Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Umberto Eco dan Ebook di Frankfurt

Pameran Buku Internasional Frankfurt 2011 yang berlangsung dari 12 sampai 16 Oktober lalu secara khusus mengupas perkembangan bisnis ebook dan dunia digital. Salah satu sastrawan dunia yang turut berdebat dan membicarakan fenomena mutakhir di dunia perbukuan itu adalah Umberto Eco.

Sastrawan Italia itu kita ketahui tahun ini meluncurkan buku This is Not the End of the Book: A Conversation Curated by Jean-Philippe de Tonnac. Isinya masih optimistis akan masa depan buku konvensional alias buku cetak. Di ajang itu juga ia mempromosikan novel terbarunya, Il cimitero di Praga.

Wartawan majalah Tempo Sri Pudyastuti menyempatkan diri berbincang dengan Umberto Eco. Ia juga menurunkan kisah mengenai tradisi perpustakaan rumahan di Islandia, negara kepulauan kecil yang menjadi tamu khusus pameran.

24 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepuluh Nintendo di stan kecil yang hanya berisi dua meja putih itu tak pernah menganggur. Anak-anak yang menghadiri Pameran Buku Internasional Frankfurt di Frankfurt, Jerman, minggu kedua Oktober ini, betah memainkannya, meski harus berdiri, hingga pameran tutup pada pukul 19.30. Yang tak kebagian sabar menunggu giliran. Tidak ada penjualan apa-apa di sana, dan semua Nintendo disediakan gratis. "Biar mereka bisa bermain sepuasnya dan semakin 'cinta' dengan barang elektronik ini," kata Ricky, penjaga stan milik perusahaan game Jepang tersebut.

Stan Nitendo adalah bagian dari stan-stan perusahaan game lain di Pameran Buku Internasional Frankfurt yang menyajikan bagaimana di era seperti sekarang ini bisnis buku memasuki era digital. Di stan itu disajikan bagaimana Nintendo telah digunakan dalam proyek Des Deutschen Kindersoftwarepreis, sebuah proyek digitalisasi pendidikan anak Jerman, yang digagas ahli media dan majalah Spielen und Lernen, majalah panduan pendidikan anak.

Hauptschule Plattling, sekolah setingkat SMP di dekat Kota Deggendorf, misalnya, telah menggunakan Nintendo sebagai media belajar matematika bagi siswanya selama enam pekan sejak Juli lalu. Hasilnya, kemampuan berhitung siswa lebih cepat dari biasanya. "Tes pembagian dalam 24 soal untuk 10 menit dapat diselesaikan siswa lebih cepat. Bahkan, yang paling lambat di kelas dapat menyelesaikannya dalam tempo enam menit," kata Ulrich Walter Stoeger, guru matematika kelas VI di sekolah tersebut. Materi lain, semisal sastra dan pelajaran sejarah, menurut dia, sangat mungkin dialihkan ke dalam bentuk permainan.

Gagasan semacam inilah yang membuat pameran buku Frankfurt kali ini ditekankan pada perkembangan bisnis dan teknologi digital perbukuan. Isu ini dibahas secara seru dalam Story Drive, ajang pertemuan kalangan media dan bisnis hiburan, seperti pengusaha game, pembuat film, perancang program komputer, dan penerbit.

l l l

Di ajang pertemuan itu para pionir industri permainan komputer hadir. Selain para ahli media dari Nintendo, hadir Gabe Zichermann, Mathias Myllyrne, Peter Larson, dan wakil perusahaan seperti Konami dan Frogster. Dari industri film hadir produser delapan seri film Harry Potter, David Heyman; produser kanal televisi HBO, Peter Friedlander; dan aktor Rupert Everett.

Sebagian besar peserta pertemuan menunjukkan nada optimistis dalam melihat masa depan buku elektronik dan adaptasi bisnis buku di era digital. Menurut Peter Friedlander, perluasan novel melalui teknologi juga amat diperlukan dalam bisnis dunia film, dengan semakin banyaknya film yang berangkat dari novel yang laku. Forrester Research, lembaga riset independen di Amerika Serikat, mencatat perolehan penjualan buku elektronik pada 2010 naik dua kali lipat dari tahun 2009, menjadi US$ 500 juta atau sekitar Rp 4,5 triliun. Jika satu buku itu seharga US$ 10, sebanyak 50 juta buku sudah terjual di seluruh dunia dalam setahun.

Amazon, toko buku online terbesar di dunia, melaporkan pula kenaikan pendapatannya, dari US$ 8 juta pada 2007 menjadi US$ 58 juta pada 2009. Amazon kini menguasai 80 persen peredaran buku elektronik di dunia. Perusahaan itu kemudian memperkenalkan Ebook 9,99, yakni buku elektronik dengan harga pukul rata US$ 9,99.

Hal ini sempat membuat para penerbit buku cetak yang menjual buku lewat Amazon marah, karena pembaca terang lebih memilih buku elektronik yang sangat murah itu daripada buku bersampul keras seharga US$ 30, sehingga para penerbit melakukan "boikot 9,99". Tapi Amazon jalan terus dan menyalip pengusaha buku elektronik lain yang mematok harga US$ 14-15.

l l l

Namun ada saja orang yang tidak sepakat dengan sikap para pengusaha buku elektronik itu. Umberto Eco, misalnya. Sastrawan Italia yang sangat sibuk menghadiri berbagai acara di arena pameran Frankfurt itu lebih percaya pada buku cetak. "Buku (cetak) sudah terbukti eksistensinya. Media elektronik, seperti buku elektronik, belum," katanya.

Buku terbaru Eco tahun ini adalah This is Not the End of the Book: A Conversation Curated by Jean-Philippe de Tonnac. Buku itu ditulisnya bersama pengarang drama Jean-Claude Carriere. Di buku itu Eco membela masa depan buku cetak. "Internet telah mengembalikan kita kepada alfabet. Mulai sekarang, setiap orang membaca. Untuk membaca, Anda perlu sebuah medium. Medium ini tak cuma layar komputer," tulisnya.

Eco bukan orang yang antiteknologi. Dalam acara itu dia mengaku setidaknya memiliki delapan komputer dan tiap hari rajin berselancar di Internet. Pada pertengahan 1990-an dia sudah menggulirkan proyek Multimedia Arcade yang ditaja pemerintah Kota Bologna, Italia, tempat dia tinggal. Proyek itu bermaksud menyediakan sebuah ruang bagi masyarakat untuk belajar mengakses teknologi baru untuk membawa Italia memasuki era informasi kecepatan tinggi. Proyeknya gagal karena anak muda Italia ternyata menemukan caranya sendiri untuk mengakses dunia maya.

Umberto Eco bercerita, sehari-hari dia sering membuat catatan kecil, yang kemudian dipindahkan ke komputer. Kemudian, "Saya bekerja dalam 'ruang kosong', seperti ketika saya menunggu Anda datang, di situ ada 'ruang kosong'. Jadi, ketika Anda datang, saya sudah selesai menulis," katanya.

Dia juga mengaku sering berbelanja buku elektronik untuk keperluan kerja. "Misalnya ketika saya menyusun novel terbaru saya, Il cimitero di Praga ("Pemakaman di Praha"). Saya perlu lima tahun untuk mengumpulkan buku tentang abad ke-19". Terbayang bahwa buku lama yang langka itu tentu datanya belum tersedia di pelayanan buku elektronik. Untuk itu, diperlukan pencarian ke berbagai perpustakaan dan toko-toko buku tua. "Adapun buku baru saya biasanya membelinya di toko," kata dia.

Maka, meski Nintendo telah terjun ke dunia pendidikan, atau Amazon telah berganti orientasi dan strategi pemasaran bukunya lewat dunia maya, Umberto Eco tetap melihat buku cetak tak akan lekang ditelan zaman. Manusia kapan pun masih membutuhkannya. "Perubahan buku-sebagai-obyek tidak mengubah fungsi maupun tata bahasanya selama lebih dari 500 tahun. Buku itu seperti sendok, gunting, palu, roda. Sekali ditemukan, tak dapat diubah." Di mata Eco, buku elektronik memang punya tempat di dunia perbukuan, tapi ia tak akan menjadi dominan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus