecimpung pada pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Ia mengaku kerepotan mengurus jaringan yang besar. "Lebih baik urus organisasi sendiri. Sekalian memberi kesempatan kepada yang lain," ujarnya.

Anggota Dewan Pertimbangan Jikalahari, Teddy Hardiansyah, mengatakan jumlah lembaga anggota jaringan yang berkurang—dari 29 orang pada saat pendirian menjadi 23 orang saat ini—juga tidak menjadi halangan. Hal itu terjadi karena beberapa lembaga sudah tidak lagi aktif dan ditinggal anggotanya demi penghidupan yang lebih layak. "Kami akan tetap jalan terus menjaga hutan," kata pria bujangan 33 tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus