Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Salah Urus dari Awal

Pertamina pernah membangun armada tanker di era Ibnu Sutowo. Hampir bangkrut karena manajemen berantakan.

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI di era Soeharto itu masih bugar. Ia terlihat necis dengan hem putih dan dasi cokelat, yang dibalut jas abu-abu motif kotak-kotak. Rambutnya yang putih dan makin tipis tidak bisa menyembunyikan usianya yang mendekati kepala delapan. Namun ingatan pria kecil itu masih tajam saat diberondong pertanyaan soal krisis utang tanker Pertamina, yang terjadi lebih dari tiga dekade silam.

Dialah Johannes Baptista Sumarlin, kini 79 tahun. Bersama Menteri Perdagangan Radius Prawiro, ia ditunjuk oleh Presiden Soeharto menyelesaikan tumpukan utang Pertamina senilai US$ 10,5 miliar. Posisinya saat itu Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara merangkap Wakil Ketua Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Sumarlin masih ingat, dewan komisaris yang diketuai Menteri Pertambangan M. Sadli tidak tahu ada krisis utang di Pertamina. "Ibnu Sutowo tidak pernah melapor ke komisaris," ujar Sumarlin saat ditemui di Jakarta, pertengahan Desember tahun lalu. Utang jumbo ini terkuak setelah banyak bank asing, sekitar awal 1975, wira-wiri ke Jakarta, menagih piutang ke Pertamina.

Gara-gara belitan utang itu, mimpi Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo membangun armada kapal—terutama buat mengirim minyak ke mancanegara—berantakan. Imbasnya, gerak-gerik bisnis Pertamina dibatasi. "Semua diberi pagar karena pemerintah tidak mau lagi ambil risiko," kata Yoga P. Suprapto, bekas Presiden Direktur PT Badak NGL.

Keputusan itu dipertegas dengan munculnya surat keputusan dewan komisaris Pertamina yang membatasi investasi Pertamina dalam jumlah besar. "Kepala kami seperti dilepas, tapi kaki diikat," kata bekas petinggi Pertamina.

Tak mengherankan bila hingga kini perusahaan pelat merah ini tidak pernah punya tanker liquefied natural gas (LNG), yang membutuhkan investasi jumbo serta menelan dana tiga kali lipat tanker biasa.

Padahal sejumlah praktisi di bisnis minyak dan gas alam cair mengatakan sudah saatnya perusahaan sekelas Pertamina memiliki tanker LNG sendiri. Mereka membandingkan Pertamina dengan Petronas. Melalui anak usahanya, Malaysia International Shipping Corporation (MISC), Petronas memiliki 34 tanker LNG. Perusahaan minyak dan gas bumi milik pemerintah Malaysia itu tercatat sebagai pemilik armada kapal LNG terbesar di dunia.

l l l

SEBAGAI Direktur Utama Pertamina, Ibnu Sutowo dikenal punya ambisi tinggi dan ingin gerak serba cepat. Pensiunan jenderal bintang tiga itu jorjoran membangun armada tanker Pertamina. "Ia ingin Pertamina terjun ke bisnis angkutan minyak di perdagangan internasional," kata Sumarlin.

Keputusan bisnis itu, kata Sumarlin, tidak sesuai dengan tugas pokok Pertamina. Perusahaan yang dulunya bernama Permina ini tidak didesain untuk membangun armada tanker buat menga­palkan minyak di perdagangan internasional. Justru yang dibutuhkan saat itu adalah kapal kecil untuk mendistribusikan minyak antarpulau. Ketentuan itu tertuang dalam Undang-Undang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nomor 8/1971.

Yang bikin celaka, pengadaan tanker itu asal tunjuk alias tanpa tender. Perusahaan minyak dan gas pelat merah itu harus melunasi utang jangka pendek US$ 3,3 miliar kepada para makelar kapal. Jumlah kewajiban tersebut hampir sepertiga dari total utang Pertamina pada saat itu.

Masalah muncul setelah kalkulasi bisnis Ibnu meleset. Memasuki pertengahan 1970-an, perdagangan minyak dunia lesu. Sebagian besar tanker Pertamina menganggur karena tidak membawa muatan. Sementara itu, banyak tagihan jangka pendek mulai jatuh tempo. Puncaknya, Ibnu dicopot pada 1976.

Sejak itu, peran dewan komisaris Pertamina diperkuat. Tim yang dipimpin Sumarlin dan Radius lalu menghentikan beragam proyek mercusuar yang diimpikan Ibnu. "Kami membatalkan seluruh kontrak sewa-beli (hire purchase) kapal tanker samudra," ujar Sumarlin.

Namun ikhtiar itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Para makelar kapal menolak kontrak dibatalkan. Akibatnya, pemerintah Indonesia berhadapan dengan para cukong kapal di 13 pengadilan yang tersebar di seluruh dunia, di antaranya di Singapura, Jepang, New York, Washington, dan London.

Makelar yang paling sengit memaksa agar kontrak diteruskan adalah Bruce Rappaport. Gara-gara terikat perjanjian dengan pria berkebangsaan Israel, Amerika Serikat, dan Swiss inilah Pertamina terjebak utang US$ 1,5 miliar, hampir setengah dari total utang tanker Pertamina yang saat itu menembus US$ 3,3 miliar.

Rappaport bukan orang baru buat Pertamina. Bos Inter Maritime Management Corporation ini yang mendatangkan tanker Proteus berbobot 30 ribu ton dari perusahaan Skandinavia.

Ia pernah menjamu Ibnu di sebuah klub malam di Jenewa, Swiss, menjelang akhir 1960-an. Pria licin ini berjanji menyuplai puluhan kapal buat Pertamina. Pendek kata, ia menjadi tangan kanan Pertamina untuk urusan sewa-beli tanker dan menjadi orang kepercayaan Ibnu.

Rappaport, misalnya, menjamin pasokan 21 kapal berbagai ukuran, selama 10 tahun, buat Pertamina. Ia pula yang berperan saat Pertamina menyewa-beli empat tanker—bernama Ibnu, Gina, Kollbris, dan Sea Breeze—masing-masing sekitar 134 ribu ton dari Martropico Compania Naviera SA, perusahaan afiliasi Rappaport yang tercatat di Panama. Pada Mei 1971, Pertamina mencarter tanker Keiko Maru dari perusahaan afiliasi Rappaport yang lain, Neptunea Atlantica SA, juga dari Panama.

Pada 1972, Rappaport menandata­ngani perjanjian memasok 30 kapal buat Pertamina. Lalu, satu tahun kemudian, Pertamina menyewa-beli enam tanker dari perusahaan afiliasi Rappaport yang lain, Rasu Maritima SA, yang tercatat di Liberia.

Kebobrokan Rappaport terendus setelah Pertamina menandatangani kontrak carter dua tanker lagi. Kedua kapal—Hulls 93 dan Hulls 285—ternyata belum dibuat. Kedua kapal nisbi itu ditukar dengan empat kapal yang lebih kecil. Total tanker yang disewa-beli oleh Pertamina menggelembung menjadi 15 buah, berbobot mati 1,4 juta ton, dan seharga, waktu itu, US$ 1,55 miliar.

Saat Sumarlin dan Radius Prawiro hendak membatalkan seluruh kontrak, Rappaport membawa sengketa ini ke pengadilan New York. Buat meladeninya, Indonesia menyewa Raymond J. Burke, pendiri Burke & Parsons, firma hukum asal Manhattan, Amerika Serikat.

Nah, di tengah proses renegosiasi, Rappaport berusaha menemui Sumarlin. Ia juga mengutus orang-orangnya buat membujuk Sumarlin agar kontrak kapal diteruskan. "Tapi saya selalu menolak," katanya.

Sebagian besar kontrak dengan Rappaport akhirnya bisa diselesaikan pada 1977. Konsekuensinya, Indonesia mesti membayar US$ 150 juta selama tiga tahun. "Tapi ongkos itu masih lebih murah ketimbang seluruh kontrak diteruskan," kata Sumarlin. Seluruh proses persidangan baru tuntas pada awal 1980-an.

Di mata Sumarlin, krisis yang terjadi di Pertamina saat itu murni akibat kelalaian manajemen yang dilakukan Ibnu. "Membesarkan Pertamina dengan utang besar adalah kesalahan besar," katanya.

Namun Ibnu menolak seluruh kesalahan ditimpakan kepada dirinya. "Semua keputusan penting sudah saya rundingkan dengan anggota komisaris," kata Ibnu dalam wawancara dengan Tempo pada awal 1976.

Baru belakangan pria yang pernah dijuluki Rockefeller Indonesia ini membuat pengakuan tertulis di bawah sumpah bahwa ia melakukan serangkaian kesalahan pribadi yang menabrak undang-undang Pertamina. "Saya telah menandatangani 1.600 nota perjanjian pembayaran yang disodorkan Bruce Rappaport tanpa membacanya terlebih dahulu," tulis Ibnu dalam pernyataannya.

Sesungguhnya, bila Soeharto mau, bisa saja Ibnu dibawa ke proses hukum. Namun keputusan politik berkata lain.

l l l

SAAT gas alam cair menyembur di Arun dan Bontang setelah pertengahan 1970-an, Pertamina ditunjuk sebagai wakil pemerintah buat memasarkannya. Namun, karena terseok utang, Pertamina tidak boleh membeli kapal LNG.

Perusahaan negara itu lalu menyewa delapan tanker, di antaranya Burma Gas, Hoegh, dan Golar Spirit. Seluruh sewa kapal berakhir tahun lalu.

Pada awal 1990, Pertamina menyewa Ekaputra, kapal milik PT Humpuss Intermoda Tbk, perusahaan milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Selain menyewa Ekaputra, Pertamina menyewa kapal Dwiputra, Golar Mazo, Surya Aki, dan Surya Satsuma—semuanya di bawah pengelolaan Humpuss.

Juru bicara Pertamina, Mochamad Harun, mengatakan Pertamina saat itu memang belum memiliki strategi buat memiliki kapal LNG. Soalnya, Pertamina bukan operator di ladang gas itu. "Buat apa punya kapal gas alam cair kalau marginnya tipis?" kata Harun. Posisi Pertamina hanya mewakili pemerintah melaksanakan kontrak jual-beli gas alam cair sekaligus menyewa kapal.

Toh, bukan berarti keinginan membangun armada tanker gas alam cair di masa depan tidak ada. Namun, "Kami masih fokus membangun kapal angkut bahan bakar minyak buat kebutuhan domestik terlebih dulu," kata Harun. Dari 160 kapal pengangkut bahan bakar minyak yang kini beroperasi, cuma seperlima yang benar-benar dimiliki Pertamina, selebihnya masih sewa.


Bisnis Kapal di Ladang Gas

CADANGAN gas di Tanah Air sebesar 1,5 persen dari total persediaan dunia menjadi perhatian produsen dan pembeli gas dunia. Lapangan gas Arun di Aceh dan Bontang di Kalimantan Timur menjadi pendulang devisa pada 1980-an. Beroperasinya blok gas Tangguh di Papua menambah produksi gas Indonesia. Dengan pembeli dari Jepang, Korea Selatan, Cina, dan Amerika Serikat, bisnis tanker menjadi bagian dari jaringan transaksi gas alam cair yang menggiurkan.

Arun, Aceh
Tahun produksi: 1978, 1983, 1986
Operator: PT Arun Natural Gas Liquefaction (Arun NGL)
Produsen gas: ExxonMobil
Kapasitas: 6,4 juta metrik ton per tahun
Jumlah kilang: 6 (kini beroperasi 2)
Kandungan: 17,1 triliun kaki kubik dengan jangka waktu produksi 20 tahun dan diperkirakan habis pada 2014
Tujuan ekspor: Korea dan Jepang

Badak, Bontang
Tahun produksi: 1977, 1983, 1989, 1993, 1997, 1999
Operator: PT Badak Natural Gas Liquefaction (Badak NGL)
Produsen gas: Total, Vico, Unocal
Kapasitas: 22,5 juta metrik ton per tahun
Kilang: 8

Kapasitas ekspor (juta ton per tahun)

  • Jepang: 3
  • Korea: 2
  • Taiwan: 1,84

    Kapasitas ekspor (juta ton per tahun)

    Tangguh, Papua Barat
    Tahun produksi: 2007
    Operator: BP Indonesia
    Produsen gas: CNOOC, BP, Nippon, MI Berau BV, KG
    Lokasi: Teluk Bintuni, Papua Barat, terdiri atas Blok Berau, Wiriagar, dan Blok Muturi
    Kapasitas: 7,65 juta metrik ton per tahun
    Kandungan: 14,4 triliun kaki kubik

  • Jepang: 3
  • Korea: 2
  • Taiwan: 1,84

    * Ekaputra (Jepang, DES)

    Kapal andalan Humpuss Intermoda. Dibuat pada 1987 dengan kapasitas 78.988 deadweight tonnage (DWT), Ekaputra merupakan kapal LNG terbesar di dunia saat itu. Berbendera Liberia, kapal ini dibuat dengan investasi US$ 178 juta.

    Menurut laporan keuangan Humpuss pada Desember 2008, nilai buku kapal Ekaputra sebesar Rp 632 miliar.

    Tujuan: Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang

    * Dwiputra (Jepang, DES)

    Pemilik kapal adalah Pacific LNG Transport Ltd. Dibangun pada 1994 dengan ukuran 61.700 DWT, manajemen kapal berbendera Bahama ini dikelola oleh Humpuss. Disewa Pertamina dari Bontang menuju Jepang.

    * Surya Aki (Jepang, CIF)

    Kapal milik MCGC International Ltd. Dengan manajemen kapal dikelola oleh Humpuss, Surya Aki disewa Pertamina melayani rute Bontang-Jepang. Dibangun pada 1996, ukuran kapal ini 10.599 DWT.

    * Surya Satsuma (Jepang, CIF)

    Kapal ini milik MCGC II International Ltd, tapi manajemen dan kru kapal dikelola oleh Humpuss. Dibangun pada 2000, kapal berkapasitas 12.493 DWT ini melayani rute Bontang-Jepang.

    * Golar Mazo (Taiwan, CIF)

    Faraway Maritime Shipping adalah pemilik kapal ini. Dibangun pada 2000 dengan kapasitas 135 ribu DWT, kapal berbendera Liberia ini disewa oleh Pertamina hingga 2017 untuk membawa gas menuju Taiwan.

    *Kapal yang diSewa Pertamina untuk pengiriman LNG

    Tujuan ekspor ==> Arun ==> Tangguh

    Keterangan:
    Tiga skema pengiriman LNG:

    FOB (free on board): kepemilikan LNG beralih ke pembeli ketika dipindahkan ke kapal pada fasilitas ekspor LNG. Pembeli bertanggung jawab atas pengiriman LNG. Harga penjualan LNG tidak termasuk biaya transportasi.

    CIF (cost, insurance, freight): kepemilikan LNG beralih ke pembeli pada suatu titik pada perjalanan antara terminal pengiriman dan terminal penerimaan. Penjual bertanggung jawab atas pengiriman LNG. Harga penjualan termasuk asuransi dan biaya transportasi.

    DES (delivered ex-ship): kepemilikan LNG beralih ke pembeli di terminal penerimaan. Penjual bertanggung jawab atas pengiriman LNG. Harga penjualan mencakup asuransi dan biaya transportasi.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus