Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat Laksana Trihandoko lulus sekolah menengah atas, nilai rapornya pas-pasan. Hafalannya payah. Nilai kimia dan biologi, yang mengandalkan hafalan, jeblok. Untungnya, meski "hard disk" di kepalanya lemah, dia punya "prosesor" yang canggih. Itulah yang menyebabkan nilai fisikanya di atas rata-rata. Ia pun lolos masuk Institut Teknologi Bandung.
Hanya tiga bulan di Fakultas Fisika ITB, Laksana, 44 tahun, mendapat beasiswa dari Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie untuk bersekolah di Jepang. Di negeri itu pula ia mendapatkan gelar doktornya. Lulus dari Jepang, Laksana bekerja sebagai peneliti di Italia dan Jerman. Sekarang ia menjabat peneliti fisika di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Temuan terbesarnya—yang ia dapat bersama rekannya—disebut Grand Unified Theory (Teori Penyatuan Besar) berbasis pada supersimetri SU (6). Inti dari temuan ini adalah menyederhanakan rumusan pembentukan alam semesta. Untuk menganalisis kejadian alam semesta tak perlu banyak rumus seperti yang selama ini dilakukan para ahli, cukup satu. Sebelumnya, Albert Einstein bercita-cita bisa membuat rumus gabungan ini, tapi gagal.
Teori ini amat berbeda dengan penemuan partikel Higgs boson di Organisasi Riset Nuklir Eropa (CERN) di Austria baru-baru ini. "Massa dalam teori kami bisa ditimbulkan melalui dimensi ekstra dari ruang dan waktu," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo