Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JOKO Widodo bukan orator hebat. Ia berasal dari keluarga kebanyakan, dan selalu tampil sebagai orang biasa-seperti "kita". Tapi hal-hal itulah yang justru menjadi kekuatan utamanya untuk menggapai kursi Presiden Republik Indonesia 2014-2019. Pria 53 tahun itu, mulai hari ini, akan memimpin negara berpenduduk 250 juta bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Jokowi tidak tumbuh dengan kultur kata-kata. Ia, misalnya, tak akan memberikan jawaban panjang ketika ditanyai alasannya menyukai musik metal, walau ia mengoleksi kaset dan cakram padat pelbagai grup aliran musik itu. Ia juga tidak pernah menyusun pidatonya dengan kata-kata indah-bahkan sering lupa konsep sambutan yang telah disusun anggota timnya. Ia lebih menyukai kehadiran fisik.
Blusukan-artinya datang ke tempat yang jarang dikunjungi orang-menjadi sangat populer setelah Jokowi melakukannya sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta dua tahun lalu. Jokowi datang ke permukiman kumuh, menjelajahi pasar tradisional, dan sering datang tiba-tiba ke kantor bawahannya. Ia pun duduk berjam-jam menunggui kuli yang sedang memperbaiki tanggul jebol akibat banjir. Kali lain, ia datang malam-malam ke Blok G Pasar Tanah Abang, mengontrol pekerja yang sedang mengecat "pasar terlupakan" itu.
Di Indonesia, tempat pejabat umumnya nyaman duduk di belakang meja, memerintahkan ini-itu tanpa pernah tahu masalah di lapangan, juga menyukai tepuk tangan setelah pidato yang mereka bacakan, kebiasaan Jokowi itu terasa "aneh". Tapi gayanya disukai media massa. Tak mengherankan, ia cepat populer. Inilah kekuatan pertamanya.
Jokowi juga besar dari lingkungan masyarakat kebanyakan. Masa kecilnya dia lalui di rumah kecil berdinding bambu, yang dikontrak orang tuanya, pasangan Notomiharjo-Sujiatmi. Sewaktu dia bocah, orang tuanya sedang merintis usaha jual-beli kayu. Sesekali ayahnya mengemudikan bus atau truk untuk menghidupi keluarganya.
Memang, Jokowi bukan presiden pertama yang berasal dari keluarga biasa. Soeharto, yang memerintah selama 32 tahun pada Orde Baru, melewati masa kecilnya dengan ejekan teman-temannya karena dianggap terlalu melarat. Tapi latar belakang keluarga Jokowi menjadi sangat berguna karena sangat kontras ketika dihadapkan dengan Prabowo Subianto, pesaingnya pada pemilihan presiden 9 Juli lalu.
Prabowo lahir dan besar dari keluarga elite negara ini. Ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, merupakan tokoh Partai Sosialis Indonesia dan sering dijuluki Begawan Ekonomi. Prabowo kemudian juga menjadi menantu Presiden Soeharto, menikah dengan Siti Hediati Hariyadi alias Titiek, walau kemudian mereka berpisah setelah Orde Baru tumbang.
Kontras kedua calon presiden semakin tajam dengan masa lalu Prabowo, yang dianggap terlibat perkara pelanggaran hak asasi manusia, yang membuatnya diberhentikan dari dinas militer pada 1998. Sementara itu, menurut sejumlah jajak pendapat, kebanyakan penduduk ingin kandidat yang bersih, jujur, dan dekat dengan masyarakat. Walhasil, dua tahun setelah menjadi gubernur, jalan Jokowi menuju Istana Kepresidenan terbuka lebar.
Kekuatan Jokowi itu disokong terutama oleh kerumunan relawan. Mereka bergerak dengan penuh semangat dan kreativitas. Sebagian besar dari mereka membiayai sendiri kegiatannya. Ada yang menggunakan sarana media sosial, tak sedikit yang turun ke lapangan membagikan aneka spanduk, kaus, buklet, dan peranti kampanye lainnya.
Kuatnya peran relawan itu membedakan pemilihan presiden 2014 ini dengan ajang demokrasi lima tahunan sebelumnya-yang dilakukan langsung sejak 2004. Pada pemilihan sebelumnya, kelompok relawan umumnya berafiliasi dengan partai pendukung kandidat. Pada 2004, misalnya, muncul SBY Fans Club, yang dimotori orang-orang dekat Susilo Bambang Yudhoyono. Ada pula Satgas Pendukung Megawati yang benar-benar berafiliasi dengan PDI Perjuangan. Pada pemilihan tahun ini, relawan bergerak dengan inisiatif sendiri-sendiri.
Satu yang fenomenal dan layak diingat adalah peristiwa 5 Juli 2014, ketika sekitar seratus ribu orang berkumpul di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan. Diberi nama Konser Salam Dua Jari, acara ini menghadirkan puluhan artis tanpa bayaran dan digelar tanpa satu pun atribut partai. Jokowi menuju dan meninggalkan panggung dengan berlari, mengenakan kemeja kotak-kotaknya.
Menjelang akhir acara, Jokowi membacakan pidato pendek. "Saudara-saudara semua adalah pembuat sejarah, dan sejarah baru sedang kita buat," katanya, yang disambut gemuruh pekik dan tepuk tangan pendukungnya. "Itulah yang menjadi alasan saya berdiri di sini."
Acara itu sukses mengangkat popularitas Jokowi, yang sebelumnya nyaris tersusul Prabowo. Jokowi, yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, akhirnya memperoleh 70.997.851 atau 53 persen lebih suara. Adapun Prabowo, yang berduet dengan Hatta Rajasa, mengumpulkan 62.576.444 atau hampir 47 persen suara. Perolehan suara Jokowi itu melebihi suara Barack Obama ketika memenangi pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 2008, dengan 62.527.406 suara.
Jokowi hanya kalah di Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Banten, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Selebihnya, terutama di Jawa Tengah, Bali, juga Sulawesi Selatan, ia menang besar.
Meski begitu, jalan bagi Jokowi memimpin negara ini tak akan mudah. Tantangan terbesar datang dari Dewan Perwakilan Rakyat, yang dikuasai koalisi pendukung Prabowo. Mereka menempati posisi-posisi kunci hingga pemimpin komisi di Senayan. Kekuatan ini memang belum tentu solid. Tapi, meminjam istilah adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, mereka diperkirakan memastikan Jokowi memperhatikan "harga yang harus dibayar".
Tantangan itu akan semakin besar karena kemampuan berpolitik koalisi pendukung Jokowi-Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, dan Partai Hanura-tidak mumpuni. Hal itu setidaknya tergambar dari kekalahan mereka pada pemilihan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dari teori tata negara, perimbangan kekuatan antara pemerintah dan Dewan itu sebenarnya cukup ideal. Pemerintah Jokowi akan dipelototi dengan ketat oleh politikus di Senayan. Artinya, Jokowi semestinya memastikan pemerintahannya berjalan dengan benar dan semua keputusannya selalu pro-kepentingan publik. Dengan cara itu, ia akan lolos dari guncangan-guncangan politikus dari kubu Prabowo.
Jokowi-Kalla juga akan menerima warisan ekonomi yang tidak terlalu cerah dari pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan 5,5 persen-jauh dari angka "kejayaan" Orde Baru, yang selalu di atas 8 persen-nilai tukar rupiah yang rendah, juga kesenjangan ekonomi yang tinggi merupakan tantangan terbesar pemerintah baru.
Pembaca yang budiman, edisi khusus ini disusun untuk memberikan gambaran: akan seperti apa pemerintahan Jokowi-Kalla? Bagaimana ia menyusun kabinet yang bisa menjalankan program-program unggulannya, seperti Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat? Tim edisi khusus yang dipimpin Agustina Widiarsi ini juga mencari tahu seperti apa pengalaman para mantan presiden pada awal pemerintahan mereka.
Seperti biasa, kami awalnya mengumpulkan aneka bahan baik dari Jokowi, Jusuf Kalla, maupun anggota tim pembantu mereka. Dari situlah pembabakan dibuat dan diharapkan bisa memberikan gambaran utuh. Yang sudah hampir pasti, anggota kabinet Jokowi-Kalla kelak akan mengikuti gaya presidennya: suka blusukan ke bagian masing-masing.
Jokowi bukan orator ulung. Ia berasal dari keluarga kebanyakan, dan selalu tampil sebagai orang biasa. Tapi darinya kami selalu menemukan cerita.
Tim Edisi Khusus PENANGGUNG JAWAB: Budi Setyarso PEMIMPIN PROYEK: Agustina Widiarsi, Bagja Hidayat, Dwi Wiyana, Jobpie Sugiharto PENULIS: Agustina Widiarsi, Agus Supriyanto, Ananda Teresia, Akbar Tri Kurniawan, Ananda Wardhana Badudu, Angga Sukma Wijaya, Budi Setyarso, Fransisco Rosarians, Gabriel Titiyoga, Gustidha Budiarti, Ira Guslina Sufa, Isma Savitri, I Wayan Agus Purnomo, Jobpie Sugiharto, Kartika Candra, Pingit Aria, Prihandoko, Qaris Tajudin, Rusman Paraqbueq, Sunudyantoro, Syailendra Persada, Tri Suharman PENYUMBANG BAHAN: Agus Supriyanto, Agustina Widiarsi, Ananda Teresia, Akbar Tri Kurniawan, Ananda Wardhana Badudu, Angga Sukma Wijaya, Gabriel Titiyoga, Gustidha Budiarti, Fransisco Rosarians, Ira Guslina Sufa, Isma Savitri, I Wayan Agus Purnomo, Jobpie Sugiharto, Kartika Candra, Pingit Aria, Prihandoko, Rusman Paraqbueq, Sunudyantoro, A. Rafiq (Solo) PENYUNTING: Arif Zulkifli, Agustina Widiarsi, Bagja Hidayat, Bina Bektiati, Budi Setyarso, Daru Priyambodo, Dwi Wiyana, Hermien Y. Kleden, Jajang Jamaludin, Jobpie Sugiharto, L.R. Baskoro, Philipus Parera, Purwanto Setiadi, Qaris Tajudin, Setri Yasra, Yosep Suprayogi, Yos Rizal Suriaji BAHASA: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian FOTO: Ijar Karim, Jati Mahatmaji, Nita Dian, Ratih P.N. DESAIN: Djunaedi, Eko Punto Pambudi, Gatot Pandego, Kendra H. Paramita, Rizal Zulfadly, Tri Watno Widodo, Yudha A.F. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo