Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Saya dan Djarot Satu Tipe

8 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BASUKI Tjahaja Purnama alias Ahok punya waktu tiga tahun membenahi Jakarta. Ditinggalkan Joko Widodo—setelah menjadi presiden—Ahok mengaku butuh sekondan setara agar bisa kompak ngebut memandu pembangunan Jakarta.

Dilantik sebulan lalu, Gubernur Jakarta ini sebetulnya sudah setahun melirik Djarot Saiful Hidayat sebagai wakilnya—tepatnya, sejak Jokowi menyiapkan diri sebagai presiden. Lahir di Gorontalo pada 1955, Djarot adalah Wali Kota Blitar, Jawa Timur, selama dua periode (2000-2010). Pada 2012, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menjadi orang di belakang layar yang giat menduetkan Ahok dengan Jokowi untuk memimpin Jakarta.

Tak mudah meminta Djarot ke PDIP. Ahok butuh cara melingkar, termasuk membujuk Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Rabu pekan lalu, saat berkunjung ke kantor Tempo di Kebayoran, Ahok menjelaskan soal sejumlah targetnya selama memimpin Ibu Kota—dan menjadikan Djarot sebagai pasangan duetnya tiga tahun ke depan.

Mengapa akhirnya memilih Djarot?

Masa kerja saya tinggal tiga tahun lagi dan saya enggak mau risiko mencari orang yang belum teruji. Djarot pernah sepuluh tahun menjadi Wali Kota Blitar. Tentu dia paham mengatur kota dan bisa menjadi sparring partner.

Blitar kan cuma kota kecil?

Saya cuma Bupati Belitung Timur, beberapa tahun pula. Djarot wali kota, terpilih dua periode.

Anda sampaikan hal itu ke Megawati?

Saya sampaikan mau saya. Djarot itu mirip Jokowi, tapi kurang terekspos. Konsekuensi dari pilihan ini adalah saya bisa kalah populer dari Djarot dan terancam tak maju pada 2017. Tapi saya rela supaya perubahan Jakarta ini segera dituntaskan.

Jadi sudah cocok?

Cocok itu soal relatif. Contoh, menurut Anda, saya dengan Jokowi cocok? Ya, kagak-lah. Kami itu beda gaya. Jokowi rocker, saya dangdut. Kalau toh kami ketemu, itu karena sama-sama punya niat tulus menolong orang. Jakarta tak perlu orang pinter, tapi pemimpin yang jujur dan tidak korup.

Sudah lama kenal Djarot?

Sejak 2006. Kami berdua pernah diundang pergi sebagai kepala daerah ke Tiongkok. Dari situ, saya tahu kami satu tipe, sama-sama pejabat kere, ha-ha-ha…. Habis acara, semua pergi berbelanja. Kami berdua ngobrol, lalu tidur. Nah, pada 2012, kami ketemu lagi. Dia Ketua DPD PDIP DKI yang meneken pencalonan Jokowi dan Ahok di pemilihan gubernur.

Seperti apa pembagian tugas Anda dengan wakil gubernur?

Enggak ada pembagian. Saya pinginnya wakil gubernur berlaku seperti gubernur yang membuat program pembangunan. Yang penting, kami berdua bisa berdiskusi karena tanda tangan keputusan tetap di gue. Jadi, kami nanti mengadu ilmu. Kalau itu ide wakil gubernur, gue akan bilang itu ide dia. Mending berantem di belakang layar—dan tidak berantem di media: saya bilang A, dia bilang B.

Apa yang mendesak dibenahi dalam tiga tahun ke depan?

Sungai di Jakarta. Ada 13 sungai terbentang dari selatan ke utara, tapi banyak yang tertutup rumah dan pertokoan. Fakta lain, permukaan tanah di Jakarta Utara itu 2,8 meter di bawah permukaan laut. Sekarang masalahnya bukan duit, tapi membongkar permukiman padat di atas sungai. Itu enggak gampang. Maka saya pikirin kayak di Sungai Yangtze di Cina. Jadi, 13 sungai itu, selain dikeruk, akan dipecah menjadi 480 saluran lagi. Aliran sungai diatur, termasuk buka-tutup pintu Manggarai. Kami optimalkan pompa-pompa, terutama di Jakarta Utara.

Cukup untuk menekan laju banjir?

Bantaran sungai di selatan Jakarta mesti dibereskan karena banyak turap dilubangi dan warga tinggal di sungai. Tidak ada toleransi lagi. Dulu kami menahan diri karena banyak lembaga swadaya masyarakat memprotes, tapi tak memberikan solusi. Kalau keberatan, tawarkan solusi, dong.

Anda banyak dikritik soal penanganan korban banjir….

Ini serba salah. Mereka tahunan tinggal di kawasan yang tak seharusnya ditempati karena banjir. Semua orang berharap ada tunjangan hari banjir. Lalu tiap tahun, saat evaluasi, kami menemukan warga membuang nasi bungkus sumbangan karena lauknya tak cocok. Ada juga yang minta susu bermerek tertentu, Pampers, atau apa saja, yang ujungnya tak dipakai, tapi dijual. Mereka jadikan banjir ajang cari untung.

Maksudnya?

Ini harus disetop. Enggak ada lagi bagi-bagi sumbangan nasi bungkus atau apa pun. Kami kasih kartu elektronik yang diisi nominal tertentu oleh Dinas Sosial DKI Jakarta. Warga menentukan barang yang akan dibeli dengan cara berbelanja kebutuhan di gerai yang dikelola PMI. Jadi enggak ada yang mubazir lagi.

Bagaimana dengan reformasi birokrasi?

Desember ini saya mulai program sembelih birokrasi. Pegawai negeri sipil akan disaring penempatannya sesuai dengan kompetensi. Kami mulai menerapkan sistem poin. Mulai 2015, mereka bisa memilih lokasi kerja yang dekat dengan tempat tinggal. Terutama perempuan, biar waktu mereka tak habis di jalan serta bisa lebih berfokus melayani kerja dan mengurusi keluarga. Atasan tak boleh menghalangi. Saya ingin urusan pelayanan terpadu satu pintu dan cepat kayak bank terealisasi semua.

Sistem kerja poin ini apa efeknya?

Ini cara mudah memaksa PNS bekerja. Yang selama ini buruk dan tak memenuhi target akan menjadi baik dengan gaji dan tunjangan penuh. Nanti PNS di Jakarta bisa bergaji Rp 12 juta karena tunjangan kinerja saya pecah dua: statis dan dinamis. Kalau kerja baik, otomatis tak cuma mendapat tunjangan statis Rp 7 juta sebulan, tapi juga ada tunjangan dinamis akibat poin prestasi kerja. Kalau malas, gaji kecil dan terancam dicopot. Enggak ada lagi orang duduk ayun kaki. Negara membayar mereka.

Tiga tahun cukup membereskan itu?.

Enam bulan juga bisa. Desember mulai saya sikat, Maret evaluasi. Akan saya awasi sendiri, termasuk mengurusi lurah dan camat. Ukurannya gampang, prestasi dilihat dari berkurangnya titik banjir dan macet, juga kecepatan melayani izin.

Bagaimana cara Anda mengurangi anggaran rapat?

Kami hapus pos-pos honor dan ongkos rapat di hotel, simposium, sosialisasi, sampai honor ambil air. Ketemulah angka Rp 2,3 triliun setahun.

Soal macet dan transportasi masih menjadi prioritas?

Masih dan tak ada pilihan lain: sebelum mass rapid transit kelar, harus menambah bus. Kami mau beli bus melalui e-catalog dan tanpa tender. Tiket busway sudah mulai pakai elektronik. Ini memudahkan kami mengetahui pola dan penyebaran penumpang, sehingga bisa diatur perbaikannya. Kami juga bangun light rail transit seperti di Chicago. Jakarta itu sama dengan Chicago. Tata kota dan moda transportasinya ruwet. Kalau disetujui DPRD, kami mau membangun sendiri tanpa melibatkan pengembang.

Anda rencana khusus untuk program kesehatan?

Kesehatan sudah jalan, hanya ganjalannya orang kelas menengah yang tak mau menerima fasilitas kelas tiga. Padahal itu fasilitas sesuai dengan ketentuan. Mereka langsung ke rumah sakit tanpa minta rujukan ke puskesmas, lalu lapor ke LSM dan ramai. Soal tarif kami akui belum mencukupi karena kami tak membangun rumah sakit umum daerah sejak tiga tahun lalu. Mulai tahun depan akan ada 18 puskesmas yang statusnya ditingkatkan menjadi RSUD tipe D untuk memenuhi kebutuhan publik.

Masih suka terima pengaduan warga?

Tiap hari jumlahnya ratusan dan macam-macam. Dari soal banjir, jalan rusak, sampai urusan suami selingkuh, lapor ke gubernur. Ya, itu cara berkomunikasi dengan warga dan kami tangani, yaitu diteruskan ke satuan perangkat kerja daerah.

Perlu berapa lama sampai bisa ditangani?

Tergantung masalah, paling lama lima hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus