Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Absennya Xi Jinping dan Peta Baru Cina yang Kontroversial

Presiden Cina Xi Jinping memutuskan absen dalam KTT ASEAN 2023 di Jakarta maupun KTT G20 pada pekan depan di India, setelah peta baru Cina dirilis

5 September 2023 | 13.05 WIB

Presiden Republik Rakyat China Xi Jinping (pertama dari kanan), Presiden Rusia Vladimir Putin (kedua dari kanan), dan Presiden Indonesia Joko Widodo / Jokowi (ketiga dari kanan). Forum internasional Belt and Road 2017. Foto: Kantor Pers dan Informasi Kepresidenan Rusia, Wikimedia Commons.
Perbesar
Presiden Republik Rakyat China Xi Jinping (pertama dari kanan), Presiden Rusia Vladimir Putin (kedua dari kanan), dan Presiden Indonesia Joko Widodo / Jokowi (ketiga dari kanan). Forum internasional Belt and Road 2017. Foto: Kantor Pers dan Informasi Kepresidenan Rusia, Wikimedia Commons.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Cina Xi Jinping memutuskan absen dalam KTT ASEAN 2023 di Jakarta maupun KTT G20 pada pekan depan di India. KTT ASEAN diadakan pada 5-8 September, sedangkan KTT G20 di India digelar pada 9-10 September.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beijing pun mengutus Perdana Menteri Li Qiang untuk menghadiri baik dalam KTT ASEAN maupun KTT G20.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dan ini menimbulkan pertanyaan bagi sejumlah media Barat karena ini untuk pertama kalinya pemimpin Cina absen dalam KTT G20.

Keputusan itu juga diambil tak lama setelah sejumlah negara menolak apa yang disebut peta baru Cina yang dirilis 28 Agustus silam dalam laman Global Times, corong pemerintah Cina berbahasa Inggris.

Dalam peta itu, Cina mengklaim Arunachal Pradesh, Aksai Chin, Taiwan dan sejumlah pulau di Laut Cina Selatan, sebagai wilayahnya.

India otomatis menentang klaim Cina di Arunachal Pradesh dan Aksai Chin, sedangkan sejumlah negara anggota ASEAN juga menolak klaim Cina di Laut Cina Selatan.

Namun, apakah penolakan ini yang menjadi alasan Xi absen dalam dua KTT yang sebenarnya penting bagi Cina baik dari perspektif geopolitik maupun geoekonomi, belum terjelaskan.

Nomor polisi kendaraan di Vietnam versi lama tanpa Pulau Spratly dan Parasel dan versi baru dengan kedua pulau yang terletak di perairan Laut Cina Selatan, [Radio Free Asia]

Sejumlah negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina dan Vietnam telah menyampaikan protes terkait dengan peta baru Cina tersebut. Beijing berharap setiap pihak tidak berlebihan dalam menafsirkan peta baru negaranya. 

Oposisi serius datang dari Vietnam dan Filipina, yang mencari bantuan AS untuk mengatasi sikap agresif Cina di area itu.

Alih-alih menyelesaikan masalah, Menteri Luar Negeri China Wang Yi dalam sebuah pesan video pada konferensi yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia pada 3 September lalu, justru meminta negara-negara ASEAN untuk tidak terprovokasi oleh kekuatan luar.

Wang mengingatkan ASEAN untuk menghindarkan "situasi Ukraina" di Asia Tenggara dan jangan mau menjadi bidak kekuatan asing, katanya sambil merujuk ke Washington.

Dia menuding "sejumlah kekuatan eksternal" tengah "menabur perselisihan" di dalam ASEAN untuk mencegah adanya konsensus menyangkut Laut China Selatan.

Kendati demikian, kemarahan negara-negara ASEAN itu memang beralasan.

Di satu sisi, Beijing menyerukan dialog dan konsultasi, tapi di sisi lain semakin agresif mengerahkan kekuatan militer di Laut hina Selatan dan tak henti membangun konstruksi di daerah atau pulau yang disengketakan dengan beberapa negara ASEAN.

Cina juga menjadi pihak yang lebih lamban dalam menerima Pedoman Tata Prilaku (Code of Conduct) di Laut Cina Selatan, ketika seluruh ASEAN sudah lama mengadopsi pedoman itu.

Dalam peta baru kontroversial yang diterbitkan pekan lalu, Cina mempertahankan klaim klasiknya yang disebut sebagai sembilan garis putus-putus [nine-dash-line] di kawasan Laut Cina Selatan.

Hal terbaru dalam peta ini adalah masuknya kawasan laut bagian timur Taiwan sehingga menambah satu garis putus--dari sembilan menjadi 10 garis putus-putus.

10 garis putus-putus dalam peta baru Cina ini juga memperluas klaim atas wilayah laut yang berbatasan dengan Filipina.

Dalam sebuah laporan mengatakan dengan peta baru Cina, akan menguasai seluruh Kepulauan Spratly, yang termasuk di dalamnya Kelompok Pulau Kalayaan (KIG).

Lebih dari 400 warga sipil Filipina, termasuk 70 anak-anak, tinggal di Pulau Pag-asa, seperti dilaporkan Inquirer.

Di kawasan Laut Cina Selatan, batas negara Cina juga mencaplok wilayah sengketa maritim di dalam zona ekonomi eksklusif Malaysia dekat Sabah dan Sarawak, Brunei, Filipina, Indonesia dan Vietnam.

Cina masih berpendirian pada basis sejarahnya sendiri dalam menentukan batas wilayah, khususnya di Laut Cina Selatan menggunakan sembilan garis putus-putus. Cina juga tidak mau menerima putusan Pengadilan Arbitrase Permanen 2016.

Dikutip dari Reuters pada Sabtu pekan lalu, Cina memberi penjelasan terkait dengan 10 garis putus-putus dibandingkan dengan peta sebelumnya yang memiliki sembilan garis putus-putus di peta Internasional. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Wang Wenbin menjelaskan ia tidak ragu dengan wilayahnya.

"Posisi Cina dalam masalah Laut Cina Selatan selalu jelas, otoritas yang berwenang di Cina secara teratur memperbarui dan merilis berbagai jenis peta standar setiap tahunnya," ujarnya dikutip dari Reuters. "Kami berharap pihak-pihak yang memprotes peta baru yang kami rilis ini dapat bersikap objektif dan rasional," tambahnya.

Peta yang dirilis baru oleh Cina sangat berbeda dengan versi lebih sempit yang diserahkan oleh Cina kepada PBB pada 2009 tentang Laut Cina Selatan yang mencakup apa yang disebut nine dash line.

Presiden Joko Widodo (ketujuh kiri) berfoto bersama, dari kiri, Perdana Menteri Cook Islands Mark Brown, Presiden Bangladesh Mohammed Shahabuddin, Presiden Filipina Ferdinand Romualdez Marcos Jr, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Permanent Secretary of Foreign Affairs Thailand Sarun Charoensuwan, Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh, Perdana Menteri Laos Sonexay Siphandone, Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, dan Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao saat pembukaan KTT ke-43 ASEAN 2023 di Jakarta, Selasa 5 September 2023. ANTARA FOTO/Media Center KTT ASEAN 2023/Akbar Nugroho Gumay

Pengamat telah melihat isu Laut Cina Selatan menjadi tantangan sendiri bagi ASEAN. “ASEAN tidak pernah punya posisi solid terkait isu Laut Cina Selatan.  Mestinya ASEAN punya posisi yang sedikit lebih kuat,” kata dosen hubungan internasional dari Universitas Queensland Ahmad Rizky Umar saat dihubungi oleh Tempo pada Senin, 4 September 2023.

Sikap tegas ASEAN soal Laut Cina Selatan, menurut Rizky Umar, perlu ditunjukkan secara kolektif, menyusul dirilisnya peta standar yang dikeluarkan oleh pemerintah Cina pada pekan lalu. Peta terbaru Cina yang terkenal berbentuk U itu menutupi sekitar 90 persen Laut Cina Selatan.

Sejauh ini, belum ada pernyataan dari ASEAN yang mencerminkan sikap soal perkembangan terbaru yang terjadi berkaitan dengan Laut Cina Selatan. Tanpa merujuk spesifik ke satu isu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam pembukaan pertemuan menteri luar negeri ASEAN pada Senin, 4 September 2023, hanya menyinggung, “kita semua menyadari banyaknya keadaan sulit di kawasan ini.”

Kendati demikian, Direktur Kerja Sama Politik Keamanan ASEAN Kementerian Luar Negeri Rolliansyah Soemirat menyebut bahwa ASEAN dan Cina sepakat untuk menyelesaikan perundingan pedoman tata perilaku (code of conduct/CoC) di Laut Cina Selatan dalam tiga tahun.

Pada periode keketuaan Indonesia dalam ASEAN tahun ini, Indonesia berinisiatif untuk mempercepat proses negosiasi CoC di Laut China Selatan yang disengketakan.

Pedoman untuk percepatan itu sebelumnya telah diadopsi dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN dan Ketua Dewan Kebijakan Luar Negeri Cina Wang Yi di Jakarta pada 13 Juli lalu.

Rolliansyah mengatakan pedoman tersebut selanjutnya akan disahkan oleh para pemimpin dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-China di Jakarta pada Rabu 6 September.

“Aspirasional iya, semua sepakat untuk ada semacam kejaran timeline (CoC selesai) dalam tiga tahun,” kata Rolliansyah saat dikonfirmasi ANTARA, Sabtu.

Pedoman yang baru pertama kali ada dalam sejarah itu merangkum aspirasi ASEAN-Cina untuk menyelesaikan CoC dalam tiga tahun atau kurang melalui pembahasan secara intensif terhadap isu-isu yang selama ini tertunda, menurut siaran pers Kementerian Luar Negeri.

ANTARA | DANIEL A.FADJRIE | REUTERS

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus