Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

6 Tahun Penggusuran Kalijodo: Rencana Ahok hingga Sosok Daeng Aziz

Lima ribu personel gabungan dan belasan alat berat meratakan puluhan rumah dan tempat hiburan malam di kawasan Kalijodo, Jakarta Barat, 2016 silam

28 Februari 2022 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Enam tahun lalu, tepatnya 29 Februari 2016, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggusur puluhan bangunan yang berdiri di Jalan Kepanduan II, tepat di sisi Kali Angke. Daerah yang berbatasan antara Jakarta Barat dan Jakarta Utara ini oleh masyarakat luas lebih dikenal dengan nama Kalijodo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima ribu personel gabungan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian RI, Satuan Polisi Pamong Praja, dan Dinas Perhubungan diturunkan. Sekitar 15 alat berat dikerahkan. Tak ada perlawanan dari warga Kalijodo.

Masyarakat yang terdampak penggusuran Kalijodo ini pun direlokasi oleh Pemprov DKI Jakarta ke Rusun Marunda, Jakarta Utara dan Rusun Pulogebang.

Kini di daerah itu sudah berdiri ruang terbuka hijau seluas 10 ribu meter persegi dan dan ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) seluas 5.489 meter persegi. Taman itu dibangun menggunakan dana CSR PT. Sinarmas Land dengan anggaran sebesar Rp 3,6 miliar.

Kesan Kalijodo sebagai tempat prostitusi dan hiburan malam di sudut Ibu Kota pun berangsur hilang.

Berawal dari kecelakaan maut

Penggusuran Kalijodo tak lepas dari kecelakaan maut pada 8 Februari 2016 yang terjadi di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Mobil Toyota Fortuner berpelat B 201 RFD, yang dikemudikan Ricky Agung Prasetya dengan kecepatan tinggi, menabrak sepeda motor Yamaha Mio yang sedang ditunggangi Zulkahfi Rahman dan istrinya.

Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Jakarta Barat saat itu Komisaris Hasbi Ibrahim mengatakan, saat mengemudikan mobil Ricky dalam pengaruh minuman beralkohol. Ia diketahui habis berpesta di Cafe Aldi di Kawasan Kalijodo.

Akibat kejadian ini Zulkahfi dan istrinya, serta dua penumpang Fortuner, yaitu Evi Riani dan Tatang, meninggal dunia.

Tiang rambu dilarang parkir yang patah di lokasi tabrakan maut antara Toyota Fortuner dan dua sepeda motor yang menewaskan empat orang di Daan Mogot KM.15, 8 Februari 2016. TEMPO/Ahmad Faiz

Ahok Bereaksi

Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mengatakan pemerintah tak akan memberi toleransi terhadap peredaran minuman keras di Jakarta. "Kemarin soal (kecelakaan) Fortuner, kami akan sosialisasi di Kalijodo. Kalau bermasalah, akan dibereskan habis," ujar Ahok seusai Peresmian 10 Ruang Terbuka Hijau dan Taman Reformasi di Jagakarsa, Jakarta Selatan pada Selasa, 9 Februari 2016.

Ahok menuturkan jika wilayah Kalijodo, Angke, Jakarta Barat, memang dipermasalahkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena maraknya lokalisasi dan distribusi minuman keras. Ia mengaitakan kembali hal ini dengan kecelakaan maut yang menewaskan empat orang di Jalan Daan Mogot. Selain itu pemerintah merasa kawasan Kalijodo masuk kategori jalur hijau.

Jika Kalijodo digusur, kata Ahok, sebagai gantinya Pemprov DKI akan membangun taman di lokasi tersebut. "Bikin taman dan bikin jalan, kan, bagus itu, bikin taman pisang," ucap dia.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok meninjau lokasi banjir di Cipinang Melayu, Makasar, Jakarta Timur, 20 Februari 2017. TEMPO/Lani Diana

Selanjutnya: Polisi dan Daeng Aziz

Didukung Kepolisian

Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya saat itu Inspektur Jenderal Tito Karnavian mengatakan siap mengikuti program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang hendak menertibkan kawasan Kalijodo.

"Kami segera koordinasi dengan pemerintah daerah bagaimana langkah-langkah penertibannya. Prinsipnya, kami akan membantu," ucap Tito di Markas Polda Metro Jaya, Rabu, 10 Februari 2016.

Terkait kecelakaan maut yang disinggung Ahok, menurut Tito hal itu disebabkan faktor minuman keras, bukan faktor Kalijodo. Sebab, minuman keras ada di mana-mana. Tapi, bila Kalijodo yang dipermasalahkan pemerintah daerah, ia mengembalikannya ke pemda. "Apa kebijakan pemda, kami ikuti, kami dukung," kata Tito.

Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Krishna Murti dan Kepala Biro Operasional Martuani memantau operasi pekat di Kalijodo, Penjaringan, Jakarta, 20 Februari 2016. TEMPO/Yohanes Paskalis

Sosok Daeng Aziz

Pengusaha tempat hiburan malam di Kalijodo, Abdul Aziz atau Daeng Aziz, menjadi pusat pemberitaan jelang penertiban kawasan itu. Aziz disebut-sebut sebagai penguasa di wilayah tersebut dan menentang penggusuran ini.

Kafe Intan Bar milik Aziz merupakan tempat hiburan terbesar di Kalijodo.

Sepekan jelang penggusuran, Polda Metro Jaya menetapkan Aziz sebagai tersangka karena dianggap memfasilitasi perbuatan cabul atau prostitusi. Dua hari sebelum “pembersihan” Aziz ditangkap.

Kisah Aziz dan Direktur Kriminal Umum Polda Metro saat itu Komisaris Besar Krishna Mukti pun menjadi bumbu-bumbu pelengkap penertiban wilayah ini. Aziz pernah menodongkan pistol ke Krishna Murti yang menjabat Kapolsek Penjaringan pada 2001.

Penodongan Aziz diduga karena ia tidak tahu jika Krishna adalah polisi. Cerita ini juga ditulis Krishna Murti di bukunya, Geger Kalijodo, yang bercerita soal penggusuran 2003.

Tokoh masyarakat Kalijodo, Daeng Aziz, datangi DPRD Jakarta untuk bertemu dengan Komisi E dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, 15 Februari 2016. TEMPO/ARIEF HIDAYAT

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus