Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Mochamad Harun:</font><br />Yang Penting Negara Tidak Rugi

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERADA di titik pusat pusaran masalah ini membuat para pejabat PT Pertamina (Persero) mendadak puasa bicara. Semua yang dihubungi Tempo angkat tangan dan menunjuk Vice President Corporate Communication Pertamina Mochamad Harun sebagai juru bicara. "Supaya satu pintu saja," kata satu petinggi Pertamina.

Bergulirnya penyelidikan kasus ini di Komisi Pemberantasan Korupsi memang membuat para pengambil kebijakan di Pertamina pusing tujuh keliling. Berulang kali Harun berkeras tidak ada unsur kerugian negara ataupun unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain—dua unsur yang mengindikasikan ada-tidaknya korupsi—dalam skema kontrak baru tanker Ekaputra.

"Pertamina justru untung, dan keuntungan Pertamina, sebagai badan usaha milik negara, pasti bakal masuk ke negara juga," katanya. "Kalau ada duit yang mengalir ke kantong pribadi, kami pasti sudah lama ditangkap KPK," ujar Harun dengan nada tinggi. Dia mengaku gemas jika upaya optimalisasi bisnis Pertamina direcoki tudingan korupsi.

Dalam dua kesempatan pada akhir November lalu, Tempo mewawancarai Harun perihal perkara sewa-menyewa Ekaputra ini.

Ada tuduhan perjanjian kontrak tanker Ekaputra antara Pertamina dan Humpuss membuat negara kehilangan potensi pemasukan jutaan dolar. Benarkah?

Itu tidak benar. Kami menilai perjanjian itu tidak merugikan negara. Pertamina justru mendapatkan untung dari perubahan nilai kontrak. Semula kami membayar Humpuss US$ 3,2 juta per tahun, tapi sekarang—dengan skema charter back: Humpuss menyewa kembali kapalnya seharga US$ 11 juta—Pertamina mendapat keuntungan sekitar US$ 7,8 juta setiap tahun. Selisih nilai kontrak kapal masuk ke Pertamina. Total Pertamina mendapat US$ 27 juta sampai kontrak berakhir pada 2014.

Kabarnya, kontrak baru ini sempat tersendat karena Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) tak kunjung memberikan lampu hijau….

Ini memang model skema kontrak yang baru pertama kali diterapkan. Wajar jika perlu pembahasan panjang. Yang jelas, pemasukan untuk negara tidak berkurang. Tidak ada penambahan nilai cost recovery atau cost of sale.

Kami mendapat informasi, sampai sekarang pun BP Migas tidak pernah memberikan persetujuan.

Saya tidak mau berkomentar soal itu. Yang jelas, kami punya surat dari BP Migas yang isinya memberikan persetujuan atas rencana kami menggunakan tanker Ekaputra untuk pengapalan LNG ke Jepang.

Mari kembali ke awal, ketika Pertamina meminta perpanjangan kontrak Ekaputra untuk lima tahun (2009-2014) dengan nilai US$ 3,2 juta. Apa dasar pertimbangannya?

Kami punya first option dari kontrak pertama dan harganya murah. Selain itu, Pertamina memang butuh tanker. Kami proyeksikan tanker itu untuk mengisi pasar spot ekspor LNG ke Jepang. Juga untuk kebutuhan pasar domestik. Pada awal 2012, akan ada terminal gas terapung di Tanjung Priok, kemudian menyusul satu lagi di Semarang. Ada juga ladang gas di Arun yang akan diubah jadi kilang penampungan. Semua pasti membutuhkan tanker untuk pengisian LNG.

Tapi, kenyataannya, pada tahun pertama perpanjangan kontrak, tanker Ekaputra "menganggur" di Bontang, Kalimantan Timur?

Setiap keputusan bisnis memang ada risikonya. Pada 2010, Ekaputra memang hanya mendapat dua kontrak pengiriman LNG.

Jadi, Pertamina menderita kerugian?

Ada kerugian minus delta. Justru karena kami menanggung risiko itulah wajar jika kami mengambil keuntungan dari perubahan kontrak berikutnya.

Dari mana angka US$ 11 juta untuk kontrak baru Ekaputra diperoleh?

Kami punya perhitungannya, tentu dengan mempertimbangkan fluktuasi harga sewa tanker di pasaran, proyeksi atas kondisi bisnis LNG di masa depan, dan seterusnya. Selain itu, tanker Dwiputra yang disewa lebih dulu untuk rute yang sama juga dipakai dengan harga US$ 11 juta per tahun.

Siapa yang menegosiasikan harga itu?

Pertamina dengan pihak Jepang. Kami tentu ingin mendapat harga sewa yang tinggi untuk Ekaputra. Tapi, setelah negosiasi, kami sepakat dengan harga itu.

Pembayaran US$ 11 juta itu masuk ke rekening siapa?

Dari trustee account, dana itu masuk ke Humpuss, lalu Pertamina menagihkan persentase yang menjadi hak kami.

Sekilas, kontrak kedua ini amat menguntungkan Humpuss. Dari US$ 3,2 juta per tahun, mereka sekarang mendapat US$ 4,84 juta per tahun dari Ekaputra….

Ini murni perjanjian bisnis. Masing-masing pihak punya perhitungan bisnis.

Mengapa sampai sekarang sebagian besar pengapalan LNG Pertamina masih menggunakan kapal-kapal milik Humpuss?

Dulu, pada zaman Orde Baru, Anda tahu sendiri situasinya. Tapi sekarang, semua penyewaan tanker melalui tender yang terbuka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus