Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=2 color=#CC0000>Ma Jian:</font><br />Saya Lebih Tahu tentang Beijing

23 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Pameran Buku Frankfurt tahun ini, Ma Jian ibarat bintang terselubung. Dia tak takut bersentuhan dengan delegasi penulis ”resmi” dari Beijing. Dia juga tak serta-merta berteriak mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Cina. Namun, dalam sebuah diskusi di stan PEN Jerman, organisasi penulis independen, dia bercerita tentang situasi warga di Cina pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, seperti yang pernah dia tuliskan dalam buku reportase perjalanan berjudul Red Dust, A Path Through China.

Buku itu merupakan rekaman perjalanan tiga tahun menelusuri Cina yang dia mulai pada 1984. Dia harus meninggalkan Beijing karena kegiatannya sebagai pelukis, fotografer, dan penulis dianggap berbahaya bagi Dinas Keamanan Publik. Delapan tahun setelah kematian Mao, selama masa ”kampanye antipencemaran spiritual”, dia diinterogasi dan dipaksa melakukan ”kritik diri”. ”Sekarang, tempat-tempat yang saya ceritakan dalam Red Dust sudah tidak ada lagi,” ungkapnya. ”Ketamakan akan kekayaan juga meluas di provinsi-provinsi.”

Ma sejak 1999 tinggal di London, Inggris, bersama istri sekaligus penerjemahnya, Flora Drew. Dari Drew, dia punya empat anak. Dia menikah dua kali. Dari mantan istri pertamanya di Cina, Guo Ping, dia mendapat seorang putri yang namanya, demi keamanan, tidak dipublikasikan. Dalam Red Dust, dia mengganti nama putrinya dengan samaran Nannan. Buku-bukunya yang telah diterbitkan, selain Red Dust, antara lain Stick Out Your Tongue, Noodle Maker, dan Beijing Coma. Pada Juni lalu Beijing Coma diterbitkan dalam bahasa Mandarin di Hong Kong.

Reporter Tempo, Luky Setyarini, berkesempatan berbincang dengan Ma Jian. Berikut ini petikan wawancaranya.

Mengapa Anda menghadiri pameran buku ini?

Saya datang karena, pertama, diundang oleh penerbit buku saya. Selain itu, ada organisasi PEN Jerman. Mereka berupaya menyelamatkan para penulis Cina yang berada di penjara. Saya bekerja sama dengan mereka.

Apakah ini waktu yang tepat bagi Cina menjadi tamu kehormatan Pameran Buku Frankfurt tahun ini?

Mungkin ini waktu yang tepat bagi Cina, tapi Cina melakukannya secara keliru. Saatnya memang tepat bagi Cina untuk menunjukkan diri ke dunia melalui pameran buku ini. Di lain sisi, Cina sangat sadar tidak ada kebebasan bagi penerbitannya. Terdapat sensor ketat di Cina saat ini. Akan menjadi lucu dan sulit bagi suatu negara untuk menunjukkan citra tidak punya kebebasan.

Pemerintah Cina juga hadir dalam pameran ini. Anda tidak takut?

Tidak. Mereka tidak bisa berbuat apa pun untuk mencegah saya datang. Saya kan sudah tinggal lama di Inggris. Tapi mereka bisa melarang saya untuk tidak berkunjung ke Cina.

Bagaimana pentingnya pameran buku ini sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat dan pemikiran Anda?

Tentu ini merupakan sarana penting untuk membagi pemikiran saya, pikiran bebas. Sebab, pameran buku adalah sarana untuk mengekspresikan pendapat pribadi, juga bagi para penulis yang tidak dapat hadir di sini. Saya juga berusaha memperkenalkan para penulis itu di pameran buku ini, yang saat ini mendekam di penjara Cina.

Bagaimana rasanya menjadi penulis yang hidup di pengasingan?

Untuk mencari jati diri, untuk menjaga dan mempertahankan kebebasan. Mungkin jika Anda lihat, sebagian besar karya sastra klasik, seperti Konfusius, Qu Yuan, Zhuang Zi, karya sastra mereka yang terbaik ketika mereka berada di pengasingan. Jika Anda benar-benar ingin mendapatkan buah dari kesusastraan, jalan terbaik adalah pergi ke luar negeri, pergi ke pengasingan.

Anda merasa menjadi bagian dari masyarakat penulis dan seniman Inggris?

Bahasalah yang terpenting bagi saya, bahasa adalah tanah air saya. Jika saya membawa bahasa keliling dunia, artinya saya membawa tanah air bersama saya. Misalnya, penulis Jerman, dia mungkin saja tinggal di Beijing, tapi dia tetap saja penulis Jerman. Seperti juga penulis Indonesia, dia akan selalu menjadi orang Indonesia, di mana pun.

Apakah dengan begitu, Anda menjadi penulis internasional?

Internasional, ya. Tapi, begini, penulis Cina di Hong Kong, Taiwan, atau Amerika Serikat, jika mereka menulis dalam bahasa Cina, mereka adalah penulis Cina. Bergantung pada kebebasan penulisnya. Itu bukanlah masalah politik.

Sebenarnya, apa definisi tanah air menurut Anda?

Tanah air adalah tradisi. Tanah air bukanlah di mana kita tinggal. Terutama jika negaranya di bawah kekuasaan diktator. Orang-orang di sana bukanlah orang Cina, yaitu mereka yang bukan warga sipil.

Karena Anda tidak tinggal di Cina lagi, apakah Anda merasa Cina mengkhianati Anda atau sebaliknya?

Saat ini sudah ada Internet. Saya lebih tahu tentang Beijing daripada orang di Beijing. Saya selalu menjaga jarak dengan masyarakatnya. Ini penting bagi penulis untuk menjaga obyektivitas. Jika saya tinggal di Cina, saya akan tinggal di sisi lain Cina, dan akan melakukan hal yang sama.

Apakah perkembangan ekonomi yang sangat cepat akan membawa Cina ke arah kebebasan dan demokrasi?

Saya percaya akan adanya perubahan. Sebab, saya pikir akan ada perubahan di masyarakat, seperti halnya gerakan nasional. Tapi itu tidak akan berlangsung cepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus