Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Tommy Soetomo, Direktur Utama PT Angkasa Pura I</font><br />Keluar dari Zona Nyaman

Angkasa Pura I sangat ekspansif. Menjadikan bandara lebih "beradab".

23 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tommy Soetomo masuk ke PT Angkasa Pura I pada Juli 2010 sungguh pada saat yang tidak tepat. Perusahaan pengelola 13 bandar udara di kawasan Indonesia bagian timur, termasuk Surabaya, ini tengah bergolak. Karyawan berulang kali berunjuk rasa. Mereka menuntut kenaikan gaji dan pembayaran tunjangan lembur serta uang pensiun. Para pengurus serikat pekerja dimutasi. Perusahaan pun sibuk melayani gugatan karyawannya di pengadilan.

Beberapa demo berlangsung rusuh. Bahkan karyawan di Bandara Sepinggan, Balikpapan, misalnya, pernah mematikan listrik. "Ini sudah melanggar asas keselamatan," kata Direktur Utama PT Angkasa Pura I ini pekan lalu. Ketua Umum Serikat Pekerja Angkasa Pura I Itje Julinar membenarkan bahwa saat itu hubungan manajemen dengan karyawan memang sangat buruk. "Beberapa kali karyawan mogok kerja," ujarnya.

Tommy, yang lahir di Cimahi, Bandung, dan timnya yang baru langsung menjadikan persoalan tersebut sebagai prioritas. Repotnya, saat itu, dari lima anggota direksi, dia hanya mengenal Robert D. Waloni, direktur komersial. Keduanya berasal dari Angkasa Pura II. "Yang lain baru kenal setelah dilantik jadi direksi," kata lulusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran ini. Namun semuanya sepakat bahwa urusan hubungan kerja harus segera diselesaikan.

Tommy menceritakan, bersama anggota direksi yang baru, mereka berdialog dengan serikat pekerja. "Komunikasi yang buntu ini harus dipecahkan." Manajemen dan karyawan pun membuat Pakta Normalisasi. Kedua belah pihak menyepakati sejumlah hal, yakni adanya niat baik, segala sesuatu dilakukan menurut undang-undang dan asas korporasi, serta adil. Perusahaan kemudian menaikkan standar gaji serta membayar tunggakan dana pensiun dan Jamsostek. Karyawan sangat antusias, dan soal ini pun bisa diselesaikan dalam sebulan.

Setelah itu, Tommy langsung mencanangkan perubahan pola pikir dan kultur perusahaan. Menurut dia, perusahaan seperti Angkasa Pura I selama ini berada di zona nyaman. "Pesawat mana yang tidak mendarat di bandara? Artinya, perusahaan tidak melakukan apa-apa pun, uang datang. Ini yang berat. Paradigma ini pelan-pelan coba kami geser." Yang pertama adalah mengubah key performance indicator. Selama ini yang menjadi ukuran perusahaan hanya laba dan rugi.

Kini salah satu parameter kinerja di Angkasa Pura I adalah kepuasan pelanggan. Dalam bisnis pengelolaan bandara, ukuran yang penting terkait dengan pelanggan adalah customer service index. Untuk mengetahui posisi bandara-bandara yang dikelolanya, Tommy menyodorkan tiga bandara terbaiknya, yakni Juanda, Ngurah Rai, dan Sultan Hasanuddin, kepada lembaga penilai internasional, Airport Council International, di Amerika Serikat.

Hasilnya, dari 190 bandara internasional yang dicek, Makassar berada di posisi ke-63. "Artinya, very poor." Maka kerja ekstra pun digencarkan. Perluasan area bandara dilakukan besar-besaran. Fasilitas pelayanan publik dilengkapi, toilet diperbanyak. Termasuk ruang menyusui (nursery room), yang ternyata selama ini tidak dimiliki. Akibatnya, bandara-bandara milik Angkasa Pura I mendapat nilai nol untuk poin ini. Juga ketersediaan kursi roda bagi penumpang cacat.

1 1 1

SATU per satu baja terpasang, dirakit menjadi kerangka atap. Sebagian yang lain masih menumpuk di tanah. Alat-alat berat sibuk bekerja ketika Tempo berkunjung ke proyek pengembangan Bandar Udara Ngurah Rai, Bali, Kamis pagi, 13 Desember lalu. Di area ini akan dibangun terminal kedatangan internasional tambahan seluas 65 ribu meter persegi. "Sebelum konferensi APEC Oktober 2013 nanti, terminal ini harus sudah berfungsi," kata asisten manajer administrasi proyek Ida Bagus Ketut Juliadnyana kepada Johanes Cristico dari Tempo.

PT Angkasa Pura I memang tengah mendandani lapangan udara internasional tersebut. Mereka akan membangun terminal baru yang luasnya sama dengan terminal lama. Maka luas bangunan untuk penumpang akan menjadi dua kali lipat, yakni 130 ribu meter persegi untuk terminal internasional dan 65,8 ribu meter persegi untuk penerbangan domestik. Duit sebesar Rp 2,8 triliun dikucurkan untuk Ngurah Rai.

Jika renovasi rampung, bandara ini diperkirakan cukup untuk menampung 15 juta penumpang yang menyesaki Pulau Dewata pada puncak musim liburan. Dengan demikian, rasio tingkat penggunaan ruang alias utility terminal akan membaik, dari semula 335 persen menjadi 84 persen untuk terminal domestik dan 79 persen menjadi 48 persen untuk terminal internasional. Anda, penumpang, akan merasa lebih lega, lebih longgar. "This is all about capacity," ujar Tommy.

Perlahan, kata dia, perusahaan akan mengejar standar pelayanan internasional. Dalam standar dunia, rasio tingkat penggunaan ruang terminal di atas 75 persen saja dinilai sudah tidak nyaman. Apalagi sampai 335 persen seperti saat ini. Pemerintah pun ternyata telah mengatur soal ini melalui keputusan Menteri Perhubungan pada 2005. Pada area penerbangan domestik, jatah per penumpang mencapai 14 meter persegi, dan 17 meter persegi pada area internasional.

Kondisi yang sesak itu tidak hanya terjadi di Ngurah Rai. Sebagian besar bandara yang dikelola Angkasa Pura I bernasib sama. Cuma Bandara Internasional Frans Kaisiepo, Biak, yang memiliki tingkat utilitas "beradab", yakni 10 persen untuk terminal internasional dan 49 persen di terminal domestik. Lapangan udara terbesar di Papua ini sepi sejak penerbangan langsung ke Amerika Serikat (Jakarta-Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angeles dan Jakarta-Denpasar-Biak-Seattle) ditutup pada 1998 karena krisis moneter.

Makanya perusahaan melakukan ekspansi secara masif. Perluasan area terminal dilakukan di semua bandara, untuk memenuhi rasio minimal 75 persen tadi. "Karena perusahaan tidak pernah investasi untuk pembangunan," ucap Tommy. Selama ini ukuran perusahaan hanya laba, rugi, dan dividen. Tidak ada pemikiran untuk investasi, apalagi berekspansi. Tahun depan, dia menambahkan, total investasi akan mencapai Rp 7 triliun. Semua itu untuk memanjakan pelanggan. Tahun lalu Angkasa Pura I melayani 56 juta penumpang.

Terobosan lain, Angkasa Pura I mengubah haluan bisnis yang semula bergantung pada pendapatan aero, seperti tarif parkir pesawat, penumpang, dan lain-lain, menjadi nonaero. "Mengandalkan bisnis aero itu kuno. Tidur juga dapat duit." Menurut dia, bandara modern harus kreatif mengembangkan dompet. Misalnya dari bisnis katering, advertising, dan komersial.

Pendek kata, Angkasa Pura I menerapkan tarif parkir pesawat semurah mungkin, asalkan bisa membawa penumpang sebanyak-banyaknya untuk belanja di bandara. Saat ini pendapatan nonaero Angkasa Pura I masih 20 persen dari total penerimaan. Dia berobsesi proporsinya bisa menjadi 50 persen pada 2020.

Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil menilai kinerja Angkasa Pura I lebih baik daripada Angkasa Pura II. "Juanda adalah satu-satunya bandara yang mendapat sertifikat internasional." Ketua Umum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo menambahkan, fasilitas publik di bandara yang dikelola Angkasa Pura I kini jauh lebih baik. Ia menceritakan pengalamannya menjadi juri lomba toilet bandara yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif. "Angkasa Pura I mengirimkan stafnya untuk mengikuti kongres toilet dunia agar tahu perkembangan standar pelayanan toilet."

Tommy bertekad standar pelayanan dasar pelabuhan udara harus sudah terpenuhi tahun depan. Makanya berbagai upaya dilakukan, tak hanya infrastruktur. Karyawan dikirim magang ke Bandara Internasional Incheon, Korea Selatan, lapangan terbang terbaik sejagat pada 2005-2011. Sekali terbang, 25-30 orang belajar selama sebulan. Kerja sama serupa dilakukan dengan Bandara Mumbai, India. "Kami keluarkan Rp 100 miliar hanya untuk biaya pendidikan," kata Tommy.

Ia punya doktrin: angka indeks pelayanan konsumen harus meningkat. Pada 2013, perusahaan akan kembali mengajukan bandara-bandaranya untuk dinilai. "Saya yakin angkanya pasti meningkat, pasti lebih baik."


Proyek Pengembangan Bandara

Ngurah Rai, Bali

  • Terminal yang ada sekarang: 79.708 meter persegi, terminal baru setelah
  • Pengembangan: 185.846 meter persegi,
  • Beroperasi: Juli 2013,
  • Investasi: Rp 2,803 triliun

    Sepinggan, Balikpapan

  • Terminal yang ada sekarang: 11.823 meter persegi, terminal baru setelah
  • Pengembangan: 110.000 meter persegi,
  • Beroperasi: September 2013,
  • Investasi: Rp 1,785 triliun

    Terminal 2 Juanda, Surabaya

  • Terminal yang ada sekarang: 62.700 meter persegi,
  • Pengembangan: 49.500 meter persegi,
  • Beroperasi: November 2013,
  • Investasi: Rp 946,663 miliar

    Ahmad Yani, Semarang

  • Terminal yang ada sekarang: 6.708 meter persegi, terminal baru setelah
  • Pengembangan: 21.500 meter persegi,
  • Beroperasi: Desember 2013, investasi: Rp 657,012 miliar

    Adisutjipto, Yogyakarta

  • Terminal yang ada sekarang: 8.623 meter persegi,
  • Pengembangan: 30.600 meter persegi,
  • Selesai: Agustus 2013, investasi: Rp 45 miliar

    Syamsudin Noor, Banjarmasin

  • Terminal yang ada sekarang: 9.043 meter persegi, terminal baru setelah
  • Pengembangan: 36.600 meter persegi,
  • Beroperasi: 2015, investasi: Rp 596,332 miliar
    Tommy Soetomo, Cimahi, 17 Januari 1960, Pendidikan: Universitas Padjadjaran, Bandung (1986), Karier: Direktur Utama PT Angkasa Pura I (2010-sekarang), Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II (2006-2010), Staf khusus Menteri Negara BUMN (2006), Wakil Direktur Utama PT Abdi Bangsa Tbk (Republika) (2002), Direktur Keuangan PT Abdi Bangsa Tbk (Republika) (1999), Direktur Kredit Bank Intan (1996), Direktur Treasury dan Luar Negeri Bank Muamalat Indonesia (1996), Wakil Direktur Utama Induk KUD (1995), Direktur Keuangan Induk KUD (1994), Assistant Vice President-Alternate Bank Bukopin Kepala Divisi Treasury (1993).
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus