Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sejarah Hitam Si Anak Emas

Humpuss mendominasi bisnis penyewaan tanker LNG untuk Pertamina. Berawal dari monopoli di era Orde Baru.

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPARUH dinding di lantai 8 Gedung Granadi di kawasan bisnis Kuningan, Jakarta Selatan, itu tampak dipenuhi berbagai foto aktivitas eksploitasi minyak dan gas bumi. Terlihat pipa-pipa minyak yang mengkilat, kilang raksasa, rig yang menjulang di laut lepas dengan api berkobar-kobar di cerobongnya, serta tanker dan kapal beraneka jenis dan ukuran.

Inilah kantor pusat PT Humpuss Intermoda Transportasi, pionir bisnis pengapalan gas alam cair (LNG) di Tanah Air. Selama lebih dari 20 tahun, bendera Humpuss berkibar, mendominasi kontrak-kontrak pengiriman kargo gas alam ke Korea, Jepang, Taiwan, sampai Amerika Serikat.

Di satu sudut lantai itu, tak jauh dari ruang direksi, sebuah maket sepanjang hampir semeter tampak mencolok. Dilindungi kaca tebal, maket itu adalah replika yang luar biasa mirip dari tanker kebanggaan Humpuss. Warna lambung kapalnya merah menyala, dengan lima kubah penyimpan LNG di atasnya. Di haluan kapal, tercetak besar-besar nama kapal itu dengan cat putih bersih: Ekaputra.

Pada zamannya, tanker LNG Ekapu­tra adalah pembuat sejarah. Ketika selesai dibangun pada 1990, kapal yang bisa mengangkut kargo sampai 136 ribu meter kubik ini adalah kapal terbesar pengangkut gas alam cair yang pernah dimiliki perusahaan Indonesia. Dibuat khusus di galangan kapal Mitsubishi di Jepang, kehadirannya digadang-gadang sebagai awal masa keemasan eksplorasi gas di Nusantara.

"Adanya kapal ini menyebabkan biaya angkutan, yang selama ini jatuh ke luar negeri, kini diterima bangsa sendiri," kata pemilik tanker itu, Hutomo Mandala Putra, dalam sebuah wawancara dengan Tempo, 20 tahun lalu. Hutomo alias Tommy adalah putra bungsu Soeharto.

Ekaputra adalah kapal pertama dalam armada Cometco Shipping Inc—perusahaan patungan Humpuss milik Tommy Soeharto dan Mitsui O.S.K Lines Ltd dari Jepang. Biaya pembuatan kapal Ekaputra sebesar US$ 160 juta diperoleh dari sindikasi 15 bank asing, termasuk Bank of Tokyo.

Beberapa badan usaha milik negara, termasuk Pertamina, dengan senang hati menawarkan sewa kepada Tommy. Tanpa tender, perusahaan minyak dan gas bumi itu membuat kontrak jangka panjang untuk meminjam Ekaputra. Selama 20 tahun berikutnya—sampai Desember 2009—setiap tahun Pertamina membayar US$ 26 juta untuk menyewa tanker jumbo itu.

Terkesan dengan gurihnya bisnis penyewaan kapal LNG—apalagi dengan captive market di tangan—Humpuss segera berekspansi. Empat tahun kemudian, perusahaan itu meluncurkan tanker baru, Dwiputra. Dengan kapasitas sedikit lebih kecil dibanding abangnya, tanker itu berukuran 61.700 deadweight tonnage (DWT).

Sama seperti Ekaputra, begitu Dwiputra siap berlayar pada 1994, Pertamina langsung mengikat kontrak jangka panjang. Tapi belakangan, baru ketahuan bahwa produksi LNG di Bontang, Kalimantan Timur, belum membutuhkan satu lagi tanker. Walhasil, Dwiputra menganggur hampir dua tahun. Meski tanker itu tak bekerja, argonya jalan terus. Pertamina pun tak pernah terlambat membayar sewa.

Kisah Dwiputra ini jadi pergunjingan di kalangan pebisnis migas. Pasalnya, harga tanker LNG rata-rata dua atau tiga kali lipat harga kapal jenis lain. Saking mahalnya, perusahaan migas biasanya memastikan dulu ada kontrak pengiriman kargo gas sebelum berekspansi membangun tanker LNG. "Bahkan sering kali perusahaan penjual LNG patungan dengan pembelinya untuk membuat tanker," kata Yoga Suprapto, mantan Presiden Direktur Badak NGL, yang kini aktif sebagai konsultan energi di Rinder Energia.

Juru bicara Pertamina, Mochamad Harun, tak membantah cerita tentang monopoli Humpuss dalam bisnis pengapalan LNG Pertamina ini. "Anda tahu sendiri bagaimana kondisi Pertamina di zaman Orde Baru," katanya. Namun tak satu pun pejabat Humpuss saat ini yang bersedia diwawancarai. "Maaf, kami tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan," tulis Sekretaris Korporat PT Humpuss Intermoda Transportasi Yayak Iskandar dalam surat jawabannya untuk Tempo.

Ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia pada 1997, bisnis Humpuss terseok-seok. Kontrak sejumlah kapal dibatalkan dan mereka kelimpungan mencari penyewa. Sumber Tempo bercerita, ketika itu, Humpuss sempat terpaksa menjual sebagian armada kapal pengangkut metanol. "Mereka mencoba masuk bisnis angkutan batu bara, tapi kapalnya kemahalan," katanya.

Kesulitan di era pasca-Soeharto juga membuat Humpuss terpaksa melakukan sejumlah restrukturisasi. Salah satunya dengan merelakan kepemilikan sahamnya di Dwiputra menyusut, diganti (swap) dengan kepemilikan mayoritas di tanker Ekaputra. Sekarang, Humpuss menguasai 95 persen saham Ekaputra.

Itu pun belum banyak membantu. Empat tahun terakhir, neraca Humpuss tampak suram—kecuali pada 2009, ketika perusahaan itu meraup laba Rp 27,3 miliar. Pada 2008, perusahaan tersebut rugi Rp 66,6 miliar. Dua tahun kemudian, pendapatan Humpuss bahkan anjlok dengan rugi sebelum pajak mencapai Rp 650-an miliar. Tahun ini, dalam laporan kuartal ketiga perusahaan itu, pendapatannya masih minus Rp 43 miliar. Dalam laporan resminya, Humpuss menjelaskan, merosotnya kinerja mereka didorong oleh beban usaha dan beberapa masalah hukum yang membelit.

Untunglah ada Pertamina. BUMN ini masih setia membantu bisnis Humpuss. Hingga tahun ini, pemasukan terbesar Humpuss berasal dari sektor penyewaan kapal—yang lebih dari separuhnya disumbang oleh kapal-kapal LNG yang disewakan ke Pertamina.

Lihat saja neraca Humpuss pada 2010. Dari total pemasukan sebesar Rp 348 miliar, bisnis penyewaan kapal LNG menyumbangkan Rp 116 miliar. Semuanya berasal dari Pertamina. Angka-angka yang sama tampak pada neraca pemasukan Humpuss sampai lima tahun ke belakang.

Selain menyewa Ekaputra dan Dwiputra, Pertamina memang menyewa dua kapal lain yang dikelola Humpuss. Dua kapal lain itu, Surya Aki dan Surya Satsuma, berukuran lebih kecil—hanya sekitar 12 ribu DWT—dan sama-sama melayani pengiriman LNG dari Bontang ke Jepang.

Praktek anak emas ini tak dinikmati perusahaan perkapalan lain. Oentoro Surya, Presiden Direktur PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk dan mantan Ketua Asosiasi Perusahaan Pelayaran Indonesia, memberi contoh. "Lihat saja kontrak-kontrak penjualan minyak dan gas bumi kita ke luar negeri. Semua menggunakan skema FOB (free on board)," kata Oentoro. Skema FOB mensyaratkan pembeli migas menyediakan kapal sendiri untuk pengangkutan. "Mereka datang ke sini sudah bawa kapal sendiri," ujarnya mengeluh.

Sebaliknya, kata Oentoro lagi, ketika membeli minyak bumi dari luar negeri, Pertamina justru mau saja menerima skema pembelian dengan CIF (cost, insurance, freight). Artinya, si penjual yang datang ke terminal Pertamina menyetorkan minyak pesanan Pertamina. Dengan kata lain, kecuali milik Humpuss, tak banyak kesempatan kapal pengangkut dalam negeri mendapat proyek. "Kebijakan semacam itu tidak menguntungkan untuk industri pelayaran dalam negeri," ujarnya.

Walhasil, sampai sekarang, praktis Humpuss bertahan sendirian sebagai pemain nasional yang dominan di bisnis pengapalan LNG. Kompetitor lain tidak bisa sembarangan masuk ke lahan yang sudah puluhan tahun dikuasai perusahaan itu. "Selain perlu modal besar, profit margin-nya tipis," kata satu pelaku industri perkapalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus