Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Adu Kuat di Layar Kaca

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memasang iklan di semua televisi. Tapi ada partai politik yang tak mampu beriklan.

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Adu Kuat di Layar Kaca
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Di sebuah halte, di selatan Jakarta, mereka berdua duduk mengocok gitar tanpa rencana. Santai. Mereka menyebut diri slankers (penggemar band Slank). Mengenakan jaket kulit hitam, bandana ungu, dan anting yang menjuntai, Adi—salah satu slanker—terpana membaca sebuah berita di sebuah koran. Beberapa saat ia tampak takjub.

"Orang-orang PKS (Partai Keadilan Sejahtera—Red.) itu jujur. Enggak korup, ye, man. Gila, lo, mereka berani nolak upeti Rp 5,3 miliar. Elo bisa? Gua aja enggak bisa, man...," ujar si Adi kepada Dibo, temannya, yang memetik gitar.

Adegan berikutnya adalah Dedy Gumelar alias Miing, dedengkot grup lawak Bagito, berkata tentang kepedulian Partai Keadilan Sejahtera terhadap sesama yang tertimpa musibah. Kenapa Partai Keadilan Sejahtera selalu terdepan bila ada bencana alam? "Karena mereka bergerak bukan karena uang, tapi karena hati."

Pernyataan Adi dan Miing adalah bagian dari deretan iklan testimoni—ini istilah bagi iklan yang menggunakan orang yang bersaksi, tanpa skenario yang diatur oleh pembuat iklan—yang disiapkan Partai Keadilan Sejahtera selama kampanye pemilu yang dimulai Kamis pekan lalu. Mereka yang bersaksi dalam iklan sepanjang 15 detik itu bervariasi, mulai tukang becak, aktris Astri Ivo, ibu rumah tangga, hingga mantan Gubernur Jawa Barat Solihin G.P., serta pengusaha dan peserta konvensi calon presiden Partai Golkar yang tersingkir, Setiawan Djody.

Masing-masing berbicara soal karakter partai ini yang dikenal antikorupsi dan peduli terhadap sesama rakyat. "Mereka bicara tanpa teks yang kami siapkan. Itulah penilaian obyektif masyarakat terhadap partai ini," ujar Irfan Wahid, direktur kreatif iklan kampanye Partai Keadilan Sejahtera itu, kepada TEMPO.

Putra sulung Sholahuddin Wahid itu tak tanggung-tanggung menyiapkan 18 item iklan untuk masa kampanye hingga 1 April. Yang mengejutkan, biaya produksi iklan sebanyak itu hanya menghabiskan 200 juta perak. Kok, bisa?

Menurut Irfan, hematnya biaya itu tak lepas dari manajemen "infak ilmu" yang diterapkannya. Kawan-kawannya yang biasa berkecimpung di bidang periklanan mengerjakan apa yang bisa dikerjakan: menulis naskah, menyunting, atau menggerakkan fasilitas desain grafis masing-masing tanpa meminta imbalan.

Para tokoh atau artis yang menjadi model iklan, serta kelompok nasyid Snada yang menyanyikan lagu tema Jagalah Hati ciptaan Aa Gym, juga tanpa imbalan, sehingga biaya yang dikeluarkan hanya berupa ongkos bahan baku dan operasional. "Mereka berinfak sesuai dengan keahlian dan keterampilan masing-masing," kata anggota dewan pakar Partai Keadilan Sejahtera yang telah menggarap 200 iklan komersial itu.

Partai Amanat Nasional menyajikan tema kampanye yang senada dengan Partai Keadilan Sejahtera. Melalui slogan "Pilih yang Bersih," partai berlambang matahari terbit itu menyodorkan perjalanan Amien Rais menyambangi korban penggusuran di daerah Pondok Kelapa, Jakarta Timur, akhir Februari lalu. Banyaknya warga, baik yang sekadar menonton maupun yang terlibat sebagai figuran, membuat proses pengambilan gambar menyita waktu hampir sehari penuh. Belum lagi waktu yang tersita akibat banyaknya warga yang berkeluh-kesah. Mereka menyampaikan aneka persoalan yang mereka hadapi kepada Amien. Momen mengharukan muncul ketika warga korban gusuran ramai-ramai menggotong dan mengelu-elukan Amien. Oleh Deddy Mizwar selaku sutradara, adegan di luar skenario itu dibiarkan saja berlangsung apa adanya. Tapi, dalam tayangan di sejumlah televisi, adegan itu belum dapat disaksikan publik.

"Adegan spontan itu kami simpan dulu. Nanti akan kami tayangkan saat kampanye pemilihan presiden," kata direktur kreatif iklan Partai Amanat Nasional, M. Djoko Santoso H.P.

Partai pendatang baru seperti Partai Karya Peduli Bangsa, yang mengusung sosok Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, Partai Bintang Reformasi pimpinan kiai kondang Zainuddin M.Z., dan Partai Buruh Sosial Demokrat pimpinan Muchtar Pakpahan pun tak mau ketinggalan beriklan di televisi. Hanya, iklan dua partai politik yang disebut terakhir itu masih sarat dengan pidato kedua tokohnya dan belum berani menampilkan visualisasi yang artistik.

Untuk membuat sebuah iklan kampanye yang menarik, yang melekat di benak penontonnya, tidak hanya dibutuhkan pasokan logistik, tapi juga dukungan kreativitas yang luar biasa. Baik Irfan maupun Djoko membisikkan kisaran angka Rp 4,5 miliar-Rp 6 miliar sebagai biaya iklan partai mereka. Dana sebanyak itu tergolong pas-pasan. Tarif iklan dengan durasi 30 detik untuk waktu siar utama rata-rata mencapai Rp 20 juta. Jika setiap hari mereka menayangkannya 10 kali—sesuai dengan batas maksimum yang dibolehkan Komisi Pemilihan Umum—di sepuluh stasiun televisi nasional, jumlah kocek yang harus dirogoh tentu lebih besar lagi.

Mahalnya biaya iklan di televisi akhirnya membuat banyak partai tak tampil optimal. Mereka hanya muncul sesekali. Itu pun pada jam tayang bertarif rendah. Bahkan Partai Golkar, partai yang berkuasa selama rezim Orde Baru, tak berdaya dalam soal dana iklan kampanye. Dari dana Rp 5 miliar untuk iklan, mereka hanya menuangkan 60 persen untuk memasang iklan di televisi. "Itu pun tak semuanya di prime time," kata Ketua Divisi Humas Partai Golkar Muslihin Dahlan.

Sebaliknya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tak punya masalah pendanaan. Slogan "Coblos Moncong Putih" bisa hadir di hampir semua media massa. Triawan Munaf dari Adwork Euro RSCG, yang menggarap iklan PDI Perjuangan, mengaku slogan itu tak cuma muncul di sepuluh televisi nasional, tapi juga nongol di 30 stasiun televisi regional, seperti di Bali, Riau, dan Batam, dengan frekuensi penuh seperti diatur KPU. Selain itu, mereka menuangkan dana untuk iklan yang disiarkan di 500 stasiun radio serta iklan di puluhan media cetak nasional dan media lokal terbesar di setiap daerah. Bahkan gambar banteng dengan moncong putih itu juga muncul di media berbahasa Sunda.

Semua itu, menurut Triawan, untuk menyiasati berbagai pembatasan yang ada. Sebab, masa kampanye selama 22 hari ditambah batas maksimum penayangan iklan 10 kali sehari rasanya tak akan memberikan hasil optimal. "Karena itu, saya membuat pesan yang langsung menuju hasil akhir yang ingin dituju, yaitu coblos," kata Triawan.

Meski anggaran berlimpah, iklan PDI Perjuangan tidak tampil terlalu orisinal ataupun kreatif. Isinya hanya menampilkan animasi banteng dengan moncong putih dan ajakan Megawati selaku Ketua Umum PDI Perjuangan untuk mencoblos gambar tersebut. Triawan sendiri mengaku kurang puas dengan apa yang telah dicapainya.

Jika ingin mencapai hasil optimal, mestinya meniru langkah Bill Clinton. Ketika berkampanye menuju kursi kepresidenan, dia menyiapkan 300 item iklan. Begitu juga George W. Bush, yang mulai berkampanye dua-tiga bulan sebelum hari-H. Tapi, kalau hal serupa dilakukan, Triawan menilai hanya akan sia-sia. "Dalam kondisi serba mepet, percuma bikin banyak versi. Kita langsung ke tujuan akhir saja. Coblos," katanya.

Melihat gencarnya frekuensi dan sebaran iklan yang dipasang PDI Perjuangan, ada yang memperkirakan partai itu menghabiskan dana hingga ratusan miliar rupiah. Tapi, sambil terbahak, Triawan membantahnya. Ia mengaku anggaran yang diterima untuk mewujudkan semua itu tak sampai Rp 40 miliar. Bagaimanapun, dana ini tampaknya dana terbesar yang dituangkan untuk iklan kampanye dibandingkan dengan partai lain.

Partai pendatang baru banyak yang beriklan seadanya. Partai Demokrat, yang selalu mengusung potret Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya. Menurut Ketua Partai Demokrat, Sys Ns., berbagai ide kreatif untuk kampanye akhirnya hanya sampai pada tataran konsep. Akibat dana yang supercekak, akhirnya ia hanya beriklan di Radio Muara Jakarta, yang biasa menyiarkan lagu-lagu dangdut. "Demokrat itu isinya profesor. SBY (sebutan bagi Susilo Bambang Yudhoyono—Red.) pun setahu saya enggak bantu soal dana. Jadi bokek," kata Sys sambil tertawa lepas.

Sudrajat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus