Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Teten Masduki:</font><br />Melawan Korupsi Butuh Kecerdasan

2 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA menjadi tokoh sentral yang memprakarsai lahirnya Indonesia Corruption Watch. Bermula dari ruangan sempit di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Teten Masduki membentuk lembaga ini menjadi organisasi antikorupsi yang disegani.

Sebagai anggota dewan etik ICW, pria 48 tahun itu kini cukup mengawasi pakem organisasi. Belakangan hari-harinya lebih banyak disibukkan oleh domba, ternak yang ia biakkan demi pemberdayaan masyarakat di kota kelahirannya, Garut.

Apa yang dulu mendorong lahirnya lembaga antikorupsi ini?

Dulu kami berpikir: apakah jika rezim Soeharto tumbang, rezim korupsinya ikut jatuh. Kami simpulkan, butuh gerakan antikorupsi yang terlembaga untuk memeranginya. Sebulan setelah Soeharto jatuh, ICW lahir.

Seperti apa gerakan antikorupsi saat itu?

Asal-asalan. Sporadis. Ketika ICW dibentuk, kami juga belum tahu modelnya mau seperti apa. Tapi semangatnya memutus rantai logistik kroni Soeharto. Karena gerakan melawan korupsi butuh waktu panjang, perlu lembaga yang kuat.

Jadi apa yang dilakukan ICW pada tahun pertama?

Kami bengong. Lebih banyak membangun jaringan dan advokasi. Lembaga antikorupsi semacam ini menjadi barang baru di Indonesia pada saat itu. Jadi harus banyak belajar dulu.

Jadi ketika itu tidak ada aksi sama sekali?

Lebih ke watch dog. Kami berasumsi masyarakat tahu ada praktek korupsi tapi tidak ada keberanian melapor. Mereka membutuhkan saluran. Ketika kami buka pengaduan, banyak masyarakat yang lapor.

Apa yang dilakukan terhadap pengaduan itu?

Semangat kami saat itu adalah membangun keberanian masyarakat. Setelah itu kami memberi contoh bahwa masyarakat bisa melawan pemerintah yang korup. Contohnya upaya kami membongkar dugaan korupsi Jaksa Agung saat itu, Andi Ghalib.

Namun Anda justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian?

Itu sudah saya hitung. Yang penting, idenya memberi pelajaran: kalau orang biasa bisa melawan pemerintah yang korup. Hasilnya, sekarang masyarakat berani mendelegitimasi pejabat yang terindikasi korupsi.

ICW sering dituding mewakili kepentingan asing karena pendanaan programnya dari luar negeri?

Ketika laporan Andi Ghalib meledak, banyak konglomerat yang menawari kami uang. Tapi mereka itu dibesarkan dari sistem yang korup. Kami mencari dukungan yang paling aman. Di internasional, gerakan korupsi juga tengah berkembang. Kami memilih donor asing yang tidak ada konflik kepentingan. Seperti dana World Bank, kami tidak pernah mau karena banyak program lembaga itu di Indonesia yang kami awasi.

Selalu ada stigma kalau lembaga swadaya masyarakat didanai pihak asing....

Itu pola pikir kampungan. Kami mendapatkan dana dari program yang dirumuskan secara independen. Ini dilakukan dengan tender terbuka. Di beberapa donor, dananya bahkan berasal dari masyarakat. ICW baru memanfaatkan dana asing sejak akhir 2000. Sebelumnya, saya dan teman-teman saweran dulu.

Apa dulu tidak terpikir meminta dukungan dana masyarakat?

Menggalang dana publik butuh reputasi. Kami harus bangun dulu itu. Butuh waktu yang panjang. ICW harus membuktikan ke masyarakat menjadi lembaga yang independen, tidak mudah disuap, apalagi memeras.

Baru belakangan menggalang dukungan dana publik....

Legitimasi ICW di masyarakat baik. Tinggal bagaimana menjaring nasabah yang benar-benar bebas dari konflik kepentingan.

Kenapa ICW tidak membuka cabang di daerah?

Pengawasannya agak sulit. Apalagi ada divisi investigasi yang rawan dijadikan dagangan untuk memeras. Ke daerah, kami melakukan penguatan dengan membangun koalisi.

Bagaimana ICW mengembangkan regenerasi sehingga tidak melahirkan aktivis yang nakal?

Sumber daya manusia diseleksi dari awal dengan sistem uji coba, yang bagus kami rekrut. Melawan korupsi membutuhkan kecerdasan dan orang-orang pintar. Di sini jangan bicara kesejahteraan, tapi semangat.

Bagaimana bisa menjamin kalau aktivis ICW tidak "main mata"?

Kami siapkan lembaga ini dengan sistem yang prudent. Kami ciptakan sistem yang cepat mendeteksi jika ada yang nakal. Sanksinya langsung diberhentikan. Pelapor selalu kami libatkan dalam setiap aksi. Kalau kasusnya tidak berhasil, mereka tahu ICW tidak "main mata".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus