Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah perayaan ulang tahunnya yang ke-54, awal Desember lalu, PT Pertamina (Persero) justru dirundung kabar buruk. Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menelisik sebuah kasus pelik di tubuh badan usaha milik negara itu.
Pokok masalahnya adalah perjanjian sewa-menyewa tanker pengangkut gas alam cair (liquefied natural gas—LNG) bernama Ekaputra. Kapal milik PT Humpuss Intermoda Transportasi ini disewa Pertamina sejak 1990. Tugasnya bolak-balik mengantar kargo gas alam cair dari Blok Mahakam, Kalimantan, ke Yung-An, Taiwan. Kontrak itu dibuat di puncak kejayaan rezim Orde Baru, ketika Keluarga Cendana memperlakukan Pertamina bak sapi perah.
Ketika kontrak panjang Ekaputra berakhir pada Desember 2009, Pertamina berada di simpang jalan: meneruskan perannya sebagai "induk semang" Humpuss atau berhenti sama sekali. Perusahaan minyak dan gas milik negara itu mengambil pilihan pertama. Demi menangguk profit dari sewa kapal LNG ke Jepang, Pertamina dan Humpuss berakrobat membuat kontrak baru untuk Ekaputra. Di balik layar, kedua perusahaan itu diam-diam berbagi keuntungan.
Selesai? Tidak juga. Sekarang kasus ini menggelinding menjadi bola panas. Sejumlah petinggi Pertamina dan Humpuss sudah dipanggil ke markas KPK di Kuningan. Ada yang menuding kongkalikong ini menguntungkan segelintir orang saja. Sejumlah pejabat BP Migas juga mengaku kecolongan.
SEPANJANG 2010, ada pemandangan tak lazim di lepas pantai Bontang, Kalimantan Timur. Sebuah tanker raksasa pengangkut gas alam cair melego jangkar di sana, mengapung saja berbulan-bulan. Tercatat hanya dua kali tanker itu merapat ke pelabuhan, lalu berangkat mengirim kargo gas. Selebihnya menganggur. "Dari kilang tempat saya bekerja, cuma kubahnya yang tampak di kejauhan," kata seorang karyawan di kompleks pengolahan gas Badak NGL di sana kepada Tempo akhir Desember lalu.
Kapal berlambung merah dengan lima kubah raksasa penampung LNG itu adalah Ekaputra. Inilah kapal legendaris kebanggaan PT Humpuss Intermoda Transportasi, perusahaan perkapalan milik anak bungsu mantan presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra.
Bisa dibilang, Ekaputra merupakan fondasi kerajaan bisnis Humpuss Intermoda. Tanker ini adalah kapal pengangkut LNG pertama yang dimiliki perusahaan itu. Jeda setahun tanpa kontrak pengangkutan LNG buat tanker berkapasitas 136 ribu meter kubik itu tentu menerbitkan tanda tanya.
Apa yang terjadi? Rupanya, pada akhir 2009, kontrak panjang Pertamina untuk Ekaputra berakhir. Sesuai dengan perjanjian awal, 20 tahun lampau, Pertamina punya hak istimewa untuk memperoleh perpanjangan kontrak lima tahun dengan nilai US$ 3,2 juta per tahun. Ini jelas supermurah. Soalnya, harga pasar saat ini untuk sewa tanker semacam Ekaputra bisa sampai US$ 20 juta per tahun. Jadi, kontrak kedua ini memang semacam bonus untuk badan usaha milik negara itu.
"Selain sewanya murah, Pertamina memang butuh tanker," kata Vice President PT Pertamina (Persero) untuk Urusan Komunikasi Korporat, Mochamad Harun, kepada Tempo akhir November lalu. Dia lalu menyebut sejumlah proyek pembangunan kapasitas kilang gas alam di dalam negeri yang tentu membutuhkan tanker untuk menyuplai LNG.
Nyatanya, proyeksi bisnis Pertamina meleset. Ladang gas Donggi-Senoro di Sulawesi tak rampung-rampung. Pembangunan terminal gas terapung (floating storage and regasification unit) di Tanjung Priok mundur sedikit dari jadwal. Jadilah Ekaputra terapung-apung tanpa pekerjaan berarti selama setahun. Padahal argonya jalan terus. "Kami rugi, minus delta," kata Harun berterus terang.
Tentu Pertamina tak tinggal diam. Tapi langkah bisnis mereka berikutnya tak mudah dipahami orang. Pada akhir Desember 2010—baru setahun setelah kontrak kedua berjalan—Pertamina dan Humpuss menghentikan kontrak sewa Ekaputra. Pada saat bersamaan, keduanya justru membuat kontrak baru dengan jangka waktu lebih panjang dan dengan nilai tiga kali lipat lebih mahal. Pada kontrak ketiga yang berjangka waktu 10 tahun ini, nilai sewa Ekaputra melambung menjadi US$ 11 juta per tahun.
Perjanjian anyar ini membuat banyak orang garuk-garuk kepala. Mulai pejabat Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sampai penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi turun tangan. Sejak Juli lalu, ada kabar KPK sudah menetapkan kasus ini masuk tahap penyelidikan. "Kami sedang terus mendalami perkaranya," kata juru bicara Komisi, Johan Budi S.P., akhir Desember lalu.
Satu sumber Tempo mengatakan, dalam perjanjian itu, "Ada indikasi kerugian negara, karena semua biaya pengapalan nantinya ditagih dan dibebankan Pertamina kepada negara."
Benarkah demikian? Mengapa harga sewa Ekaputra mendadak dinaikkan? Ada apa di balik kontrak ketiga ini?
TANKER Ekaputra mulai dibangun pada 1986 dengan nilai amat wah pada masanya: US$ 160 juta. Pembuatan kapal ini menjadi simbol masuknya Humpuss ke bisnis pengiriman LNG di Indonesia. Agar manuvernya lebih yahud, perusahaan Tommy Soeharto itu menggandeng perusahaan kapal bonafide dari Jepang, Mitsui O.S.K. Lines. Perusahaan patungan mereka bernama Cometco Shipping Inc. Di sana, pada awalnya, Humpuss menguasai 55 persen saham.
Pada awal 1990, begitu Ekaputra siap berlayar, Pertamina langsung mengikat perjanjian sewa jangka panjang. Selama 20 tahun berikutnya, Pertamina harus membayar US$ 26 juta per tahun kepada Humpuss. Sejak itulah Ekaputra berlayar mengantarkan kargo demi kargo LNG dari Lapangan Badak di Bontang, Kalimantan Timur, ke Jepang, kemudian ke Taiwan.
Dengan harga sewa US$ 26 juta per tahun, di atas kertas, Humpuss sebenarnya sudah balik modal pada 10 tahun pertama. Artinya, pada tahun-tahun setelahnya, bak memelihara ayam bertelur emas, perusahaan itu tinggal menangguk rupiah dari penyewanya. Pendek kata, Pertamina jadi semacam "induk semang" yang setia menyusui Humpuss. "Anda tahulah bagaimana kondisi Pertamina di era Orde Baru," kata juru bicara Pertamina, Mochamad Harun, ketika ditanyai soal untung-ruginya kontrak itu buat mereka.
Setelah kontrak pertama habis pada Desember 2009, sebenarnya ada peluang untuk mengubah kondisi itu. Tapi, alih-alih menjauhkan diri dari Humpuss, sejak tiga tahun sebelumnya, Pertamina sudah menyatakan niat memperpanjang kontrak. Pertamina rupanya tak mau kehilangan hak istimewa menyewa Ekaputra selama lima tahun berikutnya, dengan harga miring. Niat perpanjangan itu pun lalu disampaikan Wakil Kepala Bidang LNG Pertamina Yenni Andayani dalam suratnya ke Humolco Trans—pengelola Ekaputra—pada 26 Februari 2007.
Humpuss tentu juga tak mau merugi. Hampir satu setengah tahun kemudian, barulah ada jawaban dari perusahaan itu. Pada 6 Agustus 2008, Direktur Perkapalan PT Humpuss Intermoda Bobby Andhika mengiyakan permohonan Pertamina. Sesuai dengan klausul khusus pada kontrak pertama, harga sewa pada kontrak kedua ini adalah US$ 3,2 juta per tahun.
Pada saat yang sama, Pertamina sedang merampungkan negosiasi dengan calon pembeli LNG dari Blok Mahakam. Sejumlah perusahaan pembangkit listrik dari Jepang sedang berunding soal kontrak jangka panjang pembelian 2-3 juta metrik ton LNG per tahun. Mereka adalah Chubu Electric Power, The Kansai Electric Power, serta Kyushu Electric Power dan sejumlah perusahaan lain—Nippon Steel Corp, Osaka Gas, dan Toho Gas. Gabungan perusahaan pembeli gas dari Jepang ini lebih dikenal dengan sebutan Western Buyers Extensions atau WBX.
Pada 13 Februari 2009—setelah berunding sejak Mei 2007—WBX sepakat meneruskan kontrak pembelian LNG dari Kalimantan. Setiap tahun para kontraktor Blok Mahakam—Total, Vico, dan Inpec—harus menyiapkan 3 juta metrik ton LNG untuk WBX. Kontrak berlaku selama 10 tahun, sejak 1 Januari 2011 sampai akhir Desember 2020.
Yang menarik, perjanjian itu juga sudah terang-terang menyebutkan pengiriman LNG untuk WBX akan ditangani dua kapal milik Humpuss: Ekaputra dan Dwiputra. Skemanya ex-ship alias Pertamina yang menyediakan kapal, sementara biayanya dibayar WBX.
Sumber Tempo yang mengikuti jalannya perundingan itu memastikan bahwa—setelah negosiasi alot—pihak WBX bersedia membayar US$ 11 juta per tahun untuk sewa Ekaputra. "Perundingan agak lama karena mereka tahu harga sewa Ekaputra sebenarnya cuma US$ 3,2 juta," katanya. Rupanya, isi kontrak kedua antara Pertamina dan Humpuss sudah bocor sampai ke Jepang.
Yang jelas, di akhir perundingan, dengan perhitungan kasar saja, Pertamina seharusnya mengantongi keuntungan US$ 7,8 juta per tahun dari transport element. Angka ini adalah selisih dari US$ 11 juta yang dibayarkan WBX dengan biaya riil sewa Ekaputra yang hanya US$ 3,2 juta.
Begitu kontrak pembelian LNG disepakati, Pertamina masih punya pekerjaan rumah. Pertama, mereka harus menegosiasikan pembagian keuntungan dari kontrak itu dengan pemilik Ekaputra: Humpuss. Dan kedua, Pertamina harus meminta persetujuan BP Migas. Soalnya, otoritas ekspor LNG di Indonesia memang ada di tangan BP Migas. Pertamina hanya agen penjualan yang ditunjuk BP Migas.
Di sini, perundingan mulai beronak-berduri. Misalnya ketika Pertamina menuntut Humpuss menanggung seluruh biaya sewa dan operasional Ekaputra pada 2010—ketika tanker itu terapung-apung tanpa kargo di lepas pantai Bontang--Humpuss menolak.
Dalam suratnya yang ditujukan kepada Vice President LNG Business Pertamina Hari Karyuliarto pada awal Juni 2009, Presiden Direktur Humpuss Antonius Sumarlin berdalih sedang kesulitan keuangan. "We have difficulty in terms of cash flows," tulisnya. Antonius malah minta seluruh pembayaran WBX pada tahun kelima kontrak, 2015, sebesar US$ 11 juta masuk ke kas Humpuss. Dia beralasan kontrak sewa Pertamina atas Ekaputra toh akan berakhir pada akhir 2014.
Dalam surat balasan yang ditandatangani Pelaksana Tugas Kepala LNG Bussines Pertamina Budiman Aliwinardi, Pertamina meluluskan permintaan pertama Humpuss. Tapi permintaan keduanya soal pembayaran penuh pada 2015 ditolak.
Akhirnya, diambil jalan tengah. Sesuai dengan dokumen yang diperoleh Tempo, pada lima tahun pertama, Pertamina dan Humpuss membagi profit dari sewa Ekaputra ke WBX. Humpuss mendapat 44 persen, sedangkan Pertamina memperoleh 56 persen. "Dari lima tahun kontrak itu, Pertamina mendapat total sekitar US$ 27 juta," kata Mochamad Harun.
Dengan begitu, nilai sewa Ekaputra untuk Humpuss pun naik, dari semula US$ 3,2 juta per tahun menjadi US$ 4,84 juta.
KELAR dengan urusan bagi-bagi duit, Pertamina kini tinggal membereskan perkara perizinan. Sesuai dengan heads of agreement antara Pertamina, kontraktor Blok Mahakam, dan WBX, semua skema dan nilai kontrak itu—termasuk soal sewa Ekaputra—harus disetujui BP Migas. Di sinilah akrobat kontrak Pertamina-Humpuss mulai dipersoalkan.
Pada April 2010, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengirim sepucuk surat ke Kepala BP Migas R. Priyono. Meski pada kepala surat hanya tertera "Perihal: Perpanjangan Kontrak Sewa Kapal LNG Dwiputra", isi surat itu juga menyinggung ihwal perpanjangan kontrak tanker Ekaputra.
Dalam suratnya, Karen meminta persetujuan BP Migas untuk memperpanjang kontrak sewa Dwiputra selama 10 tahun lagi, dan sewa Ekaputra ditambah 5 tahun. Dia juga menjelaskan bahwa Pertamina hanya mendapat untung sedikit dari penyewaan dua tanker itu. "Pertamina akan mendapat profit rata-rata sebesar US$ 0,025/mmbtu atau setara dengan US$ 1,28 juta per kapal per tahun," tulisnya.
Di bagian lain suratnya, Karen meminta "segala biaya dan kewajiban yang timbul dari kontrak sewa kapal LNG Ekaputra dan Dwiputra sepenuhnya dilakukan melalui mekanisme cost of sales". Tak ayal, ada kesan Pertamina minta BP Migas ikut menanggung biaya sewa kapal.
Seorang pejabat menengah BP Migas mengaku langsung bersungut-sungut membaca surat Pertamina itu. Dia menuding ini praktek lama Pertamina. Menurut dia, BUMN itu sering mengajukan tagihan cost of sales yang kelewat tinggi dan tak berdasar.
Selain itu, BP Migas punya pengalaman tak enak dengan Ekaputra. Pada Oktober-Desember 2010, Pertamina mengajukan permohonan penggantian untuk biaya perbaikan tanker sebesar US$ 1,2 juta per bulan. "Kapal yang jarang bawa muatan, kok, diperbaiki? Apalagi dokumen kontrak sewanya tidak ada," ujarnya.
Pendeknya, orang-orang BP Migas mencium ada kongkalikong antara Humpuss dan Pertamina di balik pengajuan perpanjangan kontrak sewa Ekaputra. Kecurigaan mereka menguat karena sejumlah petinggi LNG Business Pertamina pernah mengajukan permohonan—atas nama Humpuss—agar tanker Ekaputra diizinkan menjadi agunan kredit Humpuss ke bank. "Padahal permintaan itu sudah ditolak oleh bagian hukum Pertamina, tapi tetap bisa nyelonong ke BP Migas," kata sumber Tempo.
Dengan bumbu kecurigaan semacam itu, tak aneh perundingan Pertamina-BP Migas berlangsung lama. Pekan demi pekan, negosiasi tak kunjung menemukan titik temu. Belasan kali rapat diadakan di gedung Patra Jasa—kantor BP Migas ketika itu—dan selalu dead lock. Deputi Pengendalian Operasi BP Migas (waktu itu) Budi Indianto berkeras menolak perpanjangan kontrak Ekaputra dan Dwiputra dengan skema yang ditawarkan Pertamina. Tujuh bulan rencana itu maju-mundur di BP Migas.
Melihat gelagat buruk, Kepala BP Migas Priyono turun tangan. Dia meminta Deputi Pengendalian Keuangan BP Migas (waktu itu) Wibowo Suseso Wirjawan mengambil alih perundingan dengan Pertamina. Di tangan Wibowo—kakak kandung Menteri Perdagangan Gita Wirjawan—perundingan mulus kembali.
Akhirnya, pada awal November 2010—sebulan sebelum kontrak pengiriman LNG ke Jepang dimulai—BP Migas memberikan lampu hijau untuk perpanjangan kontrak sewa tanker Ekaputra dan Dwiputra, dengan sejumlah catatan. Misalnya, BP Migas minta Ekaputra mendapat perpanjangan kontrak sewa 10 tahun, sementara Dwiputra hanya kebagian perpanjangan 5 tahun. Alasannya, kepemilikan pihak swasta nasional dalam Ekaputra mencapai 95 persen, lebih besar daripada Dwiputra, yang mayoritas sahamnya dimiliki Mitsui.
Surat persetujuan BP Migas juga unik. Di satu bagian tegas disebutkan harga sewa (owner cost component atau OCC) untuk Dwiputra adalah US$ 11 juta per tahun. Tapi harga OCC untuk Ekaputra tak disebut-sebut dalam surat. Sumber Tempo menjelaskan itu adalah cara BP Migas menghindari risiko hukum dari akrobat kontrak ini.
Dihubungi awal Desember lalu, Budi Indianto membenarkan cerita ini. "Sejak itu, saya tidak punya hak mengurus LNG lagi," ujar Budi.
Dihubungi terpisah, Wibowo mengakui perannya dalam memuluskan perundingan. "Kami di BP Migas bekerja sebagai tim," katanya. Tapi dia menolak kalau disebut membantu Pertamina dan Humpuss. "Saya bekerja bukan atas titipan orang," ujarnya.
Juru bicara BP Migas, Gde Pradnyana, membantah ada ketegangan antara lembaganya dan Pertamina gara-gara perundingan panjang untuk tanker Ekaputra. "Kami juga tidak pernah dan tidak perlu memberikan persetujuan untuk perpanjangan kontrak apa pun di Pertamina," katanya. "Itu wilayah Pertamina sebagai agen penjualan LNG."
Pada akhir Desember 2010, Presiden Direktur PT Humpuss Intermoda Transportasi Bagoes Krisnamoerti dan Kepala Bisnis LNG Pertamina Hari Karyuliarto menandatangani mutual termination agreement yang berisi penghentian kontrak kedua Ekaputra. Perjanjian itu juga menegaskan skema pembagian laba dari kontrak US$ 11 juta per tahun dari WBX untuk kedua perusahaan itu.
Setelah itu, per 1 Januari 2011, kontrak ketiga Ekaputra resmi berlaku. Dalam kontrak baru ini, jangka waktu sewa Ekaputra diperpanjang menjadi 10 tahun dengan nilai melompat tiga kali lipat.
Berkat perpanjangan itu, pada lima tahun kedua setelah berakhirnya kontrak sewa Pertamina (2016-2020), Humpusslah yang berhak mengantongi semua setoran fulus dari WBX. Seperti mendapat durian runtuh, Humpuss akan mengantongi tak kurang dari US$ 55 juta.
JURU bicara Pertamina, Mochamad Harun, membantah bila disebut ada kongkalikong antara Pertamina dan Humpuss dalam silang sengkarut kontrak sewa Ekaputra ini. Dia juga menolak tuduhan ada pihak yang mendapat keuntungan pribadi dari deal sewa tanker jumbo itu.
Meski begitu, Harun membenarkan kedekatan antara Bagoes Krisnamoerti dan Hari Karyuliarto. Hari sekarang menjabat Sekretaris Korporat Pertamina. "Tapi perkawanan mereka tetap menjaga profesionalitas masing-masing," kata Harun, yang ditunjuk pimpinan Pertamina merespons semua pertanyaan Tempo mengenai kasus ini.
Dia juga menegaskan, baik negara maupun BP Migas tidak dirugikan oleh skema kontrak sewa Ekaputra. "Ini murni upaya optimalisasi bisnis Pertamina," katanya.
Pihak Humpuss Intermoda dan Bagoes Krisnamoerti menolak menanggapi artikel ini. Dalam surat tanggapan resmi mereka yang dikirim kepada Tempo, awal Desember lalu, Sekretaris Korporat Humpuss Yayak Iskandar hanya menulis, "Kami mohon maaf tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan Anda."
Tim Investigasi Penanggung Jawab: Purwanto Setiadi Kepala Proyek: Muchamad Nafi Penulis: Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian, Yuliawati, Muchamad Nafi, Sandy Indra Pratama. Penyunting: Arif Zulkifli, Purwanto Setiadi, Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian. Penyumbang Bahan: Agung Sedayu, Febriana Firdaus, Muhammad Taufik, Firman Hidayat (Samarinda) Foto: Bismo Agung, Dwi Narwoko Desain: Ehwan Kurniawan, Aji Yuliarto Bahasa: Ian Bastian, Uu Suhardi |
Rantai Panjang Sewa Kapal Ekaputra
URUSAN sewa kapal tanker LNG Ekaputra antara Humpus dan Pertamina melalui perjalanan bisnis yang panjang. Bermula pada masa Orde Baru, saat Hutomo Mandala Putra, putra bungsu almarhum Soeharto memiliki kesempatan istimewa untuk membangun kapal tanker nasional pertama sekaligus terbesar pada masa itu. Kini, urusan kapal berlabuh di Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan penyelidikan atas perpanjangan sewa kapal yang disertai perubahan harga. Simak lika liku sewa kapal Ekaputra berikut ini:
1987
1 Mei
PT Humpuss Intermoda dengan Pertamina membuat kontrak sewa kapal tanker LNG Ekaputra selama 20 tahun untuk wilayah Bontang, Kalimantan Timur - Yung An, Taiwan. Kapal Ekaputra dibangun oleh Cometco Shipping Inc dengan 95 persen saham dimiliki Humpuss dan 5 persen oleh Mitsui O.S.K Lines.
1990
1 Januari 1990 - 31 Desember 2009
Kapal LNG Ekaputra milik Humpuss selesai dibangun dan mulai disewa oleh Pertamina. Kontrak sewa berakhir 31 Desember 2009 dengan harga owner's cost component (OCC) US$ 26 juta/ tahun. Dalam kontrak disepakati, setelah berakhir Pertamina berhak memperpanjang kontrak 5 tahun dengan harga menjadi US$3,2 juta/tahun.
2007
26 Februari 2007
Pertamina memberikan pernyataan kepada pemilik kapal (Humpuss) akan memperpanjang selama 5 tahun dengan harga sesuai kontrak. Humolco Trans Inc sebagai penyedia jasa kapal pun mendapat pemberitahuan dari Pertamina.
2009
13 Februari
Heads of Agreement antara Pertamina, Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation dengan enam perusahaan pembeli gas mengenai kesepakatan sewa kapal LNG tanker Dwiputra dan Ekaputra dengan metode ex-ship yakni dikirim oleh penjual dari Blok Mahakam, Bontang, Kalimantan Timur sampai lokasi tujuan.
3 Juni
Setelah beberapa kali negosiasi, Humpuss mengusulkan kembali mengacu kontrak lama yaitu harga OCC sebesar US$ 3,2 juta/tahun dan berlaku sampai tahun 2014.
11 Juni
Pertamina menyetujui usulan Humpuss, dengan demikian maka kontrak diperpanjang 5 tahun dari 1 Januari 2010 s/d 31 Desember 2014 dengan harga OCC US$ 3,2 juta.
2010
1 Januari 2010-31 Desember 2014
Kontrak baru sewa kapal Ekaputra dengan harga US$ 3,2 juta dimulai. Sepanjang tahun 2010, Ekaputra mengangkut dua kargo.
27 April
Pertamina menyurati BP Migas meminta persetujuan perpanjangan sewa kapal LNG Dwiputra. Dalam surat disebutkan, pembeli LNG telah menyetujui menggunakan kapal Dwiputra selama 10 tahun dan Ekaputra 5 tahun berdasarkan perhitungan OCC masing-masing sebesar US$ 11 juta per tahun per kapal.
9 November
BP Migas mengeluarkan surat persetujuan perpanjangan kontrak kapal LNG Dwiputra selama 5 tahun (2011-2015) dengan harga US$ 11 juta per tahun. Sementara sewa kapal Ekaputra selama 10 tahun (2011-2020) tanpa disebutkan harga. Surat ditandatangani oleh Deputi Pengendalian Operasi, Budi Indianto.
30 Desember
Pertamina dan Humpuss (Cometco Shipping) membuat Mutual Termination Agreement (MTA) yang membatalkan kontrak sewa Ekaputra 2010-2014 karena ada permintaan pengiriman LNG dari Blok Mahakam oleh pembeli dari Jepang (WBX). MTA menyebutkan akan dibuat perjanjian sewa baru. Pembagian OCC untuk Humpuss 44 persen dan Pertamina 56 persen.
2011
1 Januari 2011-31 Desember 2020
Perjanjian antara Pertamina dengan Cometco Shipping (Humpuss) untuk sewa kapal Ekaputra dari 1 Januari 2011-31 Desember 2020 dengan harga OCC US$ 11 juta. Perjanjian ditandatangani 31 Desember 2011
Juli 2011
Komisi Pemberantasan Korupsi memanggil pihak-pihak dari Pertamina dan BP Migas yang terlibat dalam kesepakatan sewa kapal Ekaputra.
Harga Sewa Tanker
Harga jangka pendek (spot) US$ 60-100 ribu per hari (periode 2010-2011) Legitnya bisnis gas terlihat dari pemasukan Humpuss yang ditopang hasil sewa kapal LNG oleh Pertamina.
Laporan keuangan Humpuss
Total pendapatan | Pendapatan usaha dari Pertamina | Pendapatan dari LNG (dalam Rp miliar) |
2007 | ||
690,3 | 506,7 | 316,6 |
2008 | ||
930,3 | 459 | 333,5 |
2009 | ||
939 | 469 | 373 |
2010 | ||
348 | 174 | 116 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo