Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI umumnya persiapan ratusan edisi khusus Tempo, setelah pembabakan tulisan dan cek bahan, foto dan rencana kulit muka dibahas secara khusus. Seperti liputan pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ini. Ijar Karim, kepala desk foto, sudah menyiapkan tiga konsep untuk sampul ketika diminta berpresentasi dalam rapat cek bahan pada Rabu dua pekan lalu.
Jokowi naik sepeda di depan Istana Negara, Jokowi di Rumah Transisi, dan Jokowi sedang mengetam di bengkel kayu. "Kurang nendang," kata Arif Zulkifli, pemimpin redaksi. "Cobalah buat yang berkeringat. Cover Tempo harus yang tak mudah dilupakan orang." Ijar hanya mesem. "Itu sudah berkeringat, Bos.…"
"Bagaimana kalau Jokowi kita selundupkan ke gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat tempat ia akan dilantik, difoto sendirian, dalam ruang rapat yang kosong?" Arif mengajukan usul keempat.
Ide gila. Jokowi, seorang presiden yang ke mana-mana harus dikawal, tentu tak bisa diselundupkan. Dan apakah akan diberi izin oleh pasukan pengamanan Dewan Perwakilan Rakyat? Berapa lama sesi pemotretan dan apakah Pasukan Pengamanan Presiden akan mengizinkannya? Semua pertanyaan itu lebur dalam apa yang berpuluh tahun menjadi semangat kerja di Tempo: tak ada halangan karena semua rintangan tak lain hanya tantangan. Desainer Tempo, Kendra Paramita, lalu membuat sketsa keempat itu.
Sketsa-sketsa itu akan dibawa untuk ditimbang Jokowi saat wawancara khusus esoknya. Agustina Widiarsi, redaktur politik yang menjadi kepala proyek edisi ini, melobi siang-malam untuk sesi khusus foto dan wawancara. Sejak dikukuhkan menjadi presiden terpilih oleh Mahkamah Konstitusi pada 21 Agustus 2014, waktu Jokowi tersita untuk menerima tamu, rapat di Tim Transisi, lobi politik, dan blusukan ke daerah-daerah. Tak banyak waktu meladeni wawancara media.
Maka, setelah interview selama satu jam tentang apa yang akan dilakukan Jokowi sebagai presiden lima tahun ke depan di kantor Gubernur Jakarta, Niniel-panggilan akrab Agustina-menyorongkan sketsa-sketsa itu. Ijar menerangkan setiap sketsa dan filosofi di baliknya. Jokowi manggut-manggut dan setuju dengan semua konsep yang ditawarkan. "Terus terang kami belum mendapat izin pengamanan di MPR," kata Niniel.
"Lho, kok ribet soal izin? Nanti masuknya sama saya. Kalian coba urus ke sana," ujar Jokowi sambil menunjuk Devid, ajudan yang berdiri di pojok. "Beres, toh?" Plong. Waktu pemotretan ditetapkan Ahad, 12 Oktober. Seharian itu Jokowi akan dibawa ke empat tempat untuk dipotret sesuai dengan sketsa-sketsa tersebut.
Saat diskusi hampir rampung, Jokowi menimang-nimang kertas ketiga. "Ini gambar bagus sekali," katanya, menunjuk sketsa ia sedang menyerut kayu. Ijar menerangkan bahwa lokasinya di halaman rumah gubernur saja. Ia dan timnya akan mengangkut gelondongan kayu serta menyiapkan alat serut dan segala jenis peralatan pendukungnya. "Kok, setting-an? Yang alami, dong. Di Klender itu bengkel kayu. Coba cari tempat besok," lagi-lagi Jokowi menunjuk Devid.
Esoknya, ajudan memberi kabar bahwa Ahad itu waktu Jokowi tak terlalu banyak. Maka pemotretan hanya di satu tempat, yakni di Klender, Jakarta Timur. Ajudan akan menyurvei tempatnya pada Sabtu dan meminta Ijar menyiapkan peralatannya. Bengkel kayu yang dipilih UD Amanah di Jalan Pahlawan Revolusi, Jakarta Timur. Ini bengkel cukup besar dan tak persis berada di pinggir jalan. Gelondongan kayu jati bertumpuk memenuhi halamannya.
Ijar, Redaktur Desain Moerat Sitompul, Arif Zulkifli, Agustina Widiarsi, dan Redaktur Eksekutif Hermien Y. Kleden sudah bersiap di UD Amanah sejak pukul 08.30. Empat pasukan pengawal presiden tiba setengah jam lebih dulu. Mereka mengecek alat-alat yang akan digunakan Jokowi: pasah, penggaris siku, kantong peralatan, palu, hingga paku. Dari rumahnya di Sawangan, Depok, Ijar mengangkut sepeda gunung dan sepeda ontel plus seperangkat kamera dengan tudung-tudung besar peredam cahaya.
Jokowi tiba pukul 09.30. Sekitar 150 warga Klender di sekitar bengkel sudah tumplek sejak pagi. Yanto, penanggung jawab bengkel, mengabarkan ke sekeliling bahwa bengkelnya akan kedatangan presiden hari itu. Mereka berdesakan dengan puluhan wartawan yang merekam kedatangan presiden ketujuh tersebut. Anak-anak dan ibu-ibu bertepuk tangan tiap kali Jokowi melambai ke arah mereka.
Tak sempat basa-basi, Jokowi lalu diminta duduk di bangku tempat menyerut kayu. Sial, Niniel lupa memberi tahu ajudan agar Jokowi membawa kemeja kotak-kotak. "Masak, nyerut kayu pakai batik?" kata Ijar, masygul. Niniel menepuk-nepuk kepalanya sendiri. "Eh, Rat, tolong copot kemeja! Kasih ke Pak Jokowi!" ucap Ijar.
Hari itu Moerat Sitompul kebetulan memakai kemeja kotak-kotak merah-biru lengan panjang, persis trade mark Jokowi sejak ia berkampanye untuk Gubernur Jakarta pada 2012 hingga pemilihan presiden tahun ini. Paspampres dan ajudan diam mendengar ide Ijar karena tak mungkin mengambil kemeja kotak-kotak ke rumah dinas Jokowi di Menteng, Jakarta Pusat. Maka begitulah Jokowi: ia copot kemeja batiknya dan berganti kemeja Moerat dengan kancing yang dibuka semuanya.
Tanpa canggung, Jokowi duduk di kursi serutan. Sebilah kayu jati di depannya. "Tolong saya diajari dulu bagaimana posisi tangan yang benar ketika menyerut," kata Jokowi. "Sudah 25 tahun saya tak nyerut." Yanto dengan sigap mendekati Jokowi dan menuntun jari-jari Jokowi di pasah serta posisi duduknya. Tanpa diminta, Jokowi menyerut kayu itu hingga keluar gumpalan keriting serut-serut jati. "Serutan ini setelannya enak," ujarnya. "Sudah saya siapkan khusus untuk Bapak Presiden," jawab Yanto. Setelah sesi serut selesai, Jokowi diminta pindah untuk aksi naik sepeda. Sebelum itu, dia diminta memicingkan mata untuk memastikan kayu-kayu yang ia serut benar-benar lurus.
Pemotretan selesai pukul 11.15. Saat ganti baju, ia baru buka kartu. Bengkel-bengkel di sekitar Klender itu membangkitkan kenangannya pada 29 tahun silam. Dari Solo, kata Jokowi, ia turun-naik bus berkeliling ke toko-toko dan bengkel kayu menawarkan mebel yang dibuatnya. Waktu itu ia baru lulus dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan didapuk meneruskan usaha pamannya, CV Roda Jati. "Itu zaman ketika saya mulai belajar jadi pengusaha," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo