Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir setiap tahun Umberto Eco mengunjungi Pameran Buku Internasional Frankfurt, yang dia sebut sebagai tempat "berkomplot" sastrawan besar. Kunjungannya kali ini disertai misi mempromosikan novel terbarunya, Il cimitero di Praga ("Pemakaman di Praha"), yang pekan ini mulai muncul di toko-toko buku Jerman.
Novel keenam Eco itu terbit dalam bahasa Italia pada 2010. Novel ini mengisahkan Simone Simonini, agen rahasia dan pembunuh massal gila yang membenci orang asing, Yahudi, dan Jesuit. Sang tokoh menenun rencana rahasia, konspirasi, intrik, dan serangan-serangan yang telah mengarahkan sejarah dan politik daratan Eropa. Melalui tokoh itu, Eco mengurai berbagai kasus kontroversial dalam sejarah, seperti pemalsuan dokumen Protocols of the Learned Elders of Zion ("Protokol Sesepuh Terpelajar Zion"), yang menjadi alasan Adolf Hitler membantai Yahudi, dan gerakan Freemason.
Dokumen yang pertama kali terbit di Rusia pada 1903 itu berisi laporan kongres pertama Zionis di Basel, Swiss, pada 1897. Di sana disebutkan bahwa kaum Kristen ordo Jesuit dan Freemason berencana menghancurkan peradaban Kristen dan mendirikan sebuah negara dunia di bawah kepemimpinan mereka. Paham liberalisme dan sosialisme disebarluaskan sebagai alat untuk menumbangkan Kristen, dan jika usaha ini gagal, semua ibu kota negara di Eropa akan disabotase.
Pada 1921, Philip Graves, wartawan The Times London, dan sejarawan Rusia, Vladimir Burtsev, membuktikan dokumen itu dipalsukan oleh agen polisi rahasia Rusia berdasarkan Dialog di Neraka antara Machiavelli dan Montesquieu, sebuah satire tentang Napoleon III karya pengacara Prancis, Maurice Joly, novel fantasi karya Hermann Goedsche, dan sumber-sumber lain.
Namun banyak orang yang percaya dokumen itu asli. Di Amerika Serikat, misalnya, Henry Ford, konglomerat pemilik pabrik mobil Ford, sangat percaya dan dalam korannya, Dearborn Independent, ia menyebut dokumen itu sebagai bukti nyata ancaman Yahudi.
"Simone Simonini adalah pemuja sejarah abad lampau: Garibaldi, pahlawan dalam Perang Kemerdekaan Italia; Hitler, delusi Dreyfus, lemparan bom-bom anarkistis. Dan, kesalahan Protokol berperan banyak dalam cerita," kata Eco.
Umberto Eco adalah seorang tokoh langka dari perkawinan ahli semiotika dan filsafat dengan pengarang novel yang laris. Sebagai sastrawan dia mulai terkenal berkat novel The Name of the Rose. Novel lainnya adalah Foucault's Pendulum, The Island of the Day Before, Baudolino, dan The Mysterious Flame of Queen Loana.
Profesor komunikasi di Universitas Bologna, Italia, itu menerima lebih dari 20 gelar doktor kehormatan dari berbagai perguruan tinggi, termasuk State University of New York, Royal College of Arts Inggris, dan Universite de Paris, Prancis. Lelaki kelahiran Alessandria, Italia, pada 5 Januari 1932 ini mengoleksi 50 ribu buku lebih yang tersimpan di beberapa rumahnya, khususnya di apartemennya di Milan dan rumah peristirahatan dekat Rimini.
Selama di pesta buku Frankfurt, Eco sibuk berpindah-pindah, dari diskusi yang satu ke seminar yang lain, dari pertemuan yang satu ke acara bincang-bincang televisi di panggung lain. Dalam berbagai kesempatan dia suka mengisahkan kesenangannya pada buku dan berbagi lelucon. "Saya senang mengumpulkan buku yang secara teori salah, termasuk buku-buku kuno, sama seperti kolektor benda lain yang gemar mengumpulkan prangko atau mobil," katanya. "Kenapa banyak buku salah? Karena banyak sekali maniak buku yang suka mencabut atau menyobek lembar buku."
Penampilannya santai dan cepat menangkis setiap serangan dari penanya. Ketika ditanya buku apa yang akan dia bawa ke liang kubur, dia langsung menjawab, "Buku telepon, karena di situ tidak ada nama-nama yang ada dalam buku saya," katanya.
Di tengah kepadatan acaranya, Eco menyempatkan diri menjawab beberapa pertanyaan Sri Pudyastuti dari Tempo dalam empat kesempatan. Berikut ini petikannya.
Penampilan Anda agak berbeda dengan foto-foto Anda yang selama ini menghiasi punggung buku Anda. Tanpa jenggot.
Saya tambah tua. Jenggot hanya bikin saya jadi kelihatan seperti Genghis Khan, ha-ha-ha….
Kabarnya, novel terbaru Anda, Il cimitero di Praga, menjadi buku terlaris di Italia.
Ya, novel itu sudah terjual lebih dari 500 ribu eksemplar. (Menurut koran bergengsi Jerman, Frankfurter Algemeine, di Italia dan negara-negara berbahasa Spanyol novel ini telah terjual jutaan eksemplar).
Anda puas?
Begini, ya. Aneh jika Anda menulis dengan harapan buku Anda tidak dibaca. Di setiap buku saya selalu berusaha membuat alur cerita rumit, agar pembaca tegang dan penasaran, ha-ha-ha…. Il cimitero di Praga adalah buku yang bercerita tentang anti-Semit abad ke-19 dan ramalan dokumen Protocols of the Learned Elders of Zion. Saya sudah lama tertarik dengan tema itu. Saya ingin bercerita tentang konstruksi sejarahnya.
Protokol adalah sumber berbagai kesalahan. Pamflet anti-Semit yang terkompilasi dalam banyak teks kuno. Pada 1931 ketahuan bahwa Protokol cuma "fiksi". Itulah dunia, yang dipenuhi oleh orang-orang yang "gampang percaya" begitu saja. Teori memang ditetaskan ke dunia lewat para intelektual, tapi saya punya moto "percayalah pada teori yang menurut diri sendiri salah". Saya mengumpulkan banyak buku salah, seperti buku Astronomie des Ptolomaues. Tapi bukan berarti saya tidak suka membeli buku bagus. Buku Etymologie atau Gutenberg Bible, Injil cetakan pertama, bakal saya beli, bukan karena buku itu salah, tapi karena buku itu bagus.
Bagaimana pandangan Anda tentang buku elektronik?
Membaca koran atau buku lewat iPad malah membuat mata saya rabun, karena saya sudah tua dan mata saya dipaksa melihat huruf kecil-kecil (di layar monitor). Tapi beginilah, di alam bebas seperti ini orang merdeka menetapkan pilihan cara membaca: mau buku elektronik atau buku cetak. Tapi, kalau ditanya bagaimana nasib buku di masa depan, jawaban saya: buku sudah terbukti eksistensinya. Media elektronik, seperti buku elektronik, belum. Tidak ada orang yang tahu sampai kapan buku elektronik akan bertahan. Eksistensinya belum terbukti. Jika saya, misalnya, menemukan buku masa kecil di gudang, ada emosi yang bergerak di situ. Tapi, kalau yang ditemukan disket, belum tentu bisa dirasakan kenangannya lantaran perkembangan teknologi telah berubah. Disket tidak bisa lagi dioperasikan. Sebaliknya, eksistensi buku cetak sudah terbukti sejak ribuan tahun lalu.
Anda senang bermain game di komputer?
Seingat saya, saya pernah sekali main dengan cucu saya, lalu memorinya tersimpan di komputer. Tapi godaan untuk bermain lagi tidak besar.
Apa yang ingin diungkap di buku terbaru Anda, This Is Not the End of the Book?
Seperti pernah saya katakan, eksistensi buku sudah terbukti bertahan sejak ribuan tahun lalu. Kita masih bisa membaca buku yang sudah berabad-abad umurnya. Seperti halnya sendok, gunting, atau palu, sekali ditemukan, buku tidak bisa diubah jadi lebih baik. Kisah ini yang saya angkat. Buku ini merupakan percakapan saya dengan penulis skenario dan drama Prancis Jean-Claude Carriere. Semacam obrolan pendek dan diskusi tapi serius, terutama bila menyinggung soal semiotika, yang secara teknis mesti diterangkan lewat diagram. Ibarat dua kutu buku yang bertukar anekdot atau pendapat. Jangan salah, dia bukan "lawan bicara", melainkan "teman mengobrol".
Banyak buku "menderita" karena tidak selesai dibaca. Pendapat Anda?
Betul. Siapa yang membaca Finnegans Wake (novel karya James Joyce) dari awal sampai akhir? Siapa yang teratur membaca Injil, dari Genesis sampai Apocalypse? Siapa pula yang membaca Kama Sutra, meskipun orang-orang membicarakannya dan mempraktekkannya. Saya juga. Saya punya tiga edisi buku Mahabharata dalam berbagai bahasa yang belum pernah saya baca dan cuma sepertiga isi Injil yang saya baca.
Anda senang mengoleksi buku kuno, apakah tidak pernah ada komentar bahwa perpustakaan Anda jadi kelihatan seperti museum?
Perpustakaan saya terbagi dua. Yang satu berisi buku era saya. Yang satunya lagi buku Homer, Rabelais, Goethe, dan semacamnya. Jika seniman berpameran, ia akan memajang benda-benda mengagumkan. Tapi, jika kolektor buku memajang buku kunonya di lemari antik, orang tak akan tertarik. Bagaimana buku usang yang sederhana penjilidannya bisa lebih berharga ketimbang buku dengan ilustrasi menarik? Artinya, ini memang soal selera dan minat yang tidak dimiliki banyak orang. Tapi jangan memberitahukannya kepada kolektor buku lain. Mereka bakal cemburu.
Pernahkah Anda menukar buku?
Hampir tidak pernah. Pesaing saya adalah tetangga saya, yang kebetulan orang terkaya di Milan. Saya punya dua buku misterius Dialogus de Laudibus Sanctae Crucis (1503). Yang satu saya temukan di acara buku kuno di Brussel yang penjilidannya sudah rusak. Buku itu tidak seberapa harganya, jadi saya ambil. Saya membawanya ke penjilidan dan dibikin mirip aslinya. Buku itu saya tawarkan ke tetangga saya: "Mau tukeran buku?" Dia bilang tidak. Lalu saya bawa ke pedagang buku teman baik saya dan laku dijual ke tetangga saya tadi dengan harga amat tinggi. Hasilnya kami bagi dua. Padahal sebetulnya ia bisa mendapatkannya dengan gratis, ha-ha-ha….
Anda pernah meminjamkan buku?
Tidak pernah. Kalau perlu, saya menghadiahkan buku, tapi tidak meminjamkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo