Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

'Gadis' Menawan Telat Dipinang

Bitung berhasil menarik banyak investor baru setelah menghapus pungutan sektor perikanan. Segera menjadi pelabuhan hub internasional dan kawasan ekonomi khusus.

24 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratusan pedagang ikan meriung di dermaga menyambut kapal-kapal nelayan yang bergiliran sandar untuk menurunkan ikan. Transaksi langsung terjadi di tempat antara pedagang dan nelayan. Ikan tude, tuna, cakalang, dan beragam jenis ikan karang tak sampai menunggu hitungan jam langsung naik ke mobil-mobil pick-up yang diparkir di mulut dermaga.

Hingga lewat pukul 09.00, Rabu tiga pekan lalu, Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung itu masih sangat ramai. Kesibukan serupa berlangsung saban hari sejak pagi buta. "Kalau lagi musim ikan, dari malam sampai malam lagi ramai terus," kata Robi Bombas, pedagang ikan. Menurut dia, saat ini tergolong tak banyak ikan karena puncak musim tangkap di perairan Laut Maluku itu berlangsung sejak Agustus hingga Oktober.

Kapal sandar tampak tak beraturan di sepanjang bibir pantai. Tapi dermaga sekaligus tempat pelelangan itu sangat bersih. Tak tercium bau amis atau bau anyir selayaknya pasar ikan di kota lain. Hal lain adalah kebebasan nelayan bertransaksi langsung. Tak ada pungutan sama sekali, baik pungutan penjual (nelayan) maupun pembeli. Hanya ada ongkos masuk di portal kawasan berikat itu sebesar Rp 2.000.

Pemerintah memang memanjakan pelaku usaha sektor perikanan di Kota Cakalang itu sejak 2011. Wali Kota Hanny Sondakh menerbitkan Peraturan Daerah Kota Bitung Nomor 6 Tahun 2011 mengenai pembebasan biaya retribusi untuk semua jenis izin perikanan di Kota Bitung.

Peraturan itu sebenarnya menyimpang dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di dalamnya diatur bahwa pemerintah daerah memungut lima jenis pungutan, di antaranya sektor perikanan. Perlawanan sempat terjadi ketika peraturan inisiatif dari Wali Kota itu diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota dan DPRD Provinsi karena dianggap merugikan daerah.

Hanny Sondakh, yang berlatar belakang pengusaha, bergeming. Ia berkukuh, jika Bitung hendak dipertahankan sebagai kota ikan, kemudahan dan pungutan nol rupiah harus dilakukan. Pemerintah akan mendapat potensi pendapatan asli daerah dari sektor lain. "Saya ini pengusaha, jadi saya tahu kira-kira apa yang diinginkan pengusaha," ujarnya yakin.

Efeknya terasa setahun kemudian. Bitung kebanjiran pendatang baru pengusaha perikanan. Bukan hanya pengusaha lokal, pengusaha dari luar daerah berbondong-bondong masuk ke kota di tanduk Sulawesi itu. Pada 2011 hanya ada 19 perusahaan, sedangkan pada 2012 atau setahun setelah peraturan daerah itu mulai berlaku, jumlahnya melonjak hingga 53 perusahaan. Padahal, sebelumnya, beberapa investor usaha tangkap dan pengolahan ikan memindahkan usahanya ke Raja Ampat, Papua, dan daerah lain. Sejak krisis global 2008, permintaan ekspor turun drastis, bahkan beberapa perusahaan modal asing di Bitung memilih gulung tikar.

Frits P. Lesnussa, Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung, mengatakan pungutan izin usaha yang dibebaskan adalah untuk kapal berbobot 10 gross ton ke bawah. Untuk kapal 10-29 GT, pengaturannya oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, sementara kapal 30 GT ke atas di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Meski hanya untuk kapal-kapal kecil, yang di Bitung disebut pajeko, pembebasan izin usaha itu sangat signifikan imbasnya. Di Bitung kini ada 1.715 kapal nelayan. Itu belum termasuk kapal dari daerah lain yang ikut sandar.

Menurut dia, dari data yang bisa dicatat petugas pelabuhan, produksi ikan naik dari rata-rata 30 ribu ton pada 2011-2012 menjadi 73 ribu ton pada 2013. Hingga Oktober tahun ini bahkan angkanya sudah melampaui 100 ribu ton. Angka itu diprediksi hanya 50-an persen dari total kapasitas tangkap di Bitung. Sebab, kata dia, banyak nelayan langsung menurunkan ikan di luar pelabuhan. "Produksi riil belum ketahuan," ujarnya. Sebanyak 80 persen produksi itu di ekspor ke Asia, Amerika, dan Eropa berupa ikan kaleng, ikan kayu, sashimi, atau ikan beku segar.

Profesi nelayan kembali menjadi tren dan kebanggaan masyarakatnya. Muchamad Andryansah, misalnya, mengaku bersemangat melaut dengan pajeko-nya karena peluang menyalurkan ikan ke perusahaan-perusahaan pengolahan ikan kembali terbuka. "Sekarang banyak perusahaan baru yang siap menampung ikan dalam jumlah besar atau kecil sekalipun," kata Andryansah, yang mengaku patungan bersama ayah dan kakaknya untuk membeli pajeko. "Hasilnya mulai terlihat sekarang."

Bukan hanya nelayan, pengusaha pengolahan ikan mengaku sangat terbantu oleh keberpihakan penuh pemerintah daerah. Karmin Naser, Manajer Operasional PT Sari Tuna Makmur, mengatakan perusahaan tak kesulitan mendapat pasokan bahan baku ikan segar meski di saat bersamaan banyak perusahaan pesaing baru. "Banyak (kapal) nelayan masuk ke sini," ujar Karmin, yang mengaku sudah tiga tahun bekerja di Bitung. "Buat perusahaan sangat enak. Administrasi dengan pemerintah tidak terlalu rumit," tuturnya.

Setelah sukses dengan terobosan sektor perikanan, Bitung kini menatap masa depan baru sebagai kota industri dan kota pelabuhan. Prospek kota ini memang sangat cerah. Dalam proyeksi Masterplan Perencanaan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2025, Bitung juga didukung jalan tol yang menghubungkannya dengan ibu kota provinsi, Manado, dan jalan kereta api Manado-Gorontalo. Pemerintah juga telah menyiapkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Bitung seluas 500 hektare lebih, yang bisa diperluas hingga 2.000 hektare.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Bitung Audy Pangemanan mengatakan pendekatan serius pemerintah untuk membangun wilayah ini memang baru dilakukan lima tahun terakhir. Padahal potensinya sangat besar. "Ibarat gadis cantik, Bitung ini kelamaan dipinang. Akhirnya jadi perawan tua," kata Audy, mengumpamakan.

Kota berpenduduk 240 ribu jiwa ini memiliki posisi geografis yang strategis dengan pelabuhan alam besar—satu dari tiga pelabuhan alam yang dimiliki Indonesia (Sabang, Cilacap, dan Bitung). Dengan navigasi sangat sederhana, kapal bertonase tinggi bisa mampir tanpa ribet. Airnya tenang dengan Pulau Lembeh sebagai perisai. Tak ada pendangkalan dengan kedalaman pelabuhan sampai 40 meter. Artinya, kapal-kapal generasi terbaru bisa masuk walau infrastrukturnya seadanya.

Menurut Audy, Indonesia akan sangat rugi kalau tak memanfaatkan Bitung. Apalagi ke depan adalah era Asia-Pasifik, sementara Mediterania mulai surut. Selain di sektor perikanan, perkebunan kopra, serta pelabuhan, kata dia, Bitung memiliki potensi industri dan ekoturisme yang belum tergarap.

Pemerintah kota menyadari betul potensi itu dan terus mempromosikannya. Perizinan dibuat sedemikian rupa agar memudahkan pemodal berinvestasi. Aparatur pemerintahan dituntut bekerja ekstra, tak boleh ada lagi pungutan apa pun dalam pelayanan terpadu satu pintu.

Untuk memastikan sistem itu berjalan, Wali Kota Hanny Sondakh tak segan menambah insentif anak buahnya lewat tunjangan tambahan penghasilan pegawai—sejak 2012. Ia melakukan hal ini agar instansi yang mengurus izin-izin di Kota Bitung benar-benar bersih dari pungutan liar. "Pasti investor akan betah dan apa pun akan mereka berikan untuk Kota Bitung kalau diberi kemudahan," ujarnya.

Dampaknya pun terlihat nyata. Penanaman modal asing hanya 17 perusahaan, tapi jumlah perusahaan penanaman modal dalam negeri meningkat pesat. Pada 2011 ada 19 perusahaan, naik menjadi 49 pada 2012, dan 58 pada 2013. Kini, per September 2014, jumlah investasi melesat hingga 104.

Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Daerah Kota Bitung, Pingkan Sondakh, mengatakan realisasi investasi juga berlipat hingga tiga kali dari proyeksi, menjadi Rp 4,052 triliun per September 2014. Pendapatan asli daerah Kota Bitung berlipat dari Rp 25,4 miliar pada 2011 menjadi Rp 55,2 miliar pada 2013, yang diperoleh dari izin mendirikan bangunan dan periklanan. "Itu menjadi salah satu indikator bahwa investor nyaman," ujar Pingkan.

Ketua Kamar Dagang dan Industri Kota Bitung Lexi Mantiri mengakui, selama dua periode dia memimpin Kadin Bitung, belum ada keluhan dari anggota Kadin terkait dengan pengurusan izin. "Kami merasa terbantu dengan pengurusan izin yang sudah terpusat di satu badan," katanya. Hanya, tantangan yang merepotkan pengusaha adalah pasokan listrik dan bahan bakar minyak yang tak menentu.


Potensi Daerah
Terdiri dari 8 kecamatan dan 69 kelurahan
Luas daratan: 313,5 km2 atau 31,350,35 hektare
Luas perairan: 439,8 km2 atau 43.980 hektare
Panjang pantai: 143,2 km2
Penduduk: 219.948 jiwa (2012)

Peluang investasi

1. Usaha penangkapan, cold storage, dan pengalengan ikan. Potensi 929 ribu ton per tahun, baru tergarap 159 ribu ton per tahun.

2. Usaha pendukung: industri kapal penangkapan ikan (bobot 10-50 GT), pemeliharaan dan docking kapal, pabrik es.

3. Usaha agroindustri: industri minyak kelapa atau kopra.

4. Usaha eco-tourism: hutan lindung di wilayah kota (Hutan Tangkoko-Batuangus) dan satwa endemik (Tarsius Spectrum, babi rusa) serta keindahan kehidupan bawah laut. Peluang hotel bintang 1-4, resor, dan sarana pendukung (kapal wisata dan diving club.


Hanny Sondakh, Wali Kota Bitung:
Investor Harus Merasa Aman

Pada 2010, banyak investor berancang-ancang mengalihkan pabrik pengolahan ikan mereka di Bitung ke daerah lain, seperti Raja Ampat di Papua dan lainnya. Hanny Sondakh, yang baru terpilih sebagai Wali Kota Bitung untuk periode kedua (2011-2016), mengambil kebijakan ekstrem: membebaskan semua retribusi untuk semua jenis izin perikanan di wilayahnya. Hasilnya, investasi melonjak drastis.

Apa kiat atau strategi Bitung menarik investasi?

Perizinan kami mudahkan. Kalau izin sulit, mereka akan ngomong ke mana-mana. Saya yang pertama kali di Indonesia memudahkan, yaitu tidak menagih retribusi. Retribusi perikanan kami hapus, termasuk izin-izin lain yang memberatkan.
Kami juga promosikan Bitung ke depan akan seperti apa. Pelabuhannya, minapolitannya, demikian pula rencana kawasan ekonomi khusus. Apalagi Bitung ke depan akan ada jalan tol. Itu yang kami jual.

Artinya yang dihapuskan itu bukan hanya pengurusan izin, melainkan juga retribusi. Pendapatan daerah nol?

Hapus. Nol sudah. Banyak usaha non-perikanan, juga karena Bitung ini gerbang untuk Indonesia timur. Untuk ekspor, jangkauannya lebih cepat.

Ide awal dari mana?

Ide dari saya sendiri. Untuk meningkatkan taraf hidup para nelayan. Kalau mereka harus ditagih 2,5 persen pembeli dan 2,5 persen penjual, itu kan bisa mereka gunakan untuk beli bahan bakar minyak yang mahal dan menambah pendapatan. Nanti kami cari penerimaan dari sektor yang lain.

Yang dibebaskan hanya sektor perikanan?

Ada juga yang lain-lain. Yang dipungut hanya dua, yaitu izin mendirikan bangunan dan izin gangguan. Ini juga mau kami bebaskan pungutan untuk izin usaha mikro dan kecil. Sudah saya tanda tangani SK itu.

Proses kawasan ekonomi khusus (KEK) di Bitung sudah sampai mana?

Untuk KEK, kami tinggal menunggu izin reklamasi pantai dari Menteri Kelautan dan Perikanan. Sudah diusulkan pemerintah provinsi.

Anda juga memberikan tambahan penghasilan untuk pegawai (TPP). Apa itu?

Kami memberikan TPP untuk merangsang supaya mereka bisa full time, biar juga tidak ada pungli. Mereka yang bekerja lebih mendapat insentif lebih besar, yang pemalas diganti.

Bank Dunia menempatkan Indonesia di peringkat ke-144 dunia, sudah tertinggal oleh Vietnam dan Filipina. Menurut Anda, apa sebabnya dan bagaimana solusinya?

Sebabnya terlalu berbelit-belit perizinan. Mereka tidak merasa aman dalam berinvestasi di Indonesia karena aturannya di Indonesia terlalu banyak. Kadang-kadang baru urusan surat saja mereka sudah pusing, belum lagi kepentingan-kepentingan tertentu. Di sini saling terkait antara bisnis dan politik. Kenapa pengusaha banyak masuk ke politik? Untuk mengamankan usahanya agar tidak diganggu. Pemerintah berikan kemudahan, kepercayaan.

Hanny Sondakh
Tempat dan tanggal lahir: Manado, 18 Desember 1953
Jabatan: Wali Kota Bitung
Agama: Katolik

Pendidikan:
- Sekolah dasar di Manado
- Sekolah menengah pertama di Manado
- Sekolah Menengah Atas Negeri I Manado

Karier:
- Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Kota Bitung
- Ketua Komisi Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bitung
- Wali Kota Bitung periode 2006-2011 dan 2011-2016

Penghargaan yang diterima:

1. Adipura dari Presiden RI delapan kali berturut-turut.

2. Penghargaan Kota Terbaik se-Indonesia (2008).

3. Penghargaan tanda kehormatan Satyalancana Pembangunan.

4. Penghargaan dari Japan International Cooperation Agency.

5. Investment Award 2009 dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.

6. Penghargaan Citra Bhakti Abdi Negara (Pelayanan Publik Terbaik) dari Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

7. Piala dan Piagam Penghargaan Terbaik III atas Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Penanaman Modal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus