Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Barangkali sudah terlipat zaman yang terus berganti dan karena itu hampir dilupakan, ada masanya Tohpati Ario Hutomo tergila-gila pada musik rock. Ketika masih remaja, melalui pamannya, gitaris 40 tahun yang kini lebih dikenal sebagai musikus jazz (apa pun jenis "kelamin" jazz-nya) ini pun kejangkitan karya-karya raksasa classic rock seperti Led Zeppelin, Deep Purple, Rush, Genesis, dan Yes. Tahun lalu, melalui Riot, album yang merupakan salah satu proyeknya sejak memilih jalur karier solo, dia seperti melakukan napak tilas dan merayakan kegilaannya itu.
Digarap cepat tanpa banyak polesan, Riot boleh dibilang justru melontarkan Tohpati, juga apa yang telah dicapainya sejauh ini, ke tataran yang lebih baru. Atau, setidaknya, membuat adonan musik yang disajikannya terasa lebih segar. Inilah, antara lain, poin yang menjadi alasan Tempo memilihnya sebagai album terbaik pada 2011 dan menahbiskan Tohpati sebagai tokoh seni bidang musik.
Untuk menggarap album itu, Tohpati menggandeng pemain bas Indro Hardjodikoro, sahabatnya sejak di band Halmahera pada awal 1990-an, dan penggebuk drum yang dikenal lewat aksinya bersama grup blues rock Gugun Blues Shelter, Adityo Wibowo alias Bowie. Ia memakai nama Tohpati Bertiga.
Indro bukan orang asing dalam proyek-proyek Tohpati sebelumnya. Adapun mengenai Bowie, Tohpati memang secara khusus memilihnya. "Bowie saya rasa paling pas dengan konsep musik yang hendak diusung dalam proyek ini," kata Tohpati.
Untuk menonjolkan karakter rock, Tohpati memang membutuhkan pendukung yang sanggup menghadirkan keagresifan dalam kondisi tertentu. Pada saat yang sama, ia juga membayangkan adanya ruang-ruang yang tak terlalu memaksanya berpikir tentang detail, kesempurnaan, dan keapikan. Pilihannya pada Bowie tak meleset: dengan sound drum berkarakter classic rock dan pukulan-pukulan bertenaga, Bowie menjadi semacam katalis keberhasilan ekspresi Tohpati Bertiga.
Cobalah simak semua komposisi dalam Riot, yang kaya improvisasi—setiap personel memang dibiarkan bermain lepas dengan gaya masing-masing. Lewat pukulan-pukulan drumnya, Bowie memompakan energi rock yang begitu menonjol dan memberikan napas funk yang kuat, menggairahkan, bahkan terasa membakar. Misalnya dalam nomor pembuka, Rock Camp. Pukulan drumnya yang intens menegaskan intonasi yang keras dan kencang. Ia mampu menjaga denyut funk yang pekat.
Roh funk juga terasa kuat dalam I Feel Great. Pada nomor ini, Bowie membubuhkan suasana riuh di sana-sini: pukulan drumnya berpadu dengan betotan bas Indro yang lentur dan, tentu saja, permainan gitar Tohpati yang lincah.
Nomor menarik lain adalah Upload, Lost in Space, dan Riot. Yang disebut terakhir merupakan penutup album sekaligus menjadi nomor paling "rusuh" dalam adonan musiknya.
Menurut Tohpati, Riot membutuhkan waktu produksi hanya sebulan, dari ide hingga rekaman. Proses rekaman dilakukan live selama dua hari di satu studio sederhana di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan, yang sebetulnya lebih mirip gudang. "Suasananya kumuh, berdebu, di pinggir jalan raya yang riuh dengan lalu-lalang kendaraan," katanya. "Suasana itulah yang kemudian menginspirasi album ini diberi judul Riot."
Seluruh rekaman dilakukan tanpa dubbing dan editing. Prosesnya dibiarkan natural dan apa adanya. Makanya, kadang terdengar gelak tawa, ada kesalahan sedikit di sana-sini. Tidak ada yang diedit. "Kesalahan bukan sesuatu yang fatal, tapi justru menjadi peristiwa yang unik dan enak didengarkan," ujar Tohpati.
Barangkali, konsep apa adanya dan natural itulah justru yang menjadi daya pikat sekaligus kekuatan lain dari album ini. "Ya, beginilah kalau saya bermain musik yang sebenarnya, tanpa direkayasa," kata Tohpati. Rencananya, album ini akan dirilis ulang oleh Moonjune Records, label dari New York, Amerika Serikat, pada Maret mendatang.
Pengamat musik David Tarigan menyatakan, sebagai karya yang berjalan dalam tradisi jazz fusion/jazz rock berorientasi gitar elektrik seperti karya-karya Jeff Beck atau Frank Zappa, Riot begitu luwes dalam eksekusinya. Komposisinya tak berlebihan, lebih langsung bila dibandingkan dengan praktek musik bernapaskan jazz Tohpati lainnya. Trio ini seperti menjalani format klasik grup rock yang tertarik dan bermain-main dengan ide-ide jazz. "Album ini sukses menghadirkan kementahan, agresi, dan kerusuhan yang terkontrol," katanya.
Hal senada dikemukakan Denny Sakrie. Menurut Denny, album ini tampaknya ingin menumpahkan segenap musik yang pernah mampir di otak musikus yang terlibat, dalam range antara rock dan jazz. Dengan dua elemen musik itulah mereka leluasa berdialog dalam bahasa jamming, liar tapi berkonsep. Imajinatif, tanpa batasan genre.
Nomine Album Terbaik 2011 Pilihan Tempo
Sepanjang 2011, ratusan album dirilis musikus Indonesia dalam berbagai genre musik: pop, blues, rock, dan jazz. Dari jumlah itu, kami kemudian memilih dan menyeleksinya untuk dinobatkan sebagai album terbaik pilihan Tempo. Berikut ini nominenya, selain Riot (Tohpati Bertiga).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo