Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antara sisa musim semi yang masih saja mengirim udara dingin, pesta gemerlap Festival Film Cannes ke-61 itu ditutup. Laurent Cantet tentu saja menjadi bintang paling bersinar di ajang festival yang berlangsung 12 hari dan ditutup resmi 25 Mei lalu itu. Cantet bukan nama baru di dunia sinema. Sutradara Prancis kelahiran 1961 ini telah menghasilkan empat film panjang sejak debutnya sebagai sutradara pada 1999, beberapa skenario, sejumlah film dokumenter, dan film untuk televisi. Beberapa penghargaan pun pernah dikantonginya. Namun di Festival Film Cannes tahun inilah ia memperoleh pengakuan puncak: The Class dinobatkan oleh dewan juri sebagai film terbaik, penerima penghargaan tertinggi Palem Emas.
Film karyanya, The Class, menyisihkan 21 film lain yang menjadi pesaingnya di seksi Kompetisi Utama, termasuk sejumlah film yang disebut-sebut berpeluang besar merebut penghargaan utama—antara lain A Christmas Tale (Arnaud Desplechin, Prancis), Changeling (Clint Eastwood, Amerika Serikat), dan Waltz With Bashir (Ari Folman, Israel).
”Film ini utuh dan mengalir,” kata aktor-sutradara Sean Penn, ketua dewan juri, dalam jumpa pers seusai pengumuman pemenang, pada hari terakhir festival, 25 Mei lalu. Menurut Penn, penampilan para pemain dan skenario film ini luar biasa. ”Unsur-unsur di dalamnya memuat hampir segala hal yang Anda inginkan dari sebuah film. Persoalan yang dibicarakan di film ini sangat relevan dengan situasi dunia saat ini, yang diwarnai oleh rasa lapar akan pendidikan dan akan kesempatan untuk bersuara. Hal-hal inilah yang telah menyentuh hati semua juri,” katanya.
Amat jarang film peraih Palem Emas di Cannes diputuskan dengan suara bulat seperti pada The Class. Juri lebih sering terpecah. Biasanya, jika ada dua film yang kukuh dipertahankan oleh kelompok juri masing-masing, bisa saja film lain yang tiba-tiba muncul secara tak terduga dan ditetapkan sebagai pemenang. Itulah salah satu cara juri festival mencari kompromi. Itu pula sebabnya mengapa kerap muncul kejutan dari ajang Festival Cannes, ketika film peraih Palem Emas adalah film yang tak pernah mendapatkan perhatian serius dari para pengamat.
Francois Begaudeau adalah tokoh utama The Class. Dia tokoh yang benar-benar ada di dunia nyata, seorang guru SMP di tepi Kota Paris, dengan para murid dari beragam latar belakang etnis dan budaya. Di dunia nyata, Pak Guru Begaudeau juga menulis sejumlah novel. The Class salah satu karyanya yang kemudian menjadi dasar ilham bagi Laurent Cantet untuk memfilmkannya. Begaudeau sebagai aktor utama, memerankan dirinya sendiri, dan murid-murid sekolah sesungguhnya didapat lewat cara audisi. Dengan kata lain, film ini adalah biografi dari seorang guru, namun dengan dramatisasi di sana-sini. Di tengah-tengah jalinan kisah itulah muncul persoalan-persoalan perbenturan budaya yang tak mudah dipecahkan.
”Film ini memang diniatkan untuk tampil sebagai potret masyarakat Prancis: sebuah masyarakat dengan banyak wajah dan kompleks, dengan sejumlah konflik yang tak ditutup-tutupi,” komentar sang sutradara di atas panggung ketika menerima Piala Palem Emas di Gedung Teater Lumiere.
Keberhasilan The Class merebut penghargaan tertinggi kian mengukuhkan posisi Festival Film Cannes sebagai sebuah festival yang merangkul dan mengakui berbagai pendekatan dalam mengeksplorasi sinema sebagai sebuah karya seni. Film terbaik tidak harus dibuat dengan biaya selangit, melainkan harus menyajikan pencapaian yang dinilai baru, atau temanya menyuarakan apa yang menjadi keprihatinan dari sebuah era. Pada 1989, misalnya, film Sex, Lies and Videotape garapan Steven Soderbergh yang sederhana dalam tema dan ongkos produksi yang rendah berhak untuk menggondol Palem Emas.
Festival Film Cannes memang sebuah ramuan yang berisi gemerlapnya penampilan para bintang besar, dan kebersahajaan dari sejumlah karya yang ikut dalam kompetisi. Juga film yang terasa berat karena pesan politik atau karena pendekatannya yang ”mendewakan” aspek artistik sehingga terkadang sulit dicerna. Itu sebabnya dunia mencatat bahwa Festival Cannes bisa memberikan penghargaan pada film semacam Apocalypse Now yang digarap dengan upaya habis-habisan dan bahkan hampir membuat bangkrut total sutradara Francis Ford Coppola.
Festival Film Cannes juga bisa menghadirkan para bintang kelas dunia yang ke mana-mana dikawal ketat agar tak dikerubuti penggemar (pada 2008 ini menghadirkan antara lain Angelina Jolie, Sharon Stone, Brad Pitt, Chaterine Deneuve), namun juga bisa menghadirkan bintang di lapis lebih rendah, yang tidak akan dengan serta-merta dikenali ketika melenggang di Jalan Croisette di pinggir pantai Cannes yang molek dan menghadap langsung ke Laut Mediterania itu.
Para bintang ternama inilah yang menjadi salah satu pilar penopang Festival Cannes, sehingga membuatnya menjadi salah satu peristiwa global dengan liputan luas media, mungkin hanya kalah seurat dibandingkan dengan liputan Olimpiade. Tahun ini saja, misalnya, Festival Cannes menyedot perhatian tak kurang dari 4.300 wartawan dari seluruh dunia. Para bintang kelas dunia ini akan memeriahkan pertunjukan film setiap petang dan malam sepanjang berlangsungnya festival. Film seleksi resmi Festival Cannes itu ditayangkan di Teater Lumiere dengan 2.500 tempat duduk, di Palais des Festival, gedung utama Festival Cannes.
Di sinilah pusat ”prosesi” yang tersohor itu: nama besar di jagat sinema menapaki tangga berbalut karpet merah, dengan kilatan lampu dari para juru foto dan juru kamera televisi yang berjejer rapi di tepi anak-anak tangga itu. Sementara di kedua tepi pagar yang hanya berjarak sekitar semeter dari sisi tangga itu, dan juga di tepi pagar persis di hadapan Palais, ribuan orang berjejal menyaksikan ritual meriah tadi.
Massa yang berjejal di sekitar Palais itu akan berteriak histeris setiap kali seorang bintang keluar dari mobil mewah yang berhenti tepat di pangkal tangga, sampai sang bintang menghilang di ujung tangga, ditelan pintu Teater Lumiere. Kerumunan ini terkadang tak hirau dengan angin giris yang menusuk kulit, bahkan gerimis, sebagaimana yang menghiasi festival tahun ini hampir setiap petang. Terkadang ada juga bintang yang menghampiri massa, menyalami mereka atau membubuhkan tanda tangan. Tak ada festival film mana pun di dunia yang mampu menandingi keriuh-rendahan saat para bintang top itu tampil di muka lautan massa, dalam jarak yang seakan terjangkau.
”Kapan lagi bisa menyaksikan langsung dari jarak cukup dekat, bintang-bintang besar yang selama ini hanya bisa saya lihat di bioskop atau di keping DVD di rumah,” ujar Sara Anthes, gadis remaja asal Halifax, Kanada, yang tengah bekerja sebagai au pair (pengasuh anak) di sebuah kota kecil tak jauh dari Cannes, yang ikut berdesak-desakan pada salah satu malam di festival.
Saya sendiri, yang tahun ini telah 16 kali meliput Festival Cannes sejak 1992 (sempat absen sekali pada 1998 lantaran harus meliput berbagai peristiwa sebelum dan setelah Soeharto lengser), sering berjumpa tak sengaja dengan nama-nama besar di dunia film ini. Tahun ini—selain sejumlah bintang yang saya lihat dari jarak dekat di ruang jumpa pers—saat berjalan pulang menuju apartemen pada sebuah malam, saya sempat terjebak dalam kerumunan kecil massa di muka sebuah butik yang banyak berjejer di Jalan Croisette, jalan utama di Cannes yang langsung menghadap ke pantai. Kerumunan itu bergerak bagai tengah panik, menuju ke butik lainnya yang berjarak sekitar 50 meter. Untung, saya cepat menghindar. Kepada seseorang yang berada di dekat kejadian, saya mendapat keterangan bahwa massa tengah mengejar P. Diddy alias Puff Daddy, penyanyi rap terkenal AS, yang juga seorang produser rekaman, perancang pakaian, dan pengusaha.
Bertahun-tahun silam, pengelola Festival Cannes juga telah menegaskan bahwa ajang festival tersebut merupakan tempat bertemunya para tokoh yang telah memiliki nama besar di dunia sinema, dengan mereka yang tengah merintis nama besar itu, plus nama-nama orang berbakat yang sama sekali belum dikenal. Lewat cara inilah Festival Cannes ”merawat” sutradara legendaris semacam Ingmar Bergman, Akira Kurosawa, Satyajit Ray, atau Theo Angelopoulos, sekaligus memberikan tempat pada nama yang datang lebih belakangan seperti Billie August, Takeshi Kitano, Nani Moretti, Atom Egoyan, Mokhsen Makhmalbaf, hingga Zhang Yimou dan Chen Kaige, juga kepada nama baru yang dianggap membawa penyegaran semacam Quentin Tarantino, Wong Kar Wai, hingga Elia Suleiman.
Festival Film Cannes juga menjadi kiblat sinema dunia, sebuah peletak kecenderungan (trendsetter). Apa yang dihadirkan di Festival Cannes pada sebuah tahun, hampir dapat dipastikan akan mempengaruhi perkembangan sinema dunia pada tahun berikutnya. Lihatlah misalnya keberanian pengelola festival—dikomandani tokoh karismatis Gilles Jacob, yang telah malang-melintang mengurusi Festival Cannes sejak tahun 1970-an—dalam memprakarsai film animasi ataupun film dokumenter untuk diikutkan bertarung di seksi Kompetisi Utama. Ketika itu, festival-festival lain masih enggan menempuh langkah eksperimental semacam itu. Kini film animasi sudah kerap dijumpai ikut meramaikan seksi kompetisi di berbagai festival lainnya. Dan ketika film dokumenter diputuskan oleh para juri Festival Cannes sebagai penerima Palem Emas pada 2004 (lewat Fahrenheit 9/11, karya sutradara Michael Moore), muncullah demam genre dokumenter di berbagai penjuru dunia.
Pengelola Festival Cannes bagai tak pernah kehabisan ide baru untuk membuatnya benar-benar tampil bersinar di tengah ratusan festival film yang setiap tahun berlangsung di seluruh dunia. Ini tentu bukan pekerjaan mudah, dan pernah pula beberapa kali pengelola Festival Cannes dikecam pedas karena buruknya mutu film yang dihadirkan, misalnya saja pada 2003. Namun secara keseluruhan Festival Film Cannes dianggap berhasil mengemas programnya, termasuk dalam hal menyajikan semacam benang merah tematik yang relevan dengan situasi mutakhir. Pada 2004 itu, misalnya, ketika dunia tengah sibuk mengamati perkembangan kebijakan Presiden Bush memerangi Irak, Festival Cannes memasukkan Fahrenheit 9/11, yang menyuarakan pandangan kritis menentang kebijakan itu, di seksi Kompetisi Utama. Bahkan film itu dibaptis menjadi film terbaik.
Salah satu benang merah yang penting dicatat di Festival Cannes tahun ini adalah banyaknya film biografi, baik yang dikemas dengan pendekatan dokumenter murni maupun yang didramatisasi (dokudrama). Film ini disebar oleh panitia di berbagai seksi yang ada, termasuk di seksi Kompetisi Utama dan di seksi nonkompetisi, serta seksi Sorotan Khusus (setingkat di bawah Kompetisi Utama). Sosok tokoh yang ditampilkan pun beragam, mulai dari ”orang biasa” seperti sosok Pak Guru Francois Bagaudau di film The Class, bintang di dunia olahraga, sejarah, dan politik, hingga ke nama besar dari dunia sinema sendiri.
Mike Tyson adalah tokoh yang ditampilkan di salah satu dari film biografi tadi. Riwayat mantan juara dunia tinju kelas berat dunia ini dikemas dalam film berjudul Tyson, yang digarap oleh sutradara James Toback. Sang sutradara telah bersahabat dengan Tyson sejak hampir seperempat abad lalu. Di film itu, Toback menyajikan potret hidup Tyson lengkap dengan kontroversinya, sejak masa remajanya yang keras, sampai ke puncak kejayaannya sebagai juara tinju yang hampir tak mungkin dikalahkan, hingga masa tatkala kariernya mulai meredup, dan berbagai masalah mulai membelitnya, mulai dari kasus pemerkosaan terhadap ratu kecantikan Desiree Washington pada 1991 sampai kepada penyalahgunaan obat-obatan.
Dalam film berdurasi sekitar 90 menit itu, sutradara memadukan potongan-potongan rekaman audio-visual mengenai Tyson, dan wawancara langsung (total wawancara yang dilakukan oleh sutradara mencapai sekitar 30 jam). Sejak kecil Tyson sering mengalami perlakuan kasar dari kawan yang berusia lebih tua. Namun sejak menjalani latihan tinju di bawah gemblengan Cus d’Amato yang juga menjadi ayah angkatnya, Tyson menemukan jati dirnya sebagai petarung tak terkalahkan di atas ring. ”Saya tak perlu takut akan menghadapi perlakuan kasar itu lagi,” ujarnya.
Tyson juga memberikan bantahan mengenai dakwaan pemerkosaan terhadap Desiree Washington. ”Saya memang kasar terhadap perempuan dalam hidup saya,” katanya mengakui. ”Namun hukuman yang dijatuhkan kepada saya itu keliru. Saya kira itu tidak adil.” Tentu saja tak semua orang bisa dengan gampang mempercayai pembelaan Tyson di film ini, terutama karena film tersebut tidak menyuguhkan bukti apa pun yang bisa mendukung bantahan sang mantan juara yang kini berusia 41 tahun itu, dan hadir di Festival Cannes dengan membawa serta tiga orang anaknya.
Sebagaimana halnya Tyson, Maradona adalah juga bintang yang pernah bersinar terang-benderang di puncak jayanya, namun kemudian terempas setelah tak mampu melepaskan diri dari jerat obat terlarang. Kisah hidupnya itulah yang diangkat oleh sutradara Emir Kusturica dari Serbia, dalam film berjudul Maradona, yang sudah beredar pula di salah satu bioskop di Jakarta pada awal Juni. Kusturica dan Maradona ibarat cangkir dan tutupnya: Kusturica pecandu sejati sepak bola sekaligus pengagum berat Maradona; dia sendiri adalah seorang bintang di dunia sinema, dengan prestasi dua kali meraih Palem Emas di Cannes lewat When Father Was Away on Business (1985), dan Underground (1995).
Selain kedua film dokumenter yang menampilkan bintang di dunia olahraga ini, Festival Cannes tahun ini juga menyajikan film dengan tokoh dari dunia politik. Dalam jajaran ini termasuk film Il Divo karya Paalo Sorrentino (Italia), yang mengetengahkan sosok Giulio Andreotti. Nama Andreotti mendominasi panggung politik Italia selama sekitar 40 tahun, termasuk dengan beberapa kali menduduki jabatan sebagai perdana menteri. Sosok yang juga dikenal sebagai mantan wartawan dan pengarang ini belakangan dituduh terlibat jaringan mafia.
Hunger adalah film lainnya yang menampilkan sosok yang terkait dengan dunia politik. Digarap oleh sutradara muda dari Inggris, Steve McQueen, film ini mengisahkan beberapa tokoh perlawanan Irlandia Utara yang dijeboloskan ke penjara akibat aksi-aksi mereka untuk memerdekakan diri dari pemerintah Inggris. Salah satu tokoh tersebut adalah Bobby Sands, yang dari dalam penjara tetap melakukan perlawanan dengan memilih aksi tak mau mengenakan seragam penjara dan tak mau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh sipir. Film ini berhasil menampilkan betapa sebuah perjuangan yang diyakini sepenuh hati tak akan pernah surut kendati harus dihadapkan pada situasi yang amat sulit, termasuk kebrutalan sebuah rezim yang diwakili oleh para sipir penjara. Di malam puncak, dewan juri menetapkan Hunger sebagai film terbaik untuk karya pertama seorang sutradara, dan berhak atas piala Kamera Emas.
Roman Polanski juga hadir di Festival Cannes tahun ini, baik dalam wujudnya yang nyata (atas undangan panitia penyelenggara festival), maupun dalam karya dokumenter berjudul Wanted and Desired, disutradarai oleh Marina Zenovich dari Amerika Serikat. Polanski adalah nama besar di dunia sinema, namun sekaligus juga kontroversial lantaran kasus hubungan seks terhadap anak gadis di bawah umur (baru 13 tahun ketika itu), yang dilakukannya di Amerika Serikat pada 1977. Kasus itu menyebabkan sang sutradara berdarah Polandia namun sudah menjadi pemukim tetap itu diusir dari Amerika. Film Wanted and Desired mencoba menggali sosok Polanski dengan fokus antara lain pada kasus hubungan seks tersebut, dan mencoba menunjukkan bahwa hakim yang menangani kasus itu tidak dapat diandalkan.
Dari semua film yang mengangkat riwayat para tokoh ternama ini, yang mendapatkan perhatian luas dari media adalah Che. Dari judulnya sudah terlihat bahwa film ini berkisah tentang riwayat hidup Ernesto ”Che” Guevara, tokoh revolusioner asal Argentina yang berkelana ke sejumlah negara di kawasan Amerika Latin untuk mengobarkan revolusi, termasuk di Kuba, yang dengan sukses menumbangkan rezim militer Fulgencio Batista dan mendudukkan Fidel Castro—kawan seperjuangan Che—sebagai presiden. Beberapa faktor menyumbang pada munculnya perhatian tadi.
Pertama, karena sosok tokoh utamanya yaitu Che Guevara yang sudah menjadi legenda dan ikon di berbagai penjuru dunia, terutama di kalangan kaum muda. Kedua, karena sutradara yang menggarapnya, Steven Soderbergh. Sutradara ini adalah salah satu kesayangan Festival Cannes sejak mengejutkan dunia sinema lewat Sex, Lies and Videotape. Ketiga, karena aktor yang memerankan Che, Benicio del Toro; banyak orang ingin membandingkannya dengan aktor Brasil Gael Garcia Bernal yang juga memerankan sosok Che di film The Motorcycle Diaries karya sutradara Walter Salles dari Brasil yang hadir di Festival Cannes pada 2004. Dan keempat, karena durasi film ini yang agak di luar kelaziman, yaitu 268 menit alias sekitar empat setengah jam (lihat tulisan Lima Jam Menonton Che Guevara).
Banyak pelajaran bisa ditarik dari beragam sosok yang ditampilkan lewat film-film biografi tadi. Dan Festival Film Cannes layak mendapat ucapan terima kasih, karena telah memberikan wadah bagi karya-karya menarik tersebut. Memang demikianlah seyogianya peran dan sumbangsih yang dapat diberikan oleh sebuah festival film. Vive le cinema! Panjanglah usia sinema!
Arya Gunawan (Cannes)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo